Geografi modern di Timur Tengah yang diukir oleh kolonial Inggris dan Perancis yang satu-satunya "landscape" yang merupakan rampasan perang di antara para koloanial, dan mereka mempertahankan supremasi atas wilayah itu sampai abad ke 20.
Kontur wilayah ini, dengan garis-garis lurus yang membentang sepanjang pantai Mediterinia, dan membujur sepanjang wilayah yang indah mulai Aljazair, Libya, Mesir terus ke Libanon, sampai hari ini lukisan yang indah itu masih tetap utuh, dan tidak berubah. Lukisan wilayah yang membentang luas, dan sekarang wilayah itu menghadapi perubahan politik.
Wilayah yang membentang luas di sepanjang pantai laut Mediterania itu, tidak pernah memiliki konsep geografis modern. Para penguasa di kawasan itu, para raja, presiden, dan sulthan, tidak pernah menerima konsep negara modern, dan bagaimana mengelola wilayah geografis, termasuk perbatasan antara negara, termasuk hubungan internasional diantara mereka?
Mereka membiarkan tapal batas antara negara-negara Arab, berlangsung secara alamiah. Timur Tengah sebagai negara bangsa, kurang memperhatikan tentang kedaulatan negara, hubungan negara sebagai hal yang penting.
Timur Tengah pernah membuat perjanjian yang mengatur perbatasan, yang tujuannya mengerat-ngerat negara-negara Arab dalam negara bangsa, seperti yang pernah dilakukan Inggris dan Perancis dalam perjanjian Sykes-Picot, pada tahun 1916. Tetapi, perjanjian Syks-Picot tidak berarti apa-apa dalam kehidupan bangsa Arab, yang mewarisi budaya "nomaden", yang suka berpindah-pindah, sehingga mereka tidak mengenal batas wilayah negara. Sampai hari ini. Semua rakyatnya bergerak bebas antar negara.
Bahkan, pernah Arab Saudi membangun jaringan rel kereta api, antara Madinah – Damaskus untuk mengangkut jemaah haji, tetapi itu tidak pernah diurus lagi, sampai jaringan rel kereta api itu rusak dan hancur.
Tetapi, tidak berarti itu berakhirnya aktivitas antar negara, aktivitas rakyat yang melintas batas. Tradisi itu sudah berlangsung ribuan tahun lalu. Bahkan sebelulm Islam. Sepajang sejarah Islam, rakyat Arab, mulai dari ujung Muritania sampai Irak, dan paling bawah Yaman, mereka bergerak dari satu negara ke negara lainnya.
Semangat Mendorong Kesatuan
Sepanjang sejarah, para pemimpin Arab telah berusaha untuk mendorong kesatuan lebih dekat di dunia Arab baik dalam bentuk Liga Arab yang beranggotakan 22-anggota – yang bertujuan, "untuk menjaga independensi dan kedaulatan negara Arab" – atau Dewan Kerjasama Negara Teluk (GCC) yang beranggotakan enam-negara Teluk, sebagai organisasi kerjasama yang mempunyai tujuan untuk meningkatkan kerjasama dibidang politik, ekonomi dan keamanan. GCC itu lahir dari dampak dari "Revolusi Iran", tahun 1979.
Pengaruh kesatuan negara-negara Arab itu semakin menggema, ketika Mesir dibawah Gamal Abdul Nasser, yang menggemakan Pan Arabisme dan Nasionlisme Arab, yang menginginkan adanya kesatuan politik di dunia Arab, serta dengan satu ikatan Pan Arabisme, kemudian gagasan itu menjadi sebuah ideologi yang disebut Nasserisme, berawal tahun 1958.
Nasserisme yang berkumandang di seluruh dunia Arab itu, menyongsong lahirnya dunia Arab baru, dibawah payung politik Mesir, yang dipimpin Gamal Abdul Nasser. Inilah usaha terbesar sepanjang sejarah yang ingin menghapus tapal batas di dunia Arab, dan membentuk sebuah negara ‘borderless", negara Arab tanpa tapal batas, yang memberikan kesempatan kepada setiap penduduknya secara bebas untuk melintas secara bebas.
Tetapi, ini semuanya tak pernah terwujud secara jelas, karena Gamal Abdul Nasser, yang seperti Muammar Gadhafi, yang memiliki sifat megalomania terhadap kekuasaan. Cita-cita persatuan Arab hanya menjadi sebuah impian yang kosong. Gamal Abdul Nasser gagal mewujudkan impiannya. Sampai tahun l961 cita-cita persatuan Arab itu terkubur.
Secara teoritis, Mesir dan Suriah menjadi satu, sebagai bagian dari persatuan negara Arab, dibawah kepemimpinan tunggal, dan dengan corak kekuasaan yang didesentralisasikan, serta seharusnya persatuan negara Arab (United Arab Republic), untuk memupuk semangat kebersamaan dan mendorong negara-negara lain di kawasan itu bergabung dan memperluas persatuan.
Proyek itu gagal. Karena proyek persatuan negara-negara Arab itu, hanya ambisi para pemimpin Arab, yang dimotivasi adanya ego kekuasaan diantara pemimpinnya, tanpa memiliki landasan dukungan dari rakyat. Ini hanyalah proyek yang digulirkan Barat, yang tujuannya untuk merobek-robek persatuan Arab, dan menggunakan ideologi Barat, yang memiliki akar sejarah bangsa Arab. Dengan perstuan Arab, tetapi dengan ideologi Barat. Perpecahan itu, di mulai sejak Inggris dan Perancis memprovokasi dunia Arab untuk melepaskan ikatan mereka dengan Turki, sebagai pemimpin dunia Islam.
Ide itu diperdebatkan kembali pada 1990-an dan 2000-an, tentang perlunya membuka lebih luas perbatasan, atau menghapus tapal batas diantara negara-negara Arab. Gagasan itu disuarakan oleh para pemimpin Gerakan Islam, yang menginginkan ide nasionalisme yang mengkotak-kotakan mereka dihapus. Ini menjadi cita-cita yang permanen dari Gerakan Islam, yang terus memotivasi gerakan mereka.
Ide penyatuan negara-negara Arag itu menjadi manifesto dari beberapa Gerakan Islam. Penyatuan itu terus menjadi obsesi dan menjadi ambisi yang kuat diantara mereka. Dikalangan negara-negara Arab, hal itu tertanam kuat di dalam kehidupan rakyatnya.
Hal ini sangat nampak dalam gerakan-gerakan politik yang sekarang ini sedang tumbuh kembali dikalangan rakyat Arab.
Dengan demikian, Front Keselamatan Islam adalah aktor dominan di Aljazair, dan Ikhwanul Muslimin. Ingin dengan sungguh-sungguh mengembalikan ‘persaudaraan muslim’ diantara rakyat Arab yang terkerat dalam nasionalisme, yang memang digulirkan oleh Barat, sejak Perancis, Itali, dan Inggris menjajah negeri mereka.
Gerakan-gerakan Islam memiliki dasar ideologis yang bertujuan untuk mengembalikan supremasi Kekhalifahan yang pernah menyatukan seluruh dunia Islam. Sebuah realisme politik baru, yang sekarang ini diagungkan kembali.
Sebua eksperiman politik yang sudah pernah digaungkan oleh pemimpin Turki, yang baru-baru ini meninggal Necmetin Erbakan, yang membentuk negara ‘tunggal’ dengan mata uang tunggal, kerjasama ekonomi, dan pertahanan, serta politik yang gagal karena kudeta militer.
Semua Untuk Satu
Momentum revolusi yang sekarang terjadi di dunia Arab, yang akan menggusur para pemimpin lama, yang merupakan warisan para kolonial Barat, dan akan memunculkan kepemimpinan baru, yang lebih aspiratif, dan membangun kembali kesatuan negara-negara Arab.
Seperti peristiwa yang terjadi di Mesir, Tunisia, Libya, Yaman, Aljazair, menggugah kembali, bagaimana diantara rakyat di berbagai negara itu, saling bahu-membahu saling tolong menolong diantara saudara mereka. Dengan adanya komunikasi yang lebih terbuka, dan adanya media digital, pasti akan merubah seluluh dunia Arab, yang selama ini dikuasai para otokrat dan diktator serta despotis, yang sudah tidak layak lagi bagi kehidupan.
Perubahan politik yang sekarang terjadi di seluruh dunia Arab, sangat mungkin menyatukan kembali dunia Arab, yang selama ini dikerat-kerat oleh para "bajingan" yang menjadi alat Barat, yang memang tujuan mereka hanyalah untuk melemahkan dan mengahcurkan dunia Arab, dan membiarkan negaranya dikuasai. Secara permanen. Sekarang momentum itu datang. (mhi/aljz)