Marwan Batubara: Kekayaan Alam Indonesia Harus Diselamatkan dari Asing

Marwan Batubara, anggota DPD periode 2004—2009 yang kini aktif dalam Komite Penyelamat Kekayaan Negara (KPK-N), berbicara tentang kondisi kekayaan Indonesia dan ‘perampokan’ sumber daya alam yang dilakukan oleh asing. Beberapa isu strategis mengenai pertambangan dan yang terkait dengan kekayaan negara dan hajat hidup orang banyak dituangkannya dalam buku yang berjudul “Menggugat Pengelolaan Sumber Daya Alam, Menuju Negara Berdaulat”.

Setelah mendeklarasikan KPK-N bersama dengan tokoh nasional lainnya, seperti Amin Rais, Hidayat Nur Wahid, Gus Dur, Rizal Ramli, dan Adhi Massardi pada 28 Juli 2008, Marwan tetap aktif menyuarakan isu-isu pengelolaan sumber daya alam yang mengakibatkan kekayaan negara belum dapat dioptimalkan guna meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat. Eramuslim.com berkesempatan mewawancarai Marwan mengenai seluk-beluk KPK-N.

KPK-N telah setahun dideklarasikan, tapi seakan belum menyentuh masyarakat?

KPK-N itu lebih kepada gerakan masyarakat, masyarakat sipil dalam melakukan advokasi. Masyarakat sipil unsurnya itu terdiri dari LSM, pakar-pakar, mahasiswa. Tapi memang organisasi ini kan organisasi yang longgar tidak punya anggaran dasar yang ketat, dan biasanya mengangkat isu-isu yang dianggap besar dan strategis. Makanya, bisa saja selama ini, sesudah deklarasi itu tidak terlalu banyak kelihatan kiprahnya, tapi dalam prakteknya sih, kita hampir setiap minggu atau setiap bulan ada saja isu yang kita angkat. Termasuk soal korupsi. Jadi, soal BLBI itu, dari KPK-N datang ke KPK bisa 3-4 kali. Intinya, kita mengangkat masalah-masalah yang besar yang terkait dengan kekayaan negara, apakah itu di sektor migas, energi, BUMN, misalnya Krakatau Steel. Itu kan waktu mau dijual, kita juga bersuara, jangan sampai di jual ke Mital dari Libya. Juga masalah-masalah korupsi, termasuk BLBI, dan Century.

Sampai sejauh mana advokasi yang dilakukan oleh KPK-N?

Kalau advokasi itu kita menyampaikan ke eksekutif, legislatif, yudikatif, dan media. Kalau sudah sampai di media, tinggal medianya dibayar sama yang punya kasus atau tidak.

Apakah ada hambatan dalam pelaksanaan advokasi tersebut?

Hambatan, kalau bicara hubungan media, seandainya media itu dikendalikan oleh orang yang dekat dengan objek, kita tidak bisa berbuat apa-apa, di sisi lain, kita juga tidak punya kekuatan untuk mengendalikan media itu. Tapi kan yang namanya media itu gampang dibayar-bayar, kita sendiri tak mampu, soal tempat aja kita numpang di gedung DPR. Jadi, hambatan kita mungkin kita tak punya dana yang besar untuk melakukan advokasi, di sisi lain kita tak bisa mengendalikan media.

Kalau kita bicara kasus Newmont, hampir semua media sekarang ini mendukung pembelian oleh Pemda bekerja sama dengan multikapital.

Ada ancaman ketika Anda mengungkap kasus-kasus ini?

Pernah ada, kalau tidak salah waktu kasus Indosat, atau masalah Cepu. Via sms, mereka melakukan black campaign terhadap saya. Saya kan wakil dari DKI, kok bicara masalah pertambangan, masalah migas, jadi masyarakat DKI dikondisikan agar menuntut supaya saya mundur saja. Kok nggak ngurusin masalah DKI. Padahal, ini kan masalah nasional.

Kenapa melompat dari anggota DPD ke KPK-N?

Tadinya ini memang ada teman-teman lain, kayak Adhi Massardi, yang ikut sama-sama karena kita anggap perlu ada wadah bersama dari berbagai entitas elemen masyarakat, mungkin kalau disatukan akan dilihat lain begitu. Lalu, ya kita yang selama ini sudah melakukan advokasi cuma melanjutkan saja. Sebetulnya sudah dari dulu kita terjun di advokasi ini, cuma wadahnya baru dibuat di KPK-N untuk menggabungkan elemen-elemen yang banyak tadi menjadi satu kekuatan, termasuk dari masyarakat.

Apakah ada partai yang dapat diajak bekerja sama dengan KPK-N?

Kita sih menawarkan ke beberapa partai, dengan Mustafa Kamal misalnya, sebagai ketua fraksi di PKS. Dia silakan saja, kalau kita butuh, dukung atau kita support. Pernah juga koordinasi dengan PAN, kita kan rutin dengan Pak Amin, di KPK-N beliau kan sebagai dewan pakar, pendiri. Ada Rendra, Pak Hidayat, Gus Dur, Pak Amin, Rizal Ramli, jadi sebetulnya sih kita welcome aja.

Tapi mereka mau nggak, kan kadang-kadang justru berbeda. Kenapa kita bikin ini kan karena penyaluran di partai itu nggak berjalan, tidak optimal. Kayak dulu, kasus Cepu, akhirnya kan partai-partai setuju, padahal kita anggap masih belum selesai. Sama dengan Newmont, ini kan DPR sudah setuju semua. Terus, ke mana lagi gitu? Paling kita teriak-teriak aja.

Adakah kasus yang disuarakan KPK-N sampai mengubah kebijakan pemerintah?

Kalau soal mereka memperhatikan itu sih ada, contoh penjualan saham Krakatau Steel. Banyaknya penolakan, kita menggalang pernyataan sikap di MPR, mulai diperhitungkan dan akhirnya batal. Artinya, kita tetap diperhitungkan. Apalagi kita sengaja mengajak tokoh-tokoh itu, kayak Pak Fadhil, Pak Ryaad, Pak Iman Sugema, Hendri Saparini, insyaAllah sih kalau kita perhatikan ada. InsyaAllah ada perhatian lah ke kita.

Bagaimana koordinasi dengan pemerintah?

Pemerintah kadang-kadang kita kirim SMS, kita telepon, kita kirim pernyataan tapi yang ini kan, migas misalnya kaitannya dengan BUMN, kita ke Menneg BUMN. Di beberapa kesempatan, kita malah dikasih informasi sama Pertamina waktu kasus Semai. Seolah-olah kita dimanfaatkan cuma kita pikir, ini kan, untuk kepentingan orang banyak. Pertamina waktu itu, memang benar posisinya. Kita dapat informasi dan kita menyuarakan.

Apa agenda ke depan?

Agenda ke depan, kita akan terus, kalau yang ditulis di buku itu kan umumnya masih belum tuntas. Newmont, misalnya itu tanggal 14 November nanti, auditnya mundur apakah nanti diserahkan ke daerah artinya ke multi kapital, atau mau ke BUMN, kita akan bikin pernyataan lah supaya tetap ke BUMN. Belum deal, kalau yang dua tahun pertama sih sudah ya, ini kan yang ketiga, terus tahun depan itu yang keempat, ini kan bertahap sampai nanti totalnya 30 persen.

Natuna misalnya, itu kan akhirnya belum ada kepastian siapa yang menjadi partner Pertamina. Pertamina sekalipun itu katanya belum yakin ditunjuk oleh operator, oleh pemerintah. Padahal itu potensi gasnya paling besar, mungkin bisa dianggap sampai dua ribu milyar, potensi uangnya kira-kira 6 ribu trilyun, 680-an, US$600 milyar.

Itu kita asumsikan harga minyak itu US$70 per barel, jadi hitung sampai harga produksi itu habis. Sampai gas itu habis, katakanlah 30 tahun, diasumsikan harganya itu stabil di US$70 per barel, itu nilainya sampai US$600 milyar, kalau naik, berarti kan bisa semakin besar. Sangat strategis, apalagi kalau kita baca di koran, PLN bisa melakukan penghematan sekitar 5 trilyun atau berapa karena mengubah bahan bakarnya dari BBM ke gas. Artinya, kan makin strategis.

Kita nggak yakin (potensi gas ini, red) nanti diserahkan ke Pertamina atau tidak, ini akan juga kita suarakan ke depan. Apalagi kita lihat di DPR-nya saat ini malah bersatu semua. (indah)