Menjelang Hari Ibu yang diperingati setiap tanggal 22 Desember, rupanya penghargaan terhadap perempuan dan ibu di Indonesia tidak sebanding dengan perayaan Hari Ibu. Pasalnya, menurut catatan tahunan Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan, yang baru merayakan 10 tahun keberadaannya di Indonesia, sebanyak 54.425 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi sepanjang tahun 2008. Jumlah tersebut merupakan dua kali lipat dari kasus yang terjadi pada tahun 2007, yaitu sebanyak 25.522 kasus. Yang menarik, di antara pelaku kekerasan terhadap perempuan, terdapat empat sosok yang menjadi sorotan, yaitu pejabat publik, kepala daerah, anggota legislatif, dan pendidik. Reporter eramuslim.com berbincang dengan Azriana Rambe Manalu, Ketua Subkomisi Pemulihan Komnas Antikekerasan terhadap Perempuan, seputar kasus kekerasan terhadap perempuan dan juga fenomena yang melatarbelakanginya. Berikut adalah kutipan wawancaranya.
Menurut tanggapan Anda, bagaimana tren kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia?
Saya pikir, sampai sekarang kita harus akui kekerasan terhadap perempuan itu sesuatu yang kita belum bisa minimalkan. Atau bisa dikatakan, belum bisa dihilangkan. Jadi, komnas perempuan masih saja menerima kasus-kasus, pengaduan tentang kekerasan terhadap perempuan setiap tahun. Kita punya laporan tahunan, setiap tahun ada catatan tahunan tentang kekerasan terhadap perempuan dan itu angkanya meningkat terus tiap tahun. Angka-angka itu kita dapat memang dari lembaga-lembaga yang melayani perempuan-perempuan korban kekerasan termasuk penagdilan, rumah sakit, kejaksaan, dan kepolisian. Ini menunjukkan korban yang mereka tangani setiap tahun bertambah. Jadi korban yang datang mengadu atau yang kemudian mendapatkan pelayanan dari institusi-institusi ini setiap tahun bertambah sehingga ini bisa dijadikan kesimpulan untuk kita, kekerasan itu belum bisa kita minimalkan.
Apa saja bentuk kekerasan terhadap perempuan dan apa sebenarnya akar masalah dari hal tersebut?
Kekerasan terhadap perempuan ini banyak wajahnya dan itu bisa terjadi di dalam rumah sendiri bisa terjadi kekerasan terhadap perempuan, di luar rumah, di tempat kerja, di komunitas, segala macam. Tidak ada tempat yang aman sebenarnya untuk perempuan. Tapi kemudian kita melihat juga dalam penyikapan yang dilakukan banyak pihak, termasuk pemerintah untuk meminimalkan kekerasan terhadap perempuan ini kadang-kadang nggak semuanya menjawab masalah. Terkesan kita kayak melihat hanya yang permukaannya saja sementara akar masalahnya kita nggak pernah bisa diselesaikan. Jadi akar masalah nggak diselesaikan yang pasti itu permukaan kan hanya dampak, dampak dari akar masalah yang nggak diselesaikan. Akar masalah juga terkait sangat erat dengan budaya masyarakat menempatkan perempuan seperti apa di dalam kehidupan. Kita tahu ya, konstruksi masyarakat kita masih menempatkan perempuan itu di posisi yang lebih rendah dari laki-laki. Bahkan meskipun bnyak kemajuan ya, sekarang kita bisa lihat hak-hak perempuan sebagai manusia itu sebagian besar adalah perkembangan. Anak-anak perempuan sekarang sudah tidak lagi dibatasi untuk sekolah, kemudian juga perkawinan usia muda juga sudah mulai menurun meskipun masih ada di banyak tempat. Jadi, praktek-praktek yang menghalangi perempuan untuk mendapatkan pemenuhan haknya semakin hari memang semakin berkurang tapi harus diakui, masih ada. Kalau secara umum, itu yang terjadi.
Bagaimana relativitas budaya masyarakat dengan pola pikir sebagian besar perempuan Indonesia?
Kita juga melihat bagaimana kemudian konstruksi sosial tentang laki-laki dan perempuan itu menjadi basis untuk semua perlakuan yang diskriminatif terhadap perempuan yang bahkan dalam hal tertentu, itu juga kekerasan. Seperti contoh misalnya, ketika kita berbicara, kenapa banyak perempuan, ini kalau konteksnya TKW, kenapa sebagian besar dari pekerja migran kita, tenaga kerja kita yang bekerja di luar negeri itu perempuan?! Sebagian besar perempuan, dan dari sebagian besar perempuan itu paling banyak bekerja di sektor nonformal, jadi di dalam rumah tangga yang jelas-jelas proteksinya nggak ada. Nggak ada hukum yang melindungi mereka dari kekerasan, dari perlakuan yang semena-mena dari rumah itu, nggak ada. Karena banyak negara penerima TKI, seperti Indoneseia, belum punya sistem perlindungan untuk pekerja rumah tangga. Jadi, ini asal mula masalah yang dihadapi oleh TKW kita. Kenapa sebagian besar tenaga kerja perempuan itu bekerja di sektor informal? Karena mereka nggak punya skill untuk bekerja di pabrik, di tempat-tempat yang lebih baik dengan gaji yang lebih baik, dan standar perlindungan yang lebih baik.
Jadi, menurut Anda, peran pendidikan itu sangat penting bagi perempuan Indonesia?
Justru dari pendidikan. Tadi kita mau bilang, kenapa akses pendidikan untuk perempuan tidak dijadikan penting karena dia kan tidak sederhana, bukan persoalan perempuan bisa baca tulis saja, nggak gitu. Ini kemudian berdampak kepada seluruh kehidupan perempuan dan masa depan dia. Contohnya TKW tadi, kenapa mereka menjadi pekerja rumah tangga? Karena memang nggak punya skill untuk bekerja di tempat yang lain. Nggak punya skill karena mereka memang nggak sekolah, rata-rata mereka itu tamat SD bahkan nggak tamat. Kehidupan orang tuanya yang miskin membuat dia nggak bisa, nggak seberuntung perempuan lain yang bisa sekolah. Nah, di sisi kondisi pendidikan perempuan seperti ini, di sisi lain perempuan itu kan memang dikonstruksikan oleh sistem budaya kita untuk selalu melayani orang lain. Iya kan?! Kita dari kecil diajari untuk kita melayani orang lain, bukan minta dilayani atau memikirkan diri sendiri. Kita jarang sekali anak-anak perempuan diajarkan untuk memikirkan diri sendiri. Nah, ini juga yang kemudian berdampak. Jadi, istri-istri, anak perempuan yang sulung di keluarga yang miskin ini selalu dituntut untuk bisa bertanggung jawab untuk kehidupan yang lebih baik untuk keluarganya.
Bagaimana konstruksi sosial itu mempengaruhi perempuan dan para TKW?
Jadi, artinya, dia dikondisikan untuk bisa bagaimana cara agar anak-anaknya bisa sekolah, orang tuanya yang sakit tidak usah bekerja lagi, adik-adiknya bisa sekolah, bisa makan. Itu kemudian yang membuat si perempuan ini memilih untuk bekerja di luar negeri karena kalau di sana gaji lebih baik dari di negeri sendiri walau pun mereka akan menghadapi banyak sekali kerentanan. Salah satunya, mereka nggak bisa baca tulis, itu dijadikan alat oleh calo-calo menipu mereka, seperti itu. Terus, mereka nggak mengerti hukum, itu jadi alat berikutnya. Jadi mereka itu dengan kondisi keterbatasan betul-betul jadi sasaran semua orang-orang pintar yang nakal. Itulah, mereka pergi karena motivasi memilih kehidupan yang lebih baik untuk keluarganya. Itu yang pertama. Istri-istri, sebab para suami susah cari kerja di dalam negeri, akhirnya istri-istri memutuskan saya yang harus bekerja supaya bisa mendukung keluarga. Tapi kemudian hukum kita tidak melindungi mereka sebagai warga negara yang berhak atas pekerjaan, belum melindungi. Di luar negeri pun, ke negara di mana mereka pergi, tidak ada hukum yang bisa melindungi mereka, akhirnya, inilah yang mereka hadapi di negeri orang. Jadi korban kekerasan, diperkosa, bahkan pulang sudah tidak bernyawa, seperti itu.
Menurut Anda, apa sebab dari semua itu?
Ini semua akibat dari carut-marutnya lemahnya sistem hukum. Itu kalau kita bicara soal TKW, saya pikir, kenapa lebih banyak perempuan dan kenapa sebagian besar perempuan ini bekerja di sektor informal, itu pertanyaan menarik, karena sektor informal itu hanya membuat mereka nggak terlindungi. Kalau mereka kerja di pabrik, itu jelas kontraknya, apa hak mereka jelas. Di rumah? Nggak ada. Seperti tempat kita juga, kan. Di tempat kita, orang-orang yang bekerja di rumah tangga itu kan nggak punya kontrak, nggak ada kontrak, dan paling dengan penyalurnya yang ada, dan kadang-kadang kita juga nggak semua keluarga memperlakukan pekerja rumah tangganya dengan baik, dengan manusiawi.
Bukankah banyak di antara TKW yang mendulang sukses karena bekerja di negeri orang?
Saya pikir itu memang nggak bisa kita hindari, maksudnya, memang ada yang sukses. Tapi kalau kita mau lihat, yang sukses itu sebenarnya nggak sebanding, nggak sebanyak yang gagal. Bappenas terakhir mengeluarkan data sejumlah tenaga kerja kita, berapa besar di tahun yang sudah lewat. Kita lihat dari cerita yang dimunculkan media setiap hari itu kan cerita-cerita ketidaksuksesan semua. Kalau kita mau masuk ke suatu kampung, di sini kan ada kampung-kampung, kantong-kantong TKW, itu ada, teman-teman pernah melakukan penelitian di sana, ini yang sukses tidak sebanding yang tidak sukses, malah yang sukses ini pun kadang-kadang dia itu menjadi kayak pemasok devisa, bukan hanya untuk negara ini tapi juga untuk kampung itu. Jadi, dia dikenakan pajak-pajak tertentu karena dianggap sudah berhasil atau apa. Jadi yang sukses itu jauh lebih sedikit daripada yang bermasalah, cuma saya pikir, setiap orang punya mimpi, termasuk juga para TKW, mereka tentu meyakinkan dirinya nggak semua orang mengalami nasib yang buruk. Tapi kalau kita mau lihat secara logika, sepanjang aturan yang melindungi itu belum ada, nggak ada garansi, tidak ada mendapat perlakuan yang buruk.
Bagaimana Anda melihat peran kapitalisme dan faktor pendidikan dalam hal ini?
Memang harus dilihat dari keduanya, dampak dari sistem kapitalis dan pendidikan yang kurang. Kalau kita mau uraikan, kapitalisme dengan kemiskinan perempuan itu kan memang sangat jelas benang merahnya. Bagaimana kemudian, kalau kita mau lihat yang lebih sederhana ya, sumber-sumber perekonomian perempuan itu kan mulai diambil alih oleh usaha-usaha industri. Kemudian, katakanlah, itu kan dulu pernah Revolusi Hijau, ketika biasanya perempuan-perempuan yang bekerja, bersawah itu kan urusannya perempuan, dari mulai menanam, dan semuanya. Revolusi Hijau itu kan kemudian dia mengganti bibit, ada satu masa diperkenalkan bibit yang lebih unggul, panen akan lebih cepat, ternyata padinya bentuknya lebih rendah, batangnya lebih rendah, jadi beda dengan yang dikenal perempuan turun-temurun sehingga mereka kesulitan untuk memanen. Jadi mereka harus jongkok dan itu tidak terbiasa. Ini bagaimana secara perlahan sumber daya kehidupan perempuan itu mulai dirampas oleh usaha, industri, dan itu bicara kapitalisasi sebenarnya. Terus, bagaimana kemudian masuknya industri besar ke kota-kota menjanjikan sesuatu seakan-akan semua bisa didapat dengan mudah, mengajarkan orang hidup mewah. Itu semua sesuatu yang perempuan nggak bisa melepaskan diri dari situ. Saya lihat itu jelas ada kaitannya. Tapi di satu sisi, kapitalisasi dan kemiskinan perempuan, itu jelas ada, dan yang paling bisa dilihat adalah bagaimana sumber-sumber kehidupan perempuan itu dirampas oleh proses kapitalisasi ini membuat mereka nggak punya akses lagi. Tadi, kerja-kerja yang bisa dilakukan dengan tenaga mereka dan mereka mendapat upah dari situ sekarang diganti mesin sehingga mereka sumber kehidupannya itu menjadi hilang. Kita bisa lihat dari sisi kehidupan kita sehari-hari saja.
Bagaimana sejarahnya hingga kapitalisme itu merangsek ke Indonesia hingga menyebabkan kemiskinan perempuan?
Dulu, saya ingat di kampung saya itu, di Aceh, ibu-ibu di sana jarang membeli minyak goreng karena mereka buat sendiri. Kelapa yang dibusukkan, itu mereka buat sendiri sehingga mereka nggak terpengaruh dengan harga minyak goreng naik, mereka nggak masalah karena mereka bisa buat sendiri. Kemudian, perkebunan kelapa sawit mulai menjadi pilihan, banyak pengusaha pemilik perkebunan kelapa sawit itu membeli lahan-lahan yang ada di masyarakat di desa-desa yang tadinya banyak ditumbuhi pohon kelapa yang buahnya bisa digunakan ibu-ibu untuk membuat minyak sendiri itu ditebang semua, tanam kelapa sawit. Ibu-ibu kita nggak biasa mengolah kelapa sawit, bahkan dia butuh mesin. Itu salah satu kenapa sekarang seperti ini, itu kan seperti virus yang menyebar cepat. Itu soal kapitalisme itu kan, lalu terjadi secara massif, kita-kita pun mungkin, saya nggak pintar lagi membuat minyak dari kelapa, nggak bisa buat minyak goreng sendiri, semua orang terima bersih sekarang, asal ada duit semua bisa dibeli. Ketika harga minyak naik, ibu-ibu di desa-desa kewalahan. Potensi mereka untuk membuat minyak sudah dihilangkan, sementara potensi mereka untuk mendapatkan penghasilan yang baik itu tidak ada. Kemiskinan itu kan dari sana. Itu dari sisi minyak goreng saja, belum kita lihat dari sisi real yang dekat dengan kehidupan perempuan. Pendidikan, kapitalisasi itu faktor paling kuat menyebabkan kemiskinan perempuan.
Bagaimana pendapat Anda tentang peranan keluarga dalam membentuk pola pikir anak-anak perempuan?
Pola pendidikan keluarga memang memegang peranan penting, tapi kita tidak tahu bagaimana kedua orang tua mereka menanamkan pentingnya pendidikan kepada mereka. Bisa jadi itu tidak ditanamkan, kenapa banyak orang tua yang menganggap pendidikan untuk anak perempuan tidak penting. Jadi, meskipun mereka punya uang, itu mereka nggak terlalu mendorong anak perempuannya untuk bersekolah tinggi. Dan ini bisa sangat menarik untuk dikaji. Faktor pertama. Karena anggapan masyarakat kita, perempuan itu sejauh-jauhnya, setinggi-tingginya dia sekolah, dia toh nanti akan ke dapur juga. Anggapan itu masih ada secara umum. Jika semua orang melakukan, punya pikiran yang sama, ngapain kita buang-buang duit anak perempuannya disuruh capek-capek belajar, ujung-ujungnya masak juga di dapur, nggak ke mana-mana. Nah, perempuan kan ada yang juga mikir gitu. Ngapain sih, pintar-pintar sekali, nanti kan juga cuma nyuci? Ngepel, melayani suami, selesai. Nanti cari aja suami yang kaya biar kita nggak usah repot-repot kerja. Itu kan di beberapa perempuan pemahamannya ada. Karena itu yang mensosialisasikan bukan cuma orang tua kita, tapi juga lingkungan kita. Lingkungan mensosialisasikan itu. Saya nggak tahu di Jawa Tengah seperti apa, tapi di Aceh itu kalau perempuan sudah umur 20 tahun belum menikah itu malunya luar biasa. Jadi, oleh masyarakat itu dikondisikan dia ini kayak manusia yang gimana gitu, yang sangat aneh sehingga stigma perawan tua untuk perempuan itu kan sebenarnya ikut mengkondisikan beberapa perempuan berpikir bagaimana menikah cepat. Menikah cepat, yang penting ada suami, jangan dibilang perawan tua sehingga dia nggak punya waktu yang cukup untuk mengenali suaminya dan karena dia nggak bisa membangun bargaining, posisi yang baik dengan calon suaminya tentang konsep perkawinan akhirnya itu yang membuat mereka masuk ke dalam perangkap KDRT. Akhirnya kita memang harus melihat ini kenapa anak perempuan sendiri punya duit tapi memilih nggak bersekolah, itu nggak bisa dilepaskan dari didikan yang mereka terima dari orang tuanya, budaya yang ada di dalam masyarakatnya tentang pendidikan. Saya pikir, rata-rata daerah di Indonesia punya budaya seperti itu.
Lalu, bagaimana dengan peran perempuan di ranah politik?
Sekarang lah, kita misalnya, tuh perempuan udah teriak-teriak biar dikasih kuota 30%, mana orangnya?! Kita sendiri sering mencemooh perempuan nggak punya kapasitas dibanding laki-laki. Kita suka lupa bahwa ada sejarah panjang kita dikondisikan memang untuk tidak terlalu peduli dengan pendidikan, kita itu dikondisikan tidak semudah laki-laki mengakses pendidikan. Sekarang ini kan sudah hasil jadinya, dampak dari konstruksi yang bertahun-tahun itu, nggak bisa dong dalam hitungan bulan mendapat perempuan yang sangat pintar berpolitik, itu kan nggak bisa. Jadi, kalau ada perempuan yang nggak punya kapasitas di posisi publik, dianggap tidak sehebat rekannya yang laki-laki, saya suka terganggu lho, kalau ada orang yang bilang begitu. Jadi, harus dilihat latar belakang kehidupan perempuan ini dan bukan hanya dari tahun yang lalu. Ada sistem, kita itu sebenarnya dibatasi oleh sistem. Bukan respon individu, bukan orang tua kita aja, sistem yang membuat kita itu nggak bisa mengakses pendidikan, nggak bisa belajar seperti laki-laki belajar.
Bagaimana pendapat Anda mengenai para perempuan yang suaminya dituduh sebagai musuh negara?
Di Aceh itu kan, lama sekali dalam operasi militer ya, di masa itu, banyak laki-laki yang diculik, terus hilang, nggak kembali lagi. Jadi, saya bertemu dengan banyak perempuan, ketika tahun 1995 itu saya jadi pengacara dan saya memang memutuskan, saya mau membantu keluarga yang bermasalah, saya nggak mau menjadi pengacara orang-orang yang punya uang. Jadi di situ saya ketemu dengan banyak perempuan karena mendampingi beberapa perempuan. Mereka cerita ke saya bagaimana pengalaman mereka ketika pertama kali harus keluar rumah mencari suaminya sebab diambil dari rumah, besok nggak pulang. Bagaimana kebingungan mereka, jangankan harus ke mana, kendaraan apa yang harus dia pakai untuk pergi, itu pun dia nggak tahu. Jadi, dia nggak pernah tahu pasar. Tiba-tiba, dia harus ke mana-mana, sampai mereka bilang, saya nggak akan mengajarkan hal yang sama kepada anak saya. Sayang, perempuan itu nggak boleh ke mana-mana, di rumah aja, karena saya merasakan gimana sulitnya kalau kita tidak diajarkan untuk bisa melakukan hal-hal yang dilakukan oleh banyak orang, terutama laki-laki. Dia cerita di situ, saya kemudian melihat, iya juga. Bayangkan kalau orang nggak pernah ke pasar, dia nggak tahu cara tawar-menawar, belajar ini di mana, nggak tahu. Dia itu, lain ya, kalau suami kita sakit, pelan-pelan kita belajar. Tapi si ibu-ibu ini kan nggak, hari itu diambil, terus nggak pulang-pulang lagi. Jadi dia tuh kayak drastis disuruh mengubah kebiasaannya. Itu juga saya pelajari, terus juga bagaimana kalau ada laki-laki yang dia dituduh anggota GAM oleh tentara, kemudian dicari nggak ditemukan, istrinya yang jadi sasaran. Istrinya, anak perempuannya. Si tentara-tentara ini juga menggunakan konstruksi yang ada di masyarakat. Jadi, mereka tahu perempuan itu diletakkan oleh masyarakat simbol kesucian keluarga. Jadi, kalau perempuannya dirusak, kan simbol itu yang dihancurkan. Nah, itu strategi yang dipakai dalam perang kenapa banyak perempuan itu jadi korban perkosaan?! Kalau kita misalnya, sempat baca bagaimana kekerasan itu terjadi pada masa DOM di Aceh, itu kan yang jadi sasaran itu nggak lihat umur berapa, cantik atau nggak, udah nggak perlu. Alat penundukan. Karena ini simbol. Mungkin kita sendiri tidak pernah bersepakat. Kita kan lahir sudah dalam konstruksi itu kemudian diajarkan perempuan itu seperti bunga. Bunga itu kalau sudah layu tidak berguna, orang tua saya pun mengajari itu juga ke saya. Jadi, sebenarnya didikan itu juga yang membuat banyak perempuan yang menjadi korban perkosaan itu merasa dunianya sudah berakhir. Kalau dia nggak diterapi, nggak ada dukungan psikologis untuk dia, orang bisa putus asa. Stigma macam apa yang akan dia beri.
Di mana peran Komnas Perempuan dalam hal tersebut?
Salah satu mandat kita yang diberikan pada saat kita didirikan, kita kan berdasarkan peraturan presiden. Salah satunya menyebarluaskan segala bentuk pemahaman tentang kekerasan terhadap perempuan. Melakukan pendidikan tentang hak asasi perempuan. Kondisi ini menjadi basis, menjadi landasan dari kita mengembangkan program kita untuk pendidikan masyarakat, untuk kampanye kita tentang hak-hak perempuan. Kondisi seperti tadi, bagaimana konstruksi sosial budaya menempatkan perempuan yang kemudian berdampak sampai sebegitu luar biasanya. Saya teringat tadi, kalau kita melihat kondisi, tadi kan disinggung istri-istri teroris, saya melihat itu sebenarnya tidak terlalu jauh beda dari istri-istri yang suaminya dituduh GAM. Ada pola yang sama. Ketika suami berhadapan dengan pihak lain, berseberangan dengan pihak lain, maka istri-istri menjadi target berikutnya. Padahal, bisa jadi, ini satu permisalan, beberapa perempuan di Aceh itu ditahan dan mengalami penyiksaan dalam tahanan hanya karena mereka dituduh memberi makan untuk GAM. Ternyata GAM itu suaminya. Ini yang menarik dari sini. Mereka memberi makan untuk GAM, jadi mereka dianggap melawan tentara. Dari pembicaraan kita dengan dia, ternyata dia nggak pernah tahu suaminya GAM atau bukan, kan dia nggak tahu, lama suaminya nggak pulang, dan dia kan nggak berani bertanya, ke mana aja, kok nggak ngasih kabar, kan istri-istri di kampung-kampung kan semua memahami itu hal yang tidak boleh dilakukan. Karena mereka dididik untuk tidak melakukan itu. Tiba-tiba suaminya pulang, sebagai istri, dia kan memang diajarkan, melayani, memasak, itu tugas dia. Nah, dia menjalankan tugasnya itu dan dia harus berhadapan dengan kekerasan karena dia menjalankan peran gendernya. Ini yang saya bilang, konstruksi masyarakat tentang laki-laki dan perempuan tidak sederhana. Cuma orang kan melihat, apa sih, gender itu, perempuan nggak mau masak lagi atau apa? nggak sederhana itu. Begitu juga dengan istri-istri para teroris kalau saya lihat bagaimana mereka harus bolak-balik menjalani pemeriksaan, harus berhadapan dengan kerentanan-kerentanan hanya karena mereka istri dari seorang teroris yang mereka sendiri pun nggak tahu kalau suaminya teroris. Nggak tahu apa yang dikerjakan suaminya, nggak pernah nanya juga, tapi hukum kan tetap menganggap mereka tahu.
Mekanisme kerja Komnas Perempuan seperti apa?
Kita merespon setiap pengaduan yang datang atau merespon setiap kejadian. Jadi kadang-kadang, ada kejadian yang kita nggak tunggu diadukan yang sifatnya politis. Korbannya banyak atau kalau tidak cepat kita respon itu akan berulang dengan korban yang lain. Biasanya untuk kejadian seperti itu, kita nggak nunggu orang datang mengadu tapi untuk yang sifatnya personal, misalnya KDRT, terus dia punya masalah dengan hukum, biasanya kita mengambil tindakan berdasarkan pengaduan dari korban. Tindakan yang kita ambil sesuai dengan kebutuhan korbannya karena kita nggak tahu di luar, jangan intervensi kita malah mempersulit korban. Jadi, biasanya kalau pengaduan yang masuk ke sini nggak semuanya dalam bentuk surat, ada juga yang datang langsung, minta dukungan komnas Perempuan supaya kasusnya itu cepat diproses, biasanya begitu, kasus KDRT. Atau pelakunya bisa ditahan karena sekarang masih berkeliaran, terancam, itu kalau berkaitan dengan pengadilan. Atau dia merasa terancam di dalam proses hukumnya. Jadi, sesuai dengan masalah dia, kebutuhan dia apa, penyikapan itu yang kita ambil. Memang kita memberi peringatan semua itu dalam konteks perlindungan hak asasi manusia. Tak peduli latar belakangnya. Siapapun manusia dia punya hak yang harus dihargai oleh orang lain.
Meskipun ia melanggar hukum, Komnas Perempuan tetap mengambil tindakan?
Saya pikir, seseorang dikatakan melanggar hukum atau nggak, itu kan harus ada keputusan pengadilan, jadi kita tetap memperlakukan semua orang itu tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan. Apalagi kalau kasus, kayak istri teroris, polisi sebagai penyidik, ya wajar saja kalau mereka membangun asumsi-asumsi dalam kerangka menyelesaikan tugas penyidikannya, tapi Komnas Perempuan kan bukan polisi. Kita memastikan dalam proses penyidikan itu perempuan tidak mengalami kekerasan. Hak-hak perempuan sebagai manusia itu tidak dilanggar karena orang sudah bersalah pun itu punya hak yang harus dilindungi apalagi kalau di belum bersalah atau tidak. Pengadilan yang bisa menentukan bersalah atau tidak.
Bagaimana peran Komnas Perempuan dalam melindungi para istri ‘teroris’?
Saya nggak tahu seperti apa, ada beberapa perempuan yang ia kemudian berurusan dengan kepolisian karena suaminya dianggap teroris, tidak satu pun dari mereka yang mengadu ke sini. Jadi, kita juga nggak tahu apa permasalahan mereka atau memang tidak ada masalah, kita nggak tahu juga, yang mereka hadapi di dalam proses hukum suaminya. Kita kan ada forum pengambilan keputusan, rapat paripurna, kalau kasusnya teroris, itu bukan kasus sederhana menurut kami. Tentu nggak bisa ditangani hanya oleh badan pekerja, itu akan masuk di dalam rapat pengambilan keputusan. Tergantung dari kasusnya, misalnya ancaman yang dia, seberapa serius kasusnya? Ada kasus-kasus yang ada unsur politisnya, atau ada ancaman berulang terjadi pada yang lain kalau nggak segera diselesaikan.
Yang diadukan itu apa, kalau kasus terorismenya sendiri, kita tentu nggak punya kewenangan menyikapi. Kita lebih kepada kondisi perempuannya. Jadi, misalnya dalam konteks ini, ketika mereka harus berurusan dengan aparat penegak hukum. Kalau ada, Komnas Perempuan perlu mengintervensi, memastikan tidak akan mendapatkan itu. Polisi pasti bisa menghargai karena Komnas Perempuan ini kan institusi yang diberi kewenangan untuk memperhatikan, mencegah terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Bahkan termasuk ketika yang harus mereka adukan adalah suaminya. Itu banyak perempuan-perempuan yang istri pejabat. Kalau dipikir-pikir, ini kan tentu kerentanannya beda lagi. Mereka minta dukungan ke sini. Artinya, setiap pengaduan yang datang ke sini, pasti akan direspon sesuai dengan kebutuhan korbannya.
Model kekerasan yang bagaimana yang menjadi tren pada saat ini dan bagaimana Komnas Perempuan memetakan hal tersebut?
Sebagian besar masih soal KDRT dan pelakunya macam-macam, dari orang biasa sampai pejabat, dari yang nggak punya ilmu sampai yang sangat berilmu. KDRT, perkosaan, pelecehan seksual dan beberapa kasus TKW. Kita memetakan kekerasan terhadap perempuan dalam tiga bentuk, ada yang sifatnya fisik, jadi yang disasar fisiknya, ada yang psikis, dan ada yang seksual, seperti itu. Dia bisa terjadi di dalam rumah, di tempat kerja, di wilayah yang sedang berkonflik, di dalam relasi yang personal. (Ind)