Lisa Taraki, sosiolog di Universitas Birzeit di wilayah pendudukan di Tepi Barat, adalah salah satu penggagas kampanye Palestinian Campaign for the Academic and Cultural Boycott of Israel (PACBI). Ia menjelaskan mengapa harus ada gerakan boikot Israel yang mendunia dan upaya Israel mengkriminalkan warganya yang mendukung gerakan boikot.
Berikut petikan pernyataan Lisa Taraki dalam wawancara dengan Mark LeVine, profesor sejarah Timur Tengah di Universitas California, Irvine dan penulis buku "Heavy Metal Islam: Rock, Resistance, and the Struggle for the Soul of Islam" dan sebentar lagi akan menerbitkan buku "An Impossible Peace: Israel/Palestine Since 1989."
Mark LeVine (ML): Apa sebenarnya gerakan "Boycott, Divestment and Sanctions" (BDS) dan apa hubungannya dengan gerakan boikot kebudayaan dan akademis Israel? Bagaimana kedua gerakan ini mengembangkan diri dalam beberapa tahun belakangan ini, terutama dalam metode dan tujuannya?
Lisa Taraki (LT): Gerakan BDS bisa disimpulkan sebagai perjuangan untuk melawan kolonisasi, penjajajahan dan apartheid yang dilakukan Israel di Palestina. BDS merupakan strategi perjuangan berbasis hak, hak yang harus dikejar sampai Israel memenuhi kewajibannya mengakui hak rakyat Palestina untuk menentulan nasib sendiri dan sampai Israel memenuhi tuntutan dunia internasional.
Dalam kerangka ini, gerakan boikot kebudayaan dan akademis Israel mengukuhkan diri selama tujuh tahun sejak peluncuran Palestinian Campaign for the Academic and Cultural Boycott of Israel (PACBI) pada tahun 2004. Tujuan dari seruan boikot kebudayaan dan akademis Israel, seperti juga tujuan dari Palestinian Civil Society Call for Boycott, Divestment and Sanctions yang diluncurkan tahun 2005 tetap konsisten, yaitu untuk menghentikan kolonisasi di wilayah Palestina yang dikuasai Israel sejak tahun 1967, memastikn persamaan hak secara penuh bagi warga Palestina di Israel, menghentikan sistim diskriminasi rasial dan merealisasikan hak pengungsi Palestina untuk kembali ke tanah air mereka seperti yang termaktub dalam Resolusi PBB nomor 194.
Logika gerakan BDS juga masih konsisten. Dasar logika BDS adalah melakukan tekanan, bukan diplomasi, persuasi atau dialog. Strategi diplomasi untuk mencapai hak-hak asasi manusia terbukti sia-sia karena Israel menikmati proteksi dan imunitas hegemoni kekuatan-kekuatan dunia.
Logika kedua berupa persuasi juga menunjukkan kebangkrutannya karena tidak ada "pendidikan" buat orang-orang Israel tentang mengerikannya penjajahan dan bentuk penindasan lainnya justru makin meningkat. Dialog antara Palestina dan Israel yang masih populer di kalangan orang-orang Israel yang liberal, organisasi-organisasi Barat serta pemerintah negara yang mendanai kegiatan mereka, juga terbukti gagal dengan menyedihkan. Dialog seringkali dibingkai dengan istilah "dua sisi cerita", dalam arti bahwa masing-masing pihak harus memahami rasa sakit, kepedihan dan penderitaan pihak yang lain, dan harus menerima perkataan pihak lain.
Situasi ini menampakkan seolah-olah "dua belah pihal" sama-sama bersalah, dan sengaja menghindar untuk mengakui dasar hubungan antara penjajah dan yang terjajah. Dialog yang dilakukan bukan untuk mempromosikan perubahan, tapi lebih untuk memperkuat status quo, dan faktanya hal itu hanya untuk keperntingan pihak Israel. Israel merasa bahwa mereka sudah melakukan sesuatu, padahal tidak. Logika BDS adalah logika untuk melakukan tekanan, dan tekanan itu semakin hari semakin kuat.
ML: Belum lama ini, Israel mengesahkan apa yang disebut "Undang-Undang Anti-Boikot". Orang Israel yang mendukung boikot, meski terbatas pada produk-produk dari pemukiman Yahudi, akan dikenakan pinalti dan pemerintah bisa melakukan gugatan hukum untuk menghentikan aksi boikot tersebut. Apa komentar Anda tentang hal ini, terutama terhadap kritik media massa Israel yang menyebut undang-undang itu bertentangan dengan demokrasi dan cenderung fasis?
LT: Gerakan BDS untuk mendukung Palestina didorong oleh diadopsinya logika BDS, khususnya boikot, oleh sebagian kelompok kiri Israel, dan merasa bahwa argumen untuk melakukan "tekanan" bukan persuasi, adalah benar dan cara terbaik untuk membuat Israel menyadari bahwa sistem penjajahan, apartheid dan kolonialisme harus diakhiri. Dalam hal ini, Saya harus memberikan catatan bahwa setidaknya ada dua aspek yang sangat mengganggu terkait aktivitas seputar pengesahan undang-undang antiboikot;
Yang pertama; Kelompok kiri dan kelompok liberal Israel mendukung boikot terhadap institusi dan produk-produk dari koloni-koloni Israel di Tepi Barat saja. Boikot ini lalu bersikap diam atas keterlibatan institusi mainstream di Israel–dan tentu saja banyak industri, seperti industri persenjataan yang memang ingin mempertahankan dan melegalkan struktur penindasan.
Yang kedua, boikot sering diistilahkan untuk "menyelamatkan demokrasi Israel." Yang menjadi pusat wacana ini adalah Israel, dan bukan hak-hak rakyat Palestina yang sudah ditetapkan oleh hukum internasional. Wacana ini juga tidak menegaskan bahwa Israel akan memenuhi tuntutan rakyat Palestina. Ada satu pengecualian, yaitu kelompok "Boycott from Within" di Israel yang secara eksplisit mengakui BDS di Palestina dan menjadi referensi atas agenda-agenda kegiatannya, antara lain menyerukan para artis dan musisi untuk tidak menggelar pertunjukkan di Israel mendukung embargo terhadap Israel, memberikan advokasi bagi kampanye BDS dan semua kegiatan boikot dengan target institusi-institusi Israel. Kelompok lainnya di Israel seperti Coalition of Women for Peace, ICAHD, juga mengadopsi secara terbuka gerakan BDS di Palestina.
ML: Apa kesan Anda tentang peristiwa terakhir yang menimpa rombongan Gaza Flotilla? Sejumlah komentator mengatakan bahwa Israel sukses menerapkan strategi "nonkekerasa" denga menekan dan memerintahkan negara untuk mencegat rombongan Armada Kebebasan agar tidak samapi ke Gaza, dan itu merupakan kekalahan bagi kelompok perlawanan yang tidak menggunakan cara-cara kekerasan.
LT: Saya tidak setuju dengan penilaian itu. Saya kira tujuan utama Freedom Flotilla untuk menyoroti, melawan dan memprotes blokade Israel di Jalur Gaza sudah terealisasi, meskipun rezim Israel melakukan tekanan yang eksrim terhadap sejumlah negara agar mau menghentikan rombongan itu. Yang justru terpublikasi adalah sikap Israel yang memalukan.
ML: Nampaknya makin banyak orang-orang Yahudi diaspora dan di Israel yang mendukung BDS. Menurut Anda apa yang membuatnya demikian? Apakah Anda melihat peribahan dari sisi Israel dalam menyikapi aksi protes maupun gerakan non-kekerasan?
LT: Komentar saya terkait boikot Israel untuk koloni-koloninya di Tepi Barat, juga relevan dengan pertanyaan ini. Saya kira sebagian besar masyarakat Israel tidak terlalu yakin BDS merupaka strategi efektif untuk melakukan perubahan radikal dari kondisi status quo. Ini karena masyarakat Israel sendiri tidak punya insentif untuk mengubah status quo itu. Hanya tekanan, dalam berbagai tindakan yang dilakukan BDS yang bisa menggerakan lembaga-lembaga politik di Israel.
ML: Bisakah Anda menjelaskan lebih rinci apa yang dimaksud dengan pernyataan para inisiator BDS tentang institusi, artis dan akademisi yang menjadi "Brand Israel"?
LT: "Brand Israel" adalah kampanye internasional yang diluncurkan pada tahun 2005 oleh sejumlah lembaga pemerintahan Israel dan organisasi-organisasi internasional pro-Israel, utamanya di AS. Ide utama dari kampanye ini adalah untuk menggambarkan dan mempromosikan Israel sebagai negara yang normal untuk tempat wisata, tempat berkumpulnya anak-anak muda, tempat menikmati seni budaya, olah raga dan hal lainnya yang ingin menampilkan citra Israel sebagai negara "beradab". Kedutaan besar, kantor konsulat Israel, serta organisasi Yahudi serta zionis berperang besar dalam kampanye ini.
ML: Apakah ada pelajaran yang bisa diambil dari apa yang diistilah Musim Semi di Arab (gerakan revolusi di berbagai negara Arab) atau dari mobilisasi massa secara global menentang penindasan dalam setahun atau dua tahun belakangan ini, yang bisa membantu gerakan BDS dan perjuangan rakyat Palestin agar lebih meluas?
LT: Spirit revolusioner yang menyala di Arab, tidak diragukan akan menjadikan isu Palestina menjadi isu yang lebih mendesak dibandingkan sebelumnya, baik di negara-negara yang baru memulai transformasi revolusioner dan di negara-negara yang masih memperjuangkan demokrasi dan kebebasannya. Begitu mereka bebas dan menggelar pemilu untuk membentukan parlemen baru, seperti yang terjadi di Mesir dan Tunisia dan negara-negara Arab lainnya, parlemen baru itu akan lebih sensitif karena akan diawasi rakyat.
Palestina sejak lama menjadi isu negara-negara Arab, dan itu termasuk penolakan yang makin meluas terhadap tindakan-tindakan Israel yang destruktif di kawasan. Kekuatan kontrarevolusi mungkin berusaha meredam sentimen perlawanan, oleh sebab itu perjuangan masih akan terus ada berlanjut. Tapi kebijakan negara-negara Arab tidak akan sama pada saat ini, karena semangat revolusioner sudah begitu melekat dalam imajinasi bangsa Arab. (kw/aljz)