Ray Jureidini mengungkapkan, rakyat Libanon masih mengalami trauma akibat perang yang berlangsung selama 34 hari antara Hizbullah dan Israel. Ia juga menyatakan, pembangunan dan geliat perekonomian di negeri itu masih lamban. Namun orang-orang Libanon adalah orang-orang ulet dan pantang menyerah.
Jureidini adalah salah seorang anggota tim gugus tugas bantuan dan pemulihan kembali Libanon. Ia adalah profesor di bidang sosiologi dan masih menjabat sebagai Direktur Departemen Studi Pengungsi dan Migrasi Paksa di American University, Kairo.
Pada situs al-Jazeera, Jureidini yang baru kembali dari Libanon, mengungkapkan situasi dan kondisi Libanon dan rakyatnya saat ini. Berikut petikan wawancaranya;
Bagaimana jalannya pemulihan dan rekonstruksi di Libanon setelah dua bulan gencatan senjata?
Tentunya masih sangat lamban. Libanon masih membutuhkan banyak bantuan organisasi, sumber daya manusia dan uang baik dalam negeri Libanon maupun para sukarelawan dari luar negeri.
Kerusakan sangat hebat dan tentu saja trauma masih sangat besar. Sepanjang yang saya lihat, saya merasakan kesunyian di seluruh negeri.
Masyarakat bekerja keras untuk memperbaiki dan berusaha mendapatkan kembali negara mereka yang dulu berjalan normal… jika situasi normal itu memang ada karena selalu saja ada ketidakstabilan..dari semua faksi dan ancaman Israel yang terus menerus, misalnya, pelanggaran wilayah udara Libanon oleh pesawat-pesawat Israel.
Ribuan pengungsi banyak yang masih tinggal di luar rumah mereka yang hancur selama konflik. Proses normalisasi juga membutuhkan akses serta jaminan lancarnya kebutuhan-kebutuhan dasar seperti makanan, obat-obatan… banyak orang yang menyediakan kebutuhan itu, begitu juga dengan bantuan. Tapi semuanya berjalan lamban.
Janji-janji bantuan finansial tidak semuanya dipenuhi. Negara-negara yang menjanjikan bantuan uang… semua uang itu tidak datang sekaligus, tapi sedikit demi sedikit.
Masih ada operasi pembersihan yang besar, Saya melihat orang-orang membawa sapu membersihkan puing-puing dan reruntuhan gedung di jalan-jalan. Ini terlihat di mana-mana.
Trauma itu sendiri sudah membuat orang lamban-mereka hanya menatap kerusakan di desa sebelah selatan Bint Jbeil misalnya, kerusakan sangat mencengangkan.
Apa bantuan yang paling mendesak untuk memulihkan Libanon?
Orang-orang Libanon adalah orang-orang yang cerdas dan ulet. Tapi kebutuhan yang paling mendesak adalah terbebas dari ranjau darat, bom kluster dan sisa-sisa senjata yang belum meledak.
Ini sangat kritis karena orang-orang masih banyak yang terbunuh dan cacat oleh senjata-senjata itu, dalam hal ini perang masih berlangsung karena sisa-sisa artileri yang ditinggalkan Israel.
Sepengetahuan saya, Israel belum membuka informasi tentang di mana mereka menanamkan ranjau-ranjau daratnya. Situasi ini membawa kita kembali ke tahun 2000 ketika Israel meninggalkan Libanon Selatan. Situasi ini malah lebih buruk akibat adanya bom-bom kluster di seluruh Libanon Selatan.
Ada kebutuhan untuk keselamatan di jalan-jalan bagi transportasi yang masuk dan keluar membawa makanan dan kebutuhan lainnya seperti persediaan obat-obatan. Libanon butuh pembangunan berkelanjutan-yang bisa bertahan untuk jangka waktu lama. Masyarakat di sana sudah mulai berjualan roti-roti di tempat-tempat strategis yang parah terkena serangan bom.
Ada geliat di Libanon untuk membangun kembali dan memperbaiki negeri itu agar Libanon bisa berada dalam posisi yang lebih aman jika serangan terjadi lagi di masa datang. Salah satu persoalannya adalah tidak adanya tempat yang aman bagi warga sipil untuk menghindar dari konflik-konflik semacam itu.
Apakah anda merasakan bahwa di sana masih ada kekhawatiran berlanjutnya ketidakstabilan politik dan militer?
Tentu saja. Ada perbedaan pandangan yang besar di Libanon. Ada orang yang menyalahkan Hizbullah dan mengatakan bahwa Hizbullah sudah menyulut serangan, meskipun respon Israel yang tidak proporsional, tidak pernah dipekirakan sebelumnya.
Padahal Amerika tahu ini semua karena Amerika sudah merencanakannya. Tapi ada masyarakat Libanon yang masih tidak tahu dan mengatakan bahwa tindakan Hizbullah sudah memicu perang. Ada perpecahan dan masing-masing saling tuding.
Saya bertemu dengan orang-orang yang mengeluh bahwa semua bantuan disalurkan ke Hizbullah atau wilayah-wilayah Syiah Hizbullah, sesuatu yang tidak mereka pahami-seperti kata mereka-karena mereka (warga Syiah) bukan satu-satunya yang ikut terbunuh.
Ada kesan bahwa masing-masing sekte melindungi kelompoknya sendiri, meski anda dari organisasi bantuan, NGO dan kelompok sukarelawan yang menunjukkan dukungan dan solidaritasnya terhadap rakyat Libanon tanpa melihat sekte agama dan latar belakang politiknya.
Mengapa mereka yang mengungsi ada yang tidak kembali ke rumahnya?
Karena rumah mereka sudah hancur. Mereka tinggal di rumah orang lain, hotel-hotel dan tempat penampungan sementara.
Ini soal pembangunan dan perbaikan kembali. Saya tidak yakin ada yang memiliki jumlah pasti yang mengindikasikan berapa banyak yang sudah kembali ke rumah-rumah mereka dan berapa banyak yang mampu melanjutkan kehidupan mereka di tempat kediaman mereka.
Apa saja yang dilakukan tim gugus tugas di Libanon?
Ini adalah inisiatif para mahasiswa dan fakultas-didukung oleh pengelola American University di Kairo. Organisasi Nussrah ini telah melakukan kampanye penggalangan dana untuk membantu mereka yang ada di Libanon dan Beirut.
Para mahasiswa menjalin hubungan dengan asosiasi medis di Mesir untuk memberikan bantan kesehatan dan dana guna memperbaiki rumah sakit di Sidon. Mereka akan mengunjungi Libanon untuk melihat tempat-tempat mana saja yang layak diberi bantuan.
Saya bicara dengan warga Libanon, mereka ingin masyarakat di wilayah Timur Tengah membantu, mengirimkan tukang-tukangnya untuk pengerjaan konstruksi di Libanon, menunjukan dukungan dan solidaritas.
Tapi anda tidak bisa begitu saja masuk, orang-orang Libanon punya integritas dan anda tidak bisa membuat mereka seperti orang yang sangat melarat. Orang-orang Libanon sangat ulet dan punya harga diri yang tinggi.
Perang memang selalu menyisakan kepedihan dan kerusakan. Itulah yang dirasakan rakyat Libanon saat ini, meski tentara-tentara Zionis yang menghancurkan Libanon berangsur-angsur pergi.
Menurut catatan kementerian dalam negeri Libanon, korban tewas dalam perang yang berlangsung selama 34 hari antara Hizbullah dan Israel jumlahnya mencapai 1.180 orang, sepertiganya adalah anak-anak. Sedangkan korban luka sebanyak 4.036 orang. Selain itu, 15.000 rumah hancur dan sekitar 80 jembatan kini tidak bisa digunakan lagi. (ln/aljz)