eramuslim.com – Prancis belum lama ini mengumumkan larangan penggunaan busana Muslimah jenis abaya oleh siswinya di sekolah-sekolah di negara itu. Menanggapi kabar tersebut, Uni Eropa tak berkutik.
Komisi Eropa menganggap masalah pelarangan penggunaan abaya di sekolah-sekolah Prancis sebagai masalah dalam negeri yang bersangkutan. Juru Bicara Uni Eropa, Christian Wigand mengatakan, otoritas nasional Prancis bertanggung jawab atas undang-undang yang relevan di negaranya
“Kami telah melihat laporan mengenai keputusan Prancis. Izinkan saya mengklarifikasi bahwa undang-undang tentang penggunaan pakaian keagamaan di depan umum adalah hak yang ditentukan oleh negara-negara anggota, tergantung pada pengawasan pengadilan nasional dan Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa,” kata Wigand dalam sebuah pengarahan, Selasa (29/8/2023).
Menurut dia, negara-negara anggota Uni Eropa telah menerapkan pendekatan yang berbeda mengenai masalah tersebut karena mereka memiliki banyak pilihan mengenai pengaturan hubungan antara negara dan agama.
Akhir pekan lalu, Menteri Pendidikan Perancis Gabriel Attal mengatakan bahwa pemerintahnya akan melanjutkan larangan penggunaan abaya di sekolah-sekolah tepat pada awal tahun ajaran pada 4 September nanti. Dia berdalih, pembatasan penggunaan busana Muslimah itu akan menjunjung hak siswa untuk membebaskan diri melalui pendidikan di sekolah.
“Sekolah-sekolah Republik (Prancis) dibangun di atas nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang sangat kuat, terutama sekularisme. Saya telah memutuskan bahwa penggunaan abaya di sekolah tidak lagi diperbolehkan,” kata Menteri Pendidikan Perancis Gabriel Attal kepada televisi TF1 pada Minggu (27/8/2023).
Larangan tersebut telah memicu perdebatan publik yang memanas di seluruh spektrum politik dan sosial di Prancis mengenai nilai-nilai sekuler yang dijunjung tinggi oleh negara tersebut, serta sejauh mana nilai-nilai tersebut dapat melanggar kebebasan sipil.
Sikap Uni Eropa yang tak berkutik dengan kebijakan kontroversial Prancis kali ini, bertolak belakang dengan reaksi yang ditunjukkan organisasi supranasional itu tatkala mendapati salah satu negaranya, Hongaria, mengesahkan undang-undang anti-LGBT pada Juni 2021.
Pada waktu itu, para pemimpin Eropa mengecam PM Hongaria, Viktor Orban, karena meloloskan legislasi tersebut. Alasannya, UU itu dianggap bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan Uni Eropa. Bahkan, beberapa eksekutif pemerintah seperti PM Belanda Mark Rutte meminta Hongaria untuk hengkang dari Uni Eropa gara-gara kebijakan Budapest tersebut.
Tak cukup sampai di situ, Uni Eropa juga menggugat UU anti-LGBT Hongaria itu ke Mahkamah Hukum Uni Eropa. Tak pelak, hal itu menuai protes dari Budapest.
Jadi, dalam kasus Hongaria, Uni Eropa tidak melihat UU anti-LGBT itu sebagai urusan dalam negeri yang bersangkutan. Akan tetapi, standar ganda blok tersebut akhirnya kelihatan sendiri saat menyikapi kebijakan Prancis yang membatasi hak-hak Muslimah.
Pada Maret lalu, Menteri Kehakiman Hongaria, Judit Varga, menyatakan bahwa pihaknya akan mempertahankan undang-undang yang dianggap mendiskriminasikan kaum LGBT itu di Mahkamah Hukum Uni Eropa.
“Seperti yang telah dilakukan sampai sekarang, kami akan terus berusaha sekuat tenaga demi melindungi anak-anak kita,” kata Varga.
Dalam pernyataannya untuk mendukung undang-undang tersebut bulan lalu, PM Viktor Orban mengatakan propaganda gender (LGBT) adalah ancaman terbesar yang menghantui anak-anak.
“Kami mau anak-anak kami dibiarkan bebas … karena hal tersebut tidak sepatutnya ada di Hongaria, apalagi di sekolah-sekolah kita,” kata Orban.
(Sumber: iNews)