Pakar hukum tata negara Universitas Padjajaran Bandung Prof. Dr. H. R. Taufik Sri Soemantri Martosoewignjo, S. H menyalahkan pemerintah yang tidak berpikir panjang sebelum mengeluarkan peraturan, sehingga menimbulkan polemik di masyarakat.
PP 37 tahun 2006 berisi tentang pengaturan pemberian tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional kepada anggota DPRD yang diberlakukan pemerintah sejak November 2006 telah menimbulkan kontroversi dikalangan masyarakat. Pasal 14d dalam PP tersebut, yang menyebutkan bahwa pembayaran dilakukan retroaktif, dihitung sejak Januari 2006 dianggap sebagai pasal ‘kapal keruk’ karena bakal menguras dana pemerintah daerah. Substansi pasal inilah yang menjadi dasar tuntutan dari masyarakat agar PP itu segera dibatalkan
Pemerintah sendiri hingga kini menghadapi persoalan yang dilematis dalam merevisi PP kontroversial tersebut. Dengan adanya revisi, berarti anggota DPRD yang sudah menerima uang rapelan harus segera mengembalikannya pada pemerintah dan terbukti sejumlah anggota DPRD memprotes hal ini. Polemik pun bergulir lagi, hingga Lembaga Swadaya Masyarakat Bidang Kajian Hukum menyatakan, jika anggota DPRD tidak mengembalikan uang rapelan itu, dapat dikenai sanksi pidana.
Apa langkah hukum yang sebaiknya diambil pemerintah untuk memecahkan persoalan ini? Berikut bincang-bincang eramuslim dengan pakar hukum tata negara Universitas Padjajaran Bandung Prof. Dr. H. R. Taufik Sri Soemantri Martosoewignjo, S. H.
Pusat kajian hukum berpendapat, anggota DPRD yang tidak mengembalikan dana rapelan setelah keluarnya revisi PP 37/2006 bisa dikenakan sanksi tindak pidana. Bisakah ini dilakukan?
Menurut saya ini masalah politik ya, saya kira landasan hukumnya tidak ada apakah ini ditarik ke delik penggelapan atau apa ya. Kalau ditarik kepenggelapan memang ada sanksi pidananya, tetapi inikan bukan pengelapan. Inikan keputusan untuk Anggota DPRD.
PP 37/2006 itu salah satu pasalnya yakni pasal 14 berisi penerimaan rapelan, yang masih akan direvisi. Menurut anda, PP ini sebaiknya direvisi atau dicabut saja sekalian?
Kalau maunya itu dicabut, tapi akan timbul persoalan. Pada saat rapelnya diberikan PPnya itu masih berlaku, untuk ke depan tidak bisa dilaksanakan lagi, tapi sudah terjadi bagaimana itu. Saya melihat itu dari aspek hukumnya.
Jadi ya itulah sebabnya kalau kita mau membuat peraturan itu harus dipikirkan matang-matang, jangan cepat-cepat mengeluarkan peraturan. Kalau belum diketahui dampak apa yang akan timbul itu akan jadi persoalan dari segi hukum. Dalam PP itu berlaku ketentuan yang memungkinkan anggota DPRD mendapat tunjangan rapelan, setelah itukan timbul reaksi dari masyarakat. Sebenarnya yang salah itu siapa?
Tapi nampaknya pemerintah juga tidak mau disalahkan dalam kasus ini?
Ya itu, jadi sekarang begini, kalau pemerintah mau konsisten laksanakan peraturan itu, tapi kalau pemerintah melihat dampaknya ternyata menimbulkan masalah berarti harus dikaji lagi, baik yang sudah melaksanakan peraturan itu dan yang belum melaksanakannya. Itu harus diatur tersendiri. Jadi ke depan, harus dipikirkan sebelum dikeluarkan peraturan itu, pemerintah harus berfikir secara matang segala akibat dari dikeluarkannya peraturan itu.
Jadi solusi terbaiknya untuk saat ini, menurut Anda?
Saya kira dicabut dululah, tapi setelah dicabut, dibuat peraturan yang baru, mesti dipikirkan itu. Kalau revisi mau dijalankan, tapi masalahnya sudah masuk dimasyarakat.
Anggota DPRD di beberapa daerah ada yang ragu-ragu mengembalikan uang ini, karena takut terkena implikasi hukum?
Masalah yang ada itu, jadi macam-macam kan. Lebih baik kita jangan terlalu memvonis atau menghakimi anggota DPRDlah. Kita lihat dan telaah subtansinya secara keseluruhan dulu. (noffel)