Selama dua tahun ini saya sering bertanya mengapa saya tidak bisa mengunjungi Mesir, karena ternyata saya telah dilarang masuk Mesir selama 18 tahun. Sering saya ulangi bahwa berdasarkan informasi yang saya dapat dan – dikonfirmasi oleh pejabat Swiss dan Uni Eropa – tentara Mesir tetap tegas dalam kendali Mesir dan tidak pernah meninggalkan arena politik.
Aku pernah membahas antusias “revolusioner”. Saya juga tidak percaya bahwa peristiwa di Mesir, dan di Tunisia, adalah hasil dari pergolakan sejarah mendadak. Masyarakat dari kedua negara tersebut menderita dari kediktatoran, dari krisis ekonomi dan sosial, mereka bangkit atas nama martabat, keadilan sosial, dan kebebasan.
Kebangkitan mereka, adalah karena “revolusi intelektual,” dan keberanian mereka haruslah diberikan rasa hormat.
Militer Mesir beberapa saat yang lalu paska Arab Spring hanyalah belum kembali ke politik, karena alasan sederhananya bahwa mereka tidak akan pernah meninggalkan politik itu.
Jatuhnya Hosni Mubarak adalah kudeta militer juga sebenarnya, yang memungkinkan generasi militer baru untuk memasuki panggung politik dengan cara yang baru pula , dari balik tirai pemerintahan sipil.
Dalam sebuah artikel saya yang diterbitkan pada tanggal 29 Juni 2012 , saya mencatat adanya deklarasi militer dari komandan tertinggi bahwa pemilihan presiden bersifat sementara, selama enam bulan hingga periode satu tahun (judulnya membuat sebuah firasat eksplisit: “?” (Kenapa ) Sebuah pemilu sebenarnya untuk apa”).
Pemerintah Amerika telah memantau seluruh proses, tahukah sekutu sejatinya di Mesir selama lima puluh tahun terakhir ini adalah Militer Mesir, dan bukan Ikhwanul Muslimin .
Lihat berita di International Herald Tribune, 5 Juli, dan Le Monde, 6 Juli, kebijakan AS mengkonfirmasi apa yang sudah jelas: keputusan untuk menggulingkan Presiden Mohamed Mursi telah dibuat jauh hari sebelum demonstrasi 30 Juni 2013 . Sebuah percakapan antara Presiden Mursi dan Jenderal al-Sisi menunjukkan bahwa kepala militer negara itu telah merencanakan penggulingan dan pemenjaraan presiden seminggu sebelum pergolakan , demonstrasi rakyat yang akan membenarkan kudeta militer “atas nama kehendak rakyat.”
Al Sisi pintar memainkan Strategi! Demonstrasi tergorganisir melibatkan jutaan orang untuk membuat orang percaya bahwa tentara benar-benar peduli tentang rakyat ! Ini kudeta, Kudeta babak kedua.
Bagaimana kemudian kita analisa reaksi langsung dari pemerintah Amerika, yang menghindari penggunaan istilah “kudeta” (yang, jika diterima, akan berarti tidak bisa memberikan dukungan keuangan kepada rezim baru)? Pemerintah Eropa pun akan mengikutinya, tentu saja: image terbentuk : tentara telah disikapi sebagai pejuang ” demokratis” karena panggilan rakyat.
Ini semua terlalu bagus untuk menjadi kenyataan! Ajaib, ini sangat pengaturan, konspiratif. Lihatlah listrik padam, sedikitnya kesediaan bensin, dan kekurangan gas alam berakhir tiba-tiba setelah menjelang jatuhnya presiden. Seolah-olah orang telah dipaksa kehilangan kebutuhan dasar sehingga mendorong rakyat bersegera berdemo ke jalan-jalan dengan waktu yang telah ditentukan.
Amnesty International mengamati sikap aneh dari angkatan bersenjata, yang tidak melakukan intervensi dalam demonstrasi tertentu (meskipun itu militer memantau mereka), yang memungkinkan demonstrasi kekerasan menjadi lepas kendali, seolah-olah semuanya sudah didesain. Angkatan bersenjata kemudian lakukan intervensi dibalik demonstrasi publik, dan memfasilitasi media internasional dengan foto-foto yang diambil dari helikopter nya, menggambarkan penduduk Mesir bersorak dan mengagungkan penyelamat militer mereka, sebagaimana ditegaskan dalam Le Monde.
“musim semi Arab” dan revolusi Mesir terus direbut oleh tangan Jenderal Abdul Fatah al-Sisi. Ia memang dilatih oleh Angkatan Darat Amerika Serikat, dan sangat dekat dengan rekan-rekan Amerika-nya.
The New International Herald Tribune (Juli 6-7) menginformasikan kepada kita bahwa Jenderal al-Sisi sangat dikenal di Amerika, serta dekat dengan pemerintah Israel, yang ia “dan kantornya,” kita dapat informasi bahwa ia terus berkomunikasi dan mengkoordinasikan dengan pihak AS . Bahkan ketika awal Mohamed Mursi menduduki istana presiden. Al-Sisi sebelumnya pernah bertugas di Badan Intelijen Militer di Sinai Utara, bertindak sebagai perantara bagi pemerintah Amerika dan Israel. Ini tidak akan meremehkan untuk mengatakan bahwa Israel, dan AS, hanya bisa melihat positif pada perkembangan di Mesir paska kudeta . (OINet/Dz)