Konflik KPK, Polri, dan Kejaksaan menyiratkan adanya kekuatan besar yang ikut bermain. Menurut pakar kepolisian, Prof. Dr. Bambang Widodo Umar, kemungkinan Presiden berada di balik konflik tersebut sangat mungkin.
Dosen PTIK yang juga pernah menjabat Kapolres di Batam ini menjabarkan hal-hal apa saja yang harus direformasi di tubuh Polri. Walaupun demikian, Bambang Widodo Umar pun memahami bahwa sejumlah kendala reformasi di tubuh kepolisian memang sangat besar. Selain adanya resistensi di tubuh Polri sendiri, sejumlah pihak merasa diuntungkan.
Berikut wawancara tim Eramuslim dengan tokoh Polri yang berpangkat terakhir Komisaris Besar Kepolisian ini tentang pentingnya reformasi Polri.
Gonjang-ganjing Polri-KPK membuat orang semakin tanda tanya, ada apa sebenarnya dengan Polri?
Saya akan menjawab atau memberi penjelasan dari penegakan hukum di Indonesia. Penegakan hukum ini kan tujuannya antara lain untuk mencapai keadilan. Untuk mencapai kemanfaatan hidup masyarakat. Untuk mencapai konsistensi atau kepastian hukum.
Berkaitan dengan kasus yang kemarin, dalam rangka penegakan hukum, khususnya dalam hal Bibit- Chandra, ada dua hal yang saya amati perlu mendapat suatu pembenahan yang mendasar. Pertama, masalah itu ada yang mengatakan sebagai kriminalisasi, kemudian yang kedua, munculnya rekaman. Itu intinya saya melihat ada keikutsertaan orang di luar penegak hukum, yaitu makelar perkara atau markus. Ini suatu proses mafia peradilan yang berkembang di Indonesia.
Dari dua hal ini, kalau masalah kriminalisasi, seandainya itu terjadi dilakukan di lingkungan kepolisian, ini menunjukkan bahwa lembaga itu kurang atau belum profesional yang dikatakan sebagai seorang penyidik tindak pidana. Dengan demikian, perlu diamati.
Kalau tidak profesional mungkin karena pendidikan di kepolisian itu memang bukan spesialis penegak hukum, karena pendidikan di polisi terutama di Akabri kepolisian ataupun di PTIK, di Sespati, di Sespim Polri, ini heavy-nya atau titik beratnya pada masalah-masalah keamanan dan ketertiban masyarakat dan ada juga penegakan hukum tapi bukan pendidikan hukum murni seperti misalnya, fakultas hukum sehingga dapatnya mata kuliah hukum itu hanya pokok-pokoknya saja. Jadi, tidak mendalam.
Kemudian juga proses dalam mengimplementasikan pengetahuan hukum itu, sebagai penyidik, prosedur-prosedur hukumnya sangat dibatasi ketat dengan aturan-aturan hukum. Itu pun juga banyak hal yang belum terawasi, padahal itu menyangkut hak asasi manusia. Pengawasan juga tidak ketat, pengawasan itu hanya boleh oleh pimpinannya, oleh Kopam, oleh Irwasum, internal, jadi sifat subyektivitasnya sangat tinggi. Kadang-kadang pilih-pilih, ini menimbulkan kecemburuan di dalam organisasi.
Di samping profesionalitas tadi, dari pendidikan, kurikulum yang diberikan itu metode pengajarannya juga masih bersifat instruktif. Instruktif itu tidak ada dialog, monolog dia. ‘Kamu harus begini, begini, begini’. Doktrin gitu, perintah. Di pendidikan begitu, instruktur-instruktur begitu. Nggak boleh bantah dia, laksanakan. Karena dia sudah diberi standar pelajaran yang sifatnya doktriner. Tidak boleh menambah, tidak boleh mengurangi, ‘Ini, patuhi!’
Sebetulnya polisi tidak boleh begitu, polisi jangan doktriner. Polisi justru memberikan kesempatan kepada siswa atau mahasiswanya untuk membuka pikirannya, kreatif. Karena pekerjaan polisi direct dengan masyarakat, langsung. Jadi, ini membutuhkan kreativitas pada saat dia berhubungan dengan masyarakat supaya tidak kaku dengan aturan-aturan yang ‘pokoknya’ tadi yang harus dipatuhi.
Jadi, tidak ada kurikulum yang melatih pikiran dia untuk berpikir secara lojik. Mata kuliah Logika Dasar itu nggak ada padahal dia dituntut untuk cair pikirannya supaya bisa menganalisis berbagai kejadian-kejadian, tidak jumping, terutama untuk perwira-perwira menengah ke atas.
Di PTIK itu karena sudah perguruan tinggi, ada S1, S2, di situ seharusnya dilatih secara kuat logika dasarnya. Premis mayor-premis mayor itu terus dilatih supaya dia kalau membedah suatu masalah sosial atau masalah kriminal itu lebih jeli, lebih mendalam. Kalau logika dasarnya tidak jalan, bisa jumping dia. Asumsi dianggap benar, gitu. Ini yang sering salah tangkap, sebenarnya itu tadi.
Bagaimana dengan mafia kasus di kepolisian?
Ya, masalah mafia peradilan. Organisasi kepolisian ini kan konteksnya masyarakat. Masyarakat itu kan luas sekali. Tidak dibatasilah person-person itu bergaul dengan siapa saja. Tetapi di negeri kita ini, sudah lama, itu karena pekerjaan polisi berkaitan dengan kejahatan-kejahatan. Ini ada juga orang-orang tertentu, dan itu pengusaha yang mendekati polisi untuk pada suatu ketika dia terlibat dengan masalah hukum atau masalah kepolisian ada yang dimintai tolong.
Pergaulan-pergaulan demikian kalau dengan pengusaha umum yang legal, nggak apa-apa. Tetapi terhadap pengusaha-pengusaha yang diduga dia melakukan usaha yang ilegal, misalnya bandar narkotika, mucikari, bandar judi, bandar penyelundupan dan macam-macam yang kadang-kadang terselubung ini harus ada suatu aturan, polisi tidak boleh seperti itu karena itu akan merusak moralitas dia sebagai polisi, sebagai penegak hukum bisa dibeli, bisa dipengaruhi.
Ini menyebabkan orang-orang di dalam dengan alasan misalnya perawatan kurang, gajinya kecil, dia bergaul dengan baik-baik. Kenyataan di lapangan memang ada benarnya juga. Misalnya, dalam ketentuan patroli, patroli satu hari itu di Jakarta ini luasnya sekian radius kilometer membutuhkan bensin misalnya 300 liter, sedangkan dikasih cuma 10-15 liter. Nah, yang lain itu kan, karena tidak ada batasan, akhirnya cari-cari.
Ini pekerjaan pemerintah untuk memperhatikan bagaimana fasilitas kerja kepolisian, apakah itu wajar dengan beban tugasnya.
Di masa Orde Baru, sekitar tahun 1997, Bambang Widodo Umar pernah menyampaikan kritik pedas terhadap institusi Polri soal perlunya pemisahan antara Polri dengan ABRI. Hal itu ia sampaikan dalam bentuk wacana di sejumlah media massa. Karena kritik dan gagasannya itulah perwira yang saat ini berusia hampir enam puluh tahun ini dijebloskan ke panjara. Tidak main-main, tuduhan yang ia terima adalah makar terhadap kepolisian.
Adakah resistensi dari kepolisian dalam mewujudkan reformasi birokrasi dan budaya organisasi di kepolisian?
Kalau kita melihat proses reformasi dari tahun 1998 sekarang 2009, kurang lebih 11 tahun, saya katakan bahwasanya hambatan itu terletak pada sikap masih belum bisa melepaskan pola-pola yang tertanam pada waktu dia bergabung dengan ABRI.
Sifat itu pertama, polisi itu alat politik, namanya alat stabilitas keamanan. Ini untuk menghandle kalau program-program pembangunan yang dilaksanakan pemerintah pada umumnya, pada waktu rezim Soeharto, Orde Baru, menimbulkan dampak-dampak negatif di masyarakat dan itu bisa merangsang gejolak sosial, maka turunlah ABRI ini sebagai penyeimbang, katanya waktu itu.
Padahal, dampak-dampak itu akibat salah closing dari pemerintah. Sekarang, itu masih nempel juga di kepolisian, jadi, asal dia kuat. Kalau ada kekeliruan di masyarakat, yah katakanlah buruh mogok karena kontrak kerja yang tidak sesuai dengan aturan undang-undang ketenagakerjaan, outsorcing yang seenaknya saja, polisi tidak akan berpihak kepada buruh itu. Dia akan berpihak kepada pemerintah, kepada pengusaha. Karena ada sifat dasarnya terbentuk dari dulu, seperti alat pemerintah, alat stabilitas.
Di sisi lain, resisten yang ada di dalam organisasi adalah keterbatasan sarana prasarana. Sumber daya polisi itu sangat terbatas. Manusianya dalam konteks intelektual tadi, skill tadi, kemudian juga dalam konteks peralatan-peralatan khususnya, kemudian kesejahteraan dia masih terbatas. Ini juga menjadi penghambat. Penghambat dalam rangka bagaimana mengubah polisi menjadi humanis, lebih santun, lebih arif.
Di sisi lain, penghambat lagi adalah masalah keberpihakan polisi tadi, harusnya independen, kepada pemerintah juga ya kepada rakyat juga. Hambatan memposisikan polisi di bawah presiden, itu juga hambatan. Karena di dalam, terus merasa, ‘wah, saya tidak di bawah departemen, saya bebas, saya langsung di bawah presiden’. Ini mengakumulasi perilaku seakan-akan sudah paling benar. Merasa sudah benar, karena di-back up oleh kekuasaan presiden.
Hambatan lain di dalam rangka mengimplementasikan reformasi, program yang dibuat itu terlalu ideal. Sulit diimplementasikan. Ilusif. Sebagai pedoman, misalnya dia mengatakan: depolitisasi, deideologi, demoralisasi, itu kan mencapainya sangat sulit. Wacana-wacana saja.
Itu diterjemahkan lagi. Program membangun trust. Trust building. Excellent organisasi. Trust building itu dicanangkan sebagai break down dari yang besar-besar tadi. Dari 2005–2009, trust building.
Membangun trust building itu nggak gampang. Wong kita percaya pemerintah saja, rakyat ini juga belum kok, apalagi kepolisian. Ini memerlukan waktu lama dan perubahan yang mendasar dari sisi pemerintahan, dari cara-cara bekerja, sistem politik, dan macam-macam. Ini kan illusion, mimpi gitu lho. Program yang mimpi. Puncaknya seperti sekarang ini, ‘dioyok-oyok’ sama masyarakat. Rencananya 2009 trust building, malah tidak tercapai, kan. Malah distrust. Tabirnya itu tadi, dia merasa eksklusif.
Tapi, apa yang sudah diperbuat oleh polisi lalu lintas yang sudah berjalan ini saya lihat cukup baik, persuasif, dia tidak terlalu memaksa. Itu tidak bisa ditiru oleh peran-peran yang lain, jadi kalau capaiannya masih belum sampai 10%. Masih jauh sekali.
Kalau kita kembali ke konflik Polri dan KPK, sebenarnya di mana letak masalahnya, apakah di institusi Polri atau oknum perwira tinggi?
Saya mengamati ini sebenarnya ego sektoral. Terutama di kepolisian. Kebetulan dimunculkan oleh personal. Awalnya adanya kecurigaan atau kecemburuan, sama-sama aparat penegak hukum kok dikuntit, begitu kira-kira. Ada sifat seakan-akan kalau sesama itu, jangan dong, seperti polisi sendiri tidak ingin menyakiti orang-orang di dalamnya yang melakukan penyimpangan-penyimpangan. Dia harapkan toleran, tapi kok tidak toleran. Nah, muncullah sifat-sifat ego sektoralnya itu sehingga yang tadinya personal merembet ke lembaga. Tapi awal mulanya personal.
Bagaimana tanggapan Anda mengenai kesaksian Williardi Wizard?
Kalau seperti itu, sebenarnya perlu dibuktikan. WW tidak bisa begitu saja, keterangan diterima oleh hakim, itu hakim wajib membuktikan dulu. Meskipun dia berdasarkan sumpah itu tidak mempengaruhi kebenarannya. Wajib memanggil orang-orang yang disebut WW tadi untuk dimintai keterangannya.
Lalu, indikasi apa, ada orang mencabut keterangan atau BAP?
Kalau polisi mau introspeksi, kemampuan menuangkan pertanyaan, kemudian menggali keterangan dari tersangka itu belum profesional juga. Mungkin ada pemaksaan, itu teknik interogasi. Teknik interogasinya saya lihat masih lemah sehingga kelemahan itu dimanfaatkan oleh tersangka memunculkan pengakuan yang lain.
Itu pelajarannya komunikasi secara psikologis, belum matang. Polisi kan punya alat deteksi katanya, tapi alat itu kan sebagai pendukung saja. Sebenarnya pengakuan saja tidak mutlak. Alat bukti itu kan juga bisa macam-macam, pengakuan sebagai alat bukti, benda-benda materil yang ditinggalkan, alat bukti juga. Keterangan-keterangan dari luar, alat bukti. Kemudian, surat-surat yang ditemukan yang ada kaitannya.
Jadi tidak sekadar pengakuan dari si tersangka, tidak mutlak itu, jadi ada banyak hal lain. Kemampuan mencari yang lain ini sangat amat lemah, barang-barang bukti, kejelian untuk mencari sebanyak mungkin dan mengkaitkan dengan manusia atau hubungan-hubungan itu. Nah, begitu mendalamnya kaitan antara satu bukti terus ditelusuri bisa menghasilkan suatu keterangan dari banyak orang atau banyak sumber, itu masih sangat amat lemah di polisi. Yang dicari, setiap pembunuhan, pisau. Jadi pisaunya itu (tertawa). Nah, itu. Logikanya masih lemah.
Persepsi hukum antara pengamat hukum dengan kepolisian begitu berbeda, tidak ada titik temu. Bagaimana Anda melihat pembukaan rekaman di MK terkait kasus Bibit-Chandra, apakah polisi merasa dicampuri urusannya?
Perbedaan persepsi polisi dengan pengamat itu jelas. Kalau pengamat itu kan, yang benar itu ya. Kalau saya ngomong, teorinya begini, nah, kamu kenyataannya gitu. Ubah dong, supaya mendekati. Jadi, para praktisi polisi, Kapolri, mesti dia ngomongnya praktis, tapi praktis itu harus diarahkan ke teori dong. Jangan praktis malah seenaknya sendiri. Ini tidak profesional.
Dulu polisi kan belajar di akademis, di sekolah-sekolah itu diajarin teori-teori. Tapi prakteknya kok jadi begini. Misalnya, prosedur di dalam penyelidikan yang harus dilalui, misalnya mau memanggil orang saja itu seharusnya surat panggilan itu diberikan ke RT dulu. Mau nangkap orang juga, beri tahu RT. Ini kan nggak, alasannya daripada nanti lari. Lho?!
Soal pembukaan rekaman di MK?
Rekaman yang dibuat itu saya lihat memang banyak memberikan suatu informasi bahwa proses penegakan hukum mulai dari kepolisian ada kecenderungan diikuti oleh mafia. Itu disebut-sebut oknum polisi. Sifat dasar polisi kompak, setia kawannya tinggi, solid, jadi ada temannya disebut satu, dia geram, sudah mulai merasa. Muncullah satu reaksi. Sudah, ditahan saja. Kan begitu.
Jadi, saya tidak menyalahkan juga, sifat kepolisian yang militer tadi dan itu reaktif. Seharusnya, kalau dia logikanya jalan, maka tidak ada seperti itu. Jadi, adanya membuka rekaman itu berpengaruh pada kepolisian untuk melakukan tindakan reaksi terhadap isi materi itu.
Menurut Anda, apa ada kemungkinan resistensi Polri terhadap kasus Bibit Chandra ini sebagai indikasi adanya pemanfaatan Polri sebagai alat politik dari institusi yang lebih tinggi?
Kalau contoh-contoh dulu ada. Dulu misalnya konfliknya Gus Dur dan Amien Rais. Gus Dur dihimpit oleh Amien Rais, itu kan menggunakan polisi. Bimantoro dicopot, ganti Khairuddin. Ini tidak ada urusannya dengan tugas-tugas kepolisian.
Kemudian, dulu juga pada zaman Kapolrinya Dai Bachtiar, itu ada Kapolres di Banjarnegara kampanye ke keluarga besar pensiunan polisi supaya nanti milih presiden yang ini karena memberikan dukungan baik, itu kan sudah politik. Kampanye segala macam.
Nah, dugaan itu memang sulit dibuktikan tapi karena posisi polisi di bawah presiden kemudian kemungkinan-kemungkinan presiden bermain, itu sangat mungkin. Kalau indikatornya, problem yang menyangkut Bank Century, di mana prosedurnya, jumlahnya, situasinya, ini masih perlu ada koreksi terhadap kasus itu yang sekarang sudah mulai bergulir. Mungkin saja.
Kebetulan yang menyelidiki awal itu KPK, saudara Bibit dan Chandra itu. Mereka nggak salah. Nah, kemudian mungkin ada rasa was-was, khawatir, karena ini menyangkut kewenangan pejabat-pejabat yang saat itu berperan dan saat ini masih ada. Ini yang menjadikan barangkali, indikator, bahwa seakan-akan ada tangan-tangan tersembunyi, tangan-tangan politik bermain dalam kasus Bibit-Chandra. Tapi hal-hal itu sulit dibuktikan.
Pasti nggak ngaku lah Kapolri. Padahal buktin kasus Bibit Chandra ini lemah, apa kaitannya dengan ini. Kan seperti bertanding waktu. Hak angket DPR, itu kan bertanding waktu dengan ini. Kalau itu sudah lemah, jadi ini akan terbongkar. Ind/Fq/Mnh