Muhaimin Iqbal kembali membuat gebrakan. Setelah suskes meyadarkan masyarakat tentang Dinar sebagai mata uang Islam, kini pengusaha muslim kelahiran Nganjuk tersebut tengah merintis membangun Pasar yang akan dikelola dengan ajaran Islam. Pasar tersebut diberinya nama Pasar Madinah. “Saya ingin memberikan solusi riil dari masalah njlimet di bangsa ini,” ungkapnya penuh nada semangat.
“Pasar Madinah kita nanti bisa menampung 50 pedagang, tempat parkirnya pun luas,” lanjutnya.
Pasar Madinah sendiri atau kini sudah disebut Bazaar Madinah menempati lahan yang luas dan terletak di depan Komplek Griya Tugu Asri, Depok, Jawa Barat. Pembangunan kini sudah 80 % rampung.
“Kita akan launching satu pertama Mei 2011 ini.” Ucapnya diliputi rasa optimis.
Ditemui minggu pagi 10/4/2011 di kediaman beliau di bilangan Cibubur Jakarta Timur, ekomon muslim kelahiran 48 tahun lalu ini menyambut wartawan Eramuslim.com dengan ramah. Kesibukan padatnya tiap hari tercermin dari aktivitasnya pagi itu yang tengah mendapat kunjungan dari delegasi ICMI Jawa Tengah sekaligus rombongan Dosen Universtas Diponegoro. Uniknya, hampir seluruh delegasi memakai kaos serempak bertuliskan: Which one do tou prefer to Dollar or Dinar Golden Coin 4,25 gram?
Untuk mengetahui gagasan riil dari Pasar Madinah, wartawan Eramuslim com, Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi secara khusus mewawancarai beliau dan memantau persiapan Pasar Madinah. Berikut petikannya:
Apa latar belakang anda mendirikan Pasar Madinah?
Sebenarnya kita sederhana, Pasar Madinah itu sudah lama kita gagas. Tadinya kita menggagas Pasar Madinah dalam skala yang full. Kalau kita lihat dalam riwayat pasar yang dibangun Rasulullah saat itu, luasnya sekitar 5 hektar. Panjangnya 500 m, lebarnya 100 m. Jadi besar sekali. Kenapa besar? Karena pasar itu harus mampu menampung seluruh kebutuhan masyarakat. Nah, kenapa Rasulullah membangun pasar?
Karena Rasulullah SAW survei sendiri ke pasar-pasar yang ada waktu itu. Pasar yang pertama adalah pasar Masaid. Ketika berkunjung ke pasar itu, Rasulullah bersabda “Tidak seperti ini pasar kalian”. Ketika berkunjung ke pasar yang lainpun Rasulullah juga berkata “tidak seperti ini pasar kalian”. Artinya dari sekian pasar yang ada kala itu, menurut Rasulullah tidak ada pasar yang kondusif.
Apa yang membuat suasana pasar kala itu tidak kondusif untuk berdagang?
Kita ketahui, saat itu pasar mayoritas milik Yahudi. Yang terbesar adalah pasar Bani Qainuqa. Otomatis karena pasar yahudi yang terjadi adalah kecurangan, penipuan dan lain sebagainya. Yang seperti itu tentu tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Karena tidak ada pasar yang sesuai standar menurut muamalat Islam, maka Rasulullah membuat Pasar Sendiri. “Inilah pasarmu fala yuntaqashanna wala yudhrabanna”. Fala yuntaqashanna yakni jangan dipersempit, maksudnya agar semua orang dapat berjualan. Wala yudhrabanna maksudnya jangan dibebani dengan biaya-biaya.
Fala yuntaqashanna wala yudhrabanna inilah yang menjadi karakter untuk membedakan Pasar Islam dengan pasar yang lain.
Lalu, bagaimana dengan kondisi pasar kita saat ini?
Sekarang kita tarik ke zaman sekarang. Kita tahu di Jakarta orang yang mau jualan harus kaya dulu karena harga sewanya mahal. Kalau toh bisa jualan di jalan sudah dikuasai preman, jadi tidak mudah. Demikian pula pasar kaget, jangan dikira pasar kaget itu gratis. Selain preman, terancam tramtib, juga banyak digerocoki. Dan melihat itu semua, kita berfikir ada suatu yang miss dalam ekonomi Islam. Jadi kalau kita mau menegakkan ekonomi Islam seharusnya siapa yang kita contoh? Tentu kita harus mencontoh uswatun hasanah kita, termasuk dalam hal pasar. Jadi kalau kita mau memakmurkan umat, gak usah macem-macem, ikuti saja cara Rasulullah.
Apa yang dilakukan Rasulullah di awal Madinah pada tahun ke 2 Hijriah sudah dibangun pasar. Nah ini yang kita lakukan, mencontoh Rasulullah. Jadi jika ada orang yang bertanya apa yang kita lakukan dengan membuat ini semua? Sederhana saja kita ingin mencontoh Rasulullah SAW dalam memakmurkan umatnya.
Apakah para pedagang saat ini siap diatur dengan muamalah Islam, terlebih banyak pedagang yang awam tentang Syariat Islam?
Oh iya tentu. Kita bagaimanapun memang sangat jauh dari gambaran Rasulullah SAW pada zaman dahulu kala, tetapi kita kan harus mulai. Tidak pahamnya masyarakat dan tidak pahamnya pengelola sendiri bukan alasan. Kan yang lebih penting kemauan untuk belajar menuju ke sana. Kita mulai dari waktu yang sangat awal, misalnya ketika para pendaftar atau calon pedagang. Di form pendaftaran sudah kita beri introduction tentang bagaimana seharusnya.
Di awal ini memang karena masyarakat masih sangat awam. Kita menjelasakan muamalah syar’i dengan bahasa yang sangat simple seperti tidak boleh menipu, tidak boleh mengurangi timbangan, tidak boleh menembunyikan cacat barang, tidak boleh membuat sumpah palsu untuk melariskan dagangan. Itu ada di formulir dan calon pedagang harus menyetujui. Oleh karena itu, kita nanti membuat pengawas pasar.
Selama ini yang sudah mendaftar apakah berasal dari pengusaha besar atau kecil?
Saya prioritaskan warga setempat. Artinya pengusaha-pengusaha kecil, karena pasar itu adalah pintu gerbang kemakmuran. Jadi harus kita buka seluas-luasnya.
Dalam konsep Pasar Islam, Umar bin Khaththab pernah berkata siapa yang pertama kali datang ke pasar dia berhak menempati dimanapun tempat yang ia mau. Nanti bagaimana pengaturannya di Pasar Madinah yang anda dirikan?
Nah yang disampaikan Umar itu adalah penjabaran dari Fala yuntaqashanna yakni jangan dipersempit. Konsepnya meniru Mesjid, siapa yang datang dahulu, dia bisa menempati shaf pertama. Itulah yang dijabarkan dengan indah oleh Umar, karena Umar adalah muhtashib kedua setelah Rasulullah saat itu. Nah di zaman sekarang jalannya justru di situ. Yang kita ambil adalah makna penting jangan dipersempit. Agar semua orang berkesempatan. Prinsipnya di situ.
Nah karena pasar madinah yang kita gagas sekarang ini baru mencakup 50 orang, maka bagaimana agar semua orang punya kesempatan hal itu bisa ditafsirikan bahwa yang penting adalah kita memiliki kesempatan yang sama. Jika pendaftarnya melebihi kapasitas, kita akan gilir. Jadi kesempatannya sama. Jika yang mendaftar 100 nanti kita gilir dua kali sehari. Jika pendaftarnya 15o, kita gilir 3 hari sekali. Seperti Bazar saja, makanya saya namakan sekarang Bazar Madinah.
Nah kalau pendaftarnya sudah banyak dari itu, maka itu artinya pasar kita memamg diminati orang. Pada saat itu kita akan lakukan pengembangan pasar. Bisa di dekat situ (depok, red.) atau di lokasi lain yang akan kita bangun pasar-pasar sejenis lainnya. Maka yang tengah saya siapkan sekarang adalah bukan hanya infrakstruktur pasar saja, tapi instrumen standarisasi untuk menggandakan pasar serupa. Jadi jika di pasar ini tidak menampung lagi animo masyarakat, bisa kita alihkan ke pasar lain.
Dan apakah sudah ada respon dari pihak lainnya untuk membuat pasar serupa?
Oh banyak sekali. Di Tanjung Priok ada, Bintaro, Bandung, Batam, hingga Makassar. Padahal kita belum sosialisasikan. Karena orang butuh solusi. Tapi memang belum kita jawab. Karena kita mau tes di Depok dulu.
Nah yang kita lakukan itu simple sebenarnya. Kita ini hanya mau berbuat riil dari masalah yang riil di masyarakat. Masalah di masyarakat itu nyata, tapi yang belum nyata adalah solusinya. Solusinya masih wacana dari politikus, wacana dari intsrumen kampanye gubernur, walikota, presiden yang ingin memakmurkan rakyat. Lha itu kan solusi yang belum nyata dari masalah yang sudah nyata. Nah yang kita lakukan simple saja. Karena masalah nyata kita beri solusi nyata bukan wacana.
Memang apa kekurangan pemerintah saat ini? Bukankah pemerintah juga menangani Pasar?
Saya melihat begini. Karena mungkin masalahnya banyak dan tenaganya juga banyak hal itu menjadikan pemerintah tidak fokus. Prasangka baik saya, mungkin saking banyaknya urusan, maka rakyat tidak ditangani secara fokus. Misalkan data dari APPSI (Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia, red.) ternyata setiap tahun ada delapan pasar tradisional tutup diikuti ratusan kios lainnya, karena tidak bisa bersaing.
Sedangkan, setiap tahun pasar modern justru tumbuh mencapai 31 % dan pasar tradisonal minus 8 %. Maka pasar rakyat makin habis. Rakyat akhirnya makin menjadi konsumen, bukan jadi produsen atau penyedia barang. Intinya, rakyat itu harus dimakmurkan, tapi upaya itu harus kesana. Nah pintu mengangkat itu adalah perdagangan. Sembilan dari sepuluh pintu rezeki adalah perdagangan.
Apa pesan anda terhadap para pedagang muslim?
Intinya ketika kita memberikan solusi sederhana untuk masalah yang njlimet. Itu lebih efektif daripada memberikan teori njelimet atas masalah sederhana. Nah masalah njelimet ini adalah kemiskinan, riba, ketimpangan ekomoni dan lain sebagainya, nah solusi sederhananya apa? Solusi sederhananya adalah kembali ke jalan Islam.
Sama seperti Umar mau mencium Hajar Aswad, Umar sampai bimbang hingga berkata kalaulah Rasulullah tidak mencium batu itu dengan hati-hati maka Umar juga tidak menciumnya. Sama dengan saya menyikapi membuat pasar, melihat masalah umat yang begitu njlimet, kemiskinan dimana-mana, sampai banyak umat meninggal karena tidak bisa makan. Solusinya sederhana, apa yang dilakukan Rasulullah kita ikuti, termasuk membuat pasar. (pz)