Wawancara dengan Lili Romli, Pengamat Politik LIPI
Fenomena apa di balik superioritas pemerintahan SBY?
Kalau semua kemudian masuk di dalam pemerintahan memang bisa terjadi kecenderungan executive heavy, di mana peran eksekutif atau presiden akan kuat karena praktis partai-partai politik bergabung di dalam kekuasaan. Ini tentu saja kabar atau kondisi yang tidak baik buat perkembangan demokrasi kita. Karena demokrasi itu akan dinamis manakala ada partai-partai yang secara signifikan berada di luar pemerintahan. Karena dengan ada partai oposisi ini gunanya untuk mengontrol dan mengawasi jalannya pemerintahan, terjadi mekanisme check and balances karena ada yang mengimbangi, ada pengimbangnya, ada pengontrolnya. Nah, kalau semua partai itu bergabung, maka peran untuk melakukan kontrol dan pengawasan itu secara kelembagaan tidak ada.
Apakah ini indikasi bahwa reformasi telah mati?
Nggak sampai ke situ, bisa saja kecenderungan ke arah ke sana, tidak sampai lonceng kematian sih, tapi bisa jadi mengarah ke sana, ke kemunduran. Nah, yang kita sayangkan, elit-elit politik kita ini ternyata orientasinya lebih pada kekuasaan dibandingkan pada cita-cita dan nilai idealisme dan cita-cita dan nilai idealisme itu seharusnya tidak diwujudkan dalam konteks masuk ke dalam kekuasaan, bisa juga berada di luar kekuasaan itu karena mereka kan punya pandangan dan cita-cita yang berbeda.
Tapi kalau semua bergabung di dalam pemerintahan, berarti kan antara parpol yang satu dengan yang lainnya tidak ada perbedaannya. Sama-sama sehingga akhirnya kita kecewa buat apa ada pemilihan umum yang pesertanya banyak partai politik, buat apa kemudian ada pilpres yang kemudian banyak kandidat, kenapa nggak bergabung aja, dan akhirnya partai-partai yang berbeda, partai-partai yang mengusung calon yang berlainan kemudian bersatu bareng-bareng membentuk pemerintahan, padahal konteksnya, mereka itu kan tentu punya pandangan-pandangan yang berbeda, punya program-program yang berbeda sehingga ketika mereka kalah tentu saja nanti dia siap sebagai partai yang melakukan kontrol dan pengawasan.
Nah, dengan bergabungnya mereka itu semakin terang benderang bahwa yang dikejar oleh elit itu bukan untuk memperjuangkan ide-ide itu tapi untuk meraih jabatan, kekuasaan di dalam pemerintahan. Ini saya pikir melukai hati rakyat, gitu. Rakyat menjadi kecewa gitu, dijadikan sasaran, objek bahwa mereka itu berbeda, lho, dengan kandidat lain, berbeda lho dengan partai-partai lain tapi pada akhirnya tidak demikian.
Ada yang mengatakan tidak ada perbedaan antara koalisi dan oposisi, komentar Bapak?
Itulah, menurut saya, mereka itu pembenaran saja bahwa tidak ada bedanya, harus dibedakan dong. Bahwa secara umum, oposisi itu tidak ada dikenal istilah di Indonesia tapi kita ya juga harus memperkenalkannya bahwa partai di luar pemerintah sama dengan partai oposisi. Kalau tidak ada partai yang di luar pemerintah, maka mekanisme check and balances juga tidak berjalan. Bahwa alasan nanti jika di dalam pemerintahan juga akan tetap bersikap kritis, saya pikir itu kan berdiri di dua kaki, kalau begitu, menerapkan standar ganda. Yang kita inginkan ada kejelasan. Ada prinsip.
Kalau sudah bergabung dengan pemerintahan, apapun yang terjadi terhadap pemerintahan itu, harus mendukung penuh pemerintahan, tidak mengkritisi, kan menjadi aneh, dia bergabung dengan pemerintahan kok dia berteriak-teriak mengkritik pemerintah. Yang berhak berteriak-teriak terhadap pemerintahan, ya partai yang ada di luar pemerintahan, bukan di dalam pemerintahan. Gitu kan harusnya logikanya. Orang di dalam pemerintahan kok teriak-teriak mengkritisi, gitu lho.
Jadi, memang harus ada dikotomi: koalisi dan oposisi?
Harus ada yang membedakan, karena mana partai-partai yang berhasil programnya nanti oleh rakyat akan dijadikan pilihan terhadap partai yang memberikan alternatif itu untuk membangun Indonesia ini. Kalau ini kan susah kita membedakan, pilih mana, nanti sama juga kan bergabung. Jadi ini kan bagi-bagi kekuasaan aja, udah, sama aja kalau gitu. kita bagi aja, ibarat kursi itu, berapa-berapa lah. Nggak usah ada pemilihan, kan. Kita memilih partai itu kan karena mereka mempunyai program yang berbeda, kan. Itu logika sederhana aja, tapi kemudian mereka bergabung, berarti sama dong. Kalau sama, bergabung aja menjadi Partai Demokrat semuanya.
Jadi, ke depannya, bagaimana mekanisme check and balances yang akan dilakukan oleh DPR?
Ada dua kemungkinan buruk, yang pertama DPR tidak kritis, menjadi lembaga ‘yes, man’ selalu memberikan persetujuan, jadi mekanisme check and balances itu nggak berjalan. Kemungkinan buruk yang kedua adalah partai itu berdiri di dua kaki. Jadi tadi yang saya gadang-gadang, kalau berdiri di dua kaki sama aja, nggak baik buat pemerintahan. Sama juga, karena, saya lihat, partai itu kan punya karakter, ada yang jelas, ada pembeda tapi kemudian mereka mengambil posisi dua kaki begitu, itu kan hal yang tidak baik karena tidak jelas posisinya parpol itu. Ngambil untungnya aja, ketika kemudian terjadi sesuatu lalu teriak-teriak, itu sesuatu hal yang buruk juga buat perkembangan partai, buat perkembangan pemerintahan. Jadi, harapan Pak SBY akan efektif jalannya pemerintahan bisa jadi tidak efektif karena partai berdiri di dua kaki.
Berkaitan dengan masih gamangnya langkah PDIP sekarang, bagaimana komentar Bapak?
Saya berharap PDIP nggak jadi (berkoalisi, red) karena kalau jadi (masuk), praktis semuanya hampir 90%, moga-moga PDIP tetap nggak masuk sehingga meneruskan tradisi yang sudah dibangun 5 tahun yang lalu. Bahwa suaranya yang menurun itu harus dievaluasi bukan terletak karena dia partai yang beroposisi, toh partai jadi bagian dari pemerintah juga semua pada turun, kecuali Demokrat. Jadi, bukan disalahkan sebagai partai oposisinya. Mungkin di situ ada konsolidasi, persoalan pembinaan kaderisasi dan lain sebagainya yang kurang termasuk juga hubungan dengan konstituennya.
Tanggapan terhadap PDIP yang kabarnya akan memainkan trik wakaf kader di pemerintahan?
Bagi saya, kalau dia menempatkan kadernya di pemerintahan, itu sudah menjadi bagian dari koalisi, sama aja dong, harus jelas. Nggak diakui bagaimana, kader dia duduk di parlemen, di pemerintahan, kok nggak diakui. Harus mengakui secara jantan bahwa dia berkoalisi, saya pikir rakyat juga tahu kalau ada kadernya yang duduk di pemerintahan terus tiba-tiba dia cuma kader aja nggak ada kaitannya dengan PDIP, jadi aneh kan kemudian kalau nggak ada kaitannya.
Prediksi arah pemerintahan SBY ke depan?
Saya nggak bisa menjawab arahnya apa, tapi yang bisa saya katakan, kalau semuanya dirangkul tidak baik untuk perkembangan demokrasi karena dengan begitu bisa jadi ada peluang-peluang untuk menyalahgunakan kekuasaan, ada peluang untuk menyalahgunakan kewenangan karena semua sudah menjadi bagian dari pemerintahan. Nah, itu aja yang kita khawatirkan ke sananya karena kalau sudah menjadi bagian dari pemerintahan kan mereka terkoptasi, jadi subordinat dari pemerintahan. Oleh karena itu, cukuplah koalisi yang sekarang ini, tapi tetap aja sudah bertambah jadi enam kan, Golkar dah tambah.
Fenomena ini menguntungkan bangsa atau sebaliknya?
Tergantung perspektif, kalau perspektif saya kan berkaitan dengan perkembangan demokrasi itu. Demokrasi ini kan bentukan, saya pikir perlu kita kembangkan, kembangkannya itu kan dimainkan perannya oleh partai. Jadi, dalam konteks itu, saya pikir, perlu ada partai pengimbang itu untuk kepentingan bangsa dan negara menjalankan demokrasi itu. (Ind)
foto: matanews