Tidak bisa dipungkiri, Iran di bawah kepemimpinan Mahmud Ahmadinejad, kini menjadi negara paling berpengaruh di Timur Tengah. Belum lagi, kemampuan nuklir Iran yang membuat negara-negara Barat ketar-ketir.
Dalam wawancara di situs Aljazeera, pakar politik Islam dan pengajar di Naval Postgraduate School bidang politik Timur Tengah dan Asia Selatan, Profesor Vali Nasr mengungkapkan analisanya tentang pengaruh besar Iran di Timur Tengah, program nuklir Iran serta prospek hubungan Iran dengan AS, melihat makin tajamnya perseteruan kedua negara itu.
Nasr, yang baru baru ini menerbitkan buku The Shia Revival, adalah satu dari sedikit pakar Timur Tengah yang dimintai nasehat oleh George W. Bush tentang kondisi keagamaan dan dinamika politik di Irak. Berikut petikan wawancaranya;
Dengan invasi AS ke Irak, negara-negara seperti Arab Saudi, Mesir dan Yordania mengungkapkan kekhawatirannya akan bangkitnya kembali kekuatan Syiah. Akankah perang sektarian melanda Timur Tengah?
Saya pikir masing-masing negara pasti khawatir kekuatan Syiah akan bangkit kembali. Irak, yang pertama kali menjadi peralihan dari kekuatan Sunni ke Syiah, sayangnya, kondisinya makin buruk dengan berbagai alasan.
Sejak lama, politik di Irak sudah diwarnai dengan pertumpahan darah. Setelah 1991, Irak menjadi negara yang lebih sektarian dibandingkan sebelumnya, ditambah kesalahan AS dalam menangani Irak, makin mempeburuk situasi.
Selain itu, pejuang asing yang masuk ke Irak dengan agendanya masing-masing, merasa bahwa cara terbaik untuk mengusir AS dari Irak adalah dengan memprovokasi perang sipil, dengan menimbulkan kekerasan sektarian.
Disisi lain, kaum Syiah seperti juga kaum Sunni ingin menghindari apa yang kini terjadi di Irak. Kita dalam periode di mana kekerasan sektarian di Irak mempengaruhi semua perdebatan tentang transisi politik, demokrasi dan pembagian kekuasaan di wilayah itu.
Banyak yang menyalahkan kebijakan AS yang telah membuat Iran menjadi begitu berpengaruh di dunia Islam. Anda setuju dengan hal ini?
Ya dan tidak. Saddam Hussein merupakan benteng pertahanan terhadap Iran karena pemerintahan Baath di Irak sangat anti Iran. Tapi sekarang, Iran akan memiliki suara yang lebih besar di pemerintahan Irak yang kekuasaannya sangat bersahabat dengan Iran, terutama jika pemerintahan itu pemerintahan yang didominasi Syiah.
Sementara AS, dari segi kemiliterannya sudah banyak terhenti di Irak dan menghindar dari kemampuannya untuk membendung Iran. Iran tahu akan hal itu.
Mood publik di Amerika sedang tidak berpihak pada aktivitas militer di luar negeri.Ketika Israel tidak mampu mengalahkan Hizbullah, ketika 130 ribu tentara AS terhimpit di Irak, tentu saja Iran merasa memiliki ruang yang lebih luas untuk melakukan manuver dan mengatakan ‘tidak’ pada komunitas internasional dan terhadap isu nuklirnya.
Ketika kekuatan Iran makin meningkat di era 1990-an, tak satupun yang memperhatikannya. Perekonomian negara itu tumbuh, harga minyak naik, dan Iran dengan 70 juta penduduknya, menjadi sangat kaya.
Banyak indikator yang menunjukkan bahwa Iran, sejak pemerintahan Presiden Muhammad Khatami, sedang bergerak. Kemampuan Iran membaca kondisi dunia Arab, harus diakui cukup hebat. Yaitu ketika konflik Israel-Palestina menemui jalan buntu, ada rasa frustasi dan kemarahan terhadap fakta bahwa proses perdamaian tidak jelas juntrungannya.
Makin sulitnya hubungan Israel-Palestina dan kondisi di Irak, telah menimbulkan banyak penderitaan di Timur Tengah. Iran tidak memfokuskan diri untuk memenangkan dukungan dari dunia Arab. Tapi mereka langsung melakukan sesuatu yang sangat tidak populer di mata Barat, namun sangat populer di mata masyarakat Arab. Maka, mulailah serangan Presiden Iran (Mahmud Ahmadinejad) terhadap Israel dan ia mempertanyakan soal Holocaust.
Hal itu sangat merugikan Iran dalam hal diplomasinya dengan Barat. Tapi isu-isu ini ternyata cukup menjual di Suriah dan Libanon sebelum perang Israel dan Hizbullah.
Perang di Libanon baru-baru ini, mendongkrak popularitas Hizbullah dan telah memberi pengaruh yang besar bagi para Mullah-yang selama ini mendukung Hizbullah-sebagai alat tawarnya pada dunia internasional. Apa sebenarnya yang dinginkan Iran?
Ada hal besar dan hal-hal yang kecil yang diinginkan Iran. Iran ingin diakui sebagai kekuatan besar di Timur Tengah. Ia ingin seperti India di Asia Selatan. Pada dasarnya, mereka ingin posisi mereka diterima dan diakui. Isu nuklir adalah bagian daripadanya. Iran ingin bisa duduk sama tinggi dengan AS dan tidak mau dihentikan. Itulah yang nampaknya harus menjadi hasil negosiasi dan bukan prasyarat dari negosiasi.
Seiring perjalanan waktu, terutama setelah perang di Libanon, Iran bertambah percaya diri. Bukan karena tujuan secara keseluruhan sudah berubah, tapi mereka ingin membuat semacam negosiasi dari posisi yang kuat.
Saya pribadi berpikir, mereka sebenarnya ingin bicara. Itulah sebabnya Presiden Ahmadinejad bersedia diwawancari oleh Mike Wallace dari CBS. Dalam wawancara itu, ia mengeluh karena Bush tidak menjawab surat yang dikirimnya. Ini yang menjadi alasan mengapa Ahmadinejad kembali meminta debat publik dengan Bush beberapa waktu lalu. Mereka (Iran) ingin bicara tapi tidak seperti keinginan Barat dalam melakukan pembicaraan itu.
Mengapa AS tidak mau bicara dengan Iran?
Ada banyak alasan. Bush menempatkan Iran dalam poros setan. Ada pertimbangan-pertimbangan bagi kedua negara untuk melakukan pembicaraan. Pada akhirnya, anda terpenjara oleh retorika anda sendiri.
Alasan lain, AS meyakini bahwa Iran tidak serius dan AS sendiri belum memutuskan untuk melakukan normalisasi hubungan dengan Iran. AS menginginkan Iran menghentikan hal-hal yang menjadi kegundahan AS, yaitu dukungan Iran pada Hizbullah, dukungannya pada yang oleh AS disebut terorisme, menghentikan campur tangannya di Irak, dan yang terpenting adalah penghentian pengayaan uraniumnya serta menghentikan program nuklirnya.
Tapi ada isu-isu spesifik yang tidak mungkin mengubah hubungan AS dengan Iran secara keseluruhan. Iran berargumen, jika mereka menuruti apa maunya AS, mereka akan ada pada posisi yang sulit. Ahmadinejad pernah berkata,"Jika kita menyerahkan program nuklir kita, mereka akan meminta hak-hak kita. Jika kita menyerahkan hak-hak asasi manusia kita, mereka akan meminta hak-hak hewan."
Dengan sikap Iran yang tetap mempertahankan pengayaan uraniumnya, apakah ada kemungkinan besar Israel akan menyerang Iran sebelum AS melakukannya?
Saya kira tidak, untuk dua alasan.Pertama, Iran sama sekali tidak menunjukkan memiliki bom nuklir. Faktanya, IAEA mengatakan bahwa Iran agak lambat dalam aktivitas pengayaan uraniumnya, yang mengindikasikan bahwa Iran menghadapi persoalan teknis. Sebelum Iran bisa membuat bom nuklir, Iran harus menguasai teknologinya dulu, bukan hanya pengayaan.
Banyak perkiraan, termasuk dari agen intelejen AS, dibutuhkan jangka waktu sekitar lima sampai delapan tahun, jika semuanya berjalan lancar bagi Iran untuk membuat bom nuklir, Jadi untuk waktu dekat ini tidak ada ancaman yang membutuhkan tindakan pencegahan lewat serangan militer. Biaya yang dikeluarkan untuk serangan militer ke Iran kemungkinan lebih besar daripada keuntungan yang akan didapat. Dengan kata lain, serangan militer tidak akan banyak manfaatnya. Hal itu hanya akan mendorong kembalinya program nuklir. (ln)