Pernikahan kedua da’i kondang KH Abdullah Gymnastiar begitu menggemparkan masyarakat dan mencuatkan kembali pro dan kontra soal poligami, bahkan sampai melebar ke ranah politik. Kelompok Pengacara Muslim menganggap isu ini sengaja dibesar-besarkan oleh pihak tertentu untuk merebut hati para muslimah yang suaranya sangat signifikan dalam pemilu. Di sisi lain kaum feminis tetap berusaha mengibarkan semangat gender dengan dalih menyuarakan hak-hak perempuan. Kelompok perempuan ini bahkan menyebut poligami melanggar hak-hak perempuan. Benarkah demikian?
Mantan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan yang juga Ketua DPP Muslimat Nahdhatul Ulama Khofifah Indar Parawansa berbagi pandangan soal pro kontra isu poligami di masyarakat. Berikut petikan bincang-bincangnya dengan eramuslim;
Koalisi Perempuan dan aktivis feminisme berpandangan bahwa poligami itu melanggar hak perempuan dan rawan tindakan kekerasan. Bagaimana pandangan Anda tentang tudingan ini?
Proses poligami itu pada dasarnya suka sama suka, jadi hak perempuan mana yang dilanggar? Itu juga harus melihat dari sisi agama, juga melihat dari sisi kerelaan, dan juga harus melihat dari sisi kehati-hatian. Sehingga jangan sampai misalnya, karena memang banyak perempuan yang pada sisi subordinat atau pada posisi rentan malah terus dieksploitasi, jangan itu yang dilakukan.
Kemudian harus dilakukan penguatan bargaining position perempuan, jadi kalau misalnya, poligami dianggap melanggar hak perempuan, bagaimana sekarang dengan mereka yang pekerja seks komersial. Berapa banyak keluarga yang juga menjadi korban, karena tertular HIV AIDS, akibat adanya seks bebas. Ini harus dilihat sebagai satu keseluruhan.
Artinya begini, yang memang oleh agama itu tidak dilarang jangan diharamkan, tetapi bahwa agama di sini adalah Islam, Islam memberikan ruang pelaksanaannya, tapi harus penuh dengan kehati-hatian. Ada aspek kuantitatif, dan ada pula kualitatif. Namun yang sering dimunculkan hanya aspek kuantitatifnya, hanya menghitung dua, tiga atau empat, tetapi aspek kualitatifnya pada pemberian rasa adil, itu seringkali diabaikan.
Pada tataran seperti ini, saya mengajak, pendapat yang terkait dengan persoalan agama, harus diselesaikan juga dengan pendekatan agama. Meskipun toh Islam sesungguhnya juga tidak memberikan ruang seluas-luasnya, poligami itu adalah emergency exit door. Itupun persyaratannya ketat sekali. Oleh karena itu penjelasannya harus proporsional, lalu kemudian harus ada penguatan bargaining position perempuan. Karena banyak di antaranya, justru perempuannya yang proaktif, perempuannya yang menggoda. Pada persoalan seperti ini perempuannya juga harus jujur. Jadi kedua belah pihak harus melakukan koreksi diri.
Bagi kaum laki-laki, masak iya sih, mereka bangga menjadi pejantan, tidak juga kan. Perempuan juga begitu, tolonglah, kalau sudah diketahui seperti itu, kecuali kalau memang tidak tahu. Kalau sudah mengetahui, ada baiknya tidak memilih menjadi isteri kedua, kecuali pada kasus-kasu di mana ada fenomena isteri pertama yang berinisiatif mencarikan. Ini harus dilihat sebagai satu realitas yang terjadi di masyarakat.
Tapi saya ingin melihat kedua belah pihak, karena banyak di antaranya perempuannya proaktif, sehingga tidak bisa menuding hanya laki-laki, namun jari tangan juga harus diarahkan pada perempuan itu sendiri. Dengan begitu penguatan bargaining position harus dilakukan oleh perempuan, kemudian laki-laki harus melihat persyaratan kualitatif yang oleh Al-Quran tidak mudah untuk dilaksanakan, pada tataran pemberian keadilan di antara para isteri.
Jadi anda berpendapat, pandangan bahwa poligami melanggar hak perempuan dan rawan kekerasan tidak benar?
Saya tidak setuju jika poligami dikatakan melanggar hak-hak perempuan, bahwa itu rawan kekerasan memang iya. Hal ini kalau oleh beberapa aktivis perempuan dianggap rawan kekerasan, tapi kalau perempuannya yang proaktif, laki-lakinya mesti bagaimana? Harus ada proses pencerahan, pendampingan dan proses sosialisasi serta ada proses dialog dengan mereka. Jangan disangka, mereka yang siap menjadi isteri kedua adalah para akademisi, mereka yang terdidik, mereka bukan yang berasal dari kalangan miskin, buta aksara, bukan hanya itu, sebagian dari mereka adalah kalangan terdidik.
Ketika hal itu sudah masuk ruang agama, memang kita harus melihatnya dari perspektif agama. Tidak bisa hanya atas nama women right, atau atas nama human right. Tetapi bagaimana perspektif agama itu, ketika sudah masuk pada areal itu. Bagaimana agama melihat persoalan poligami itu.
Terkait poligami, menurut anda perlukah merevisi PP No.45 tahun 1990 tentang aturan poligami bagi PNS, TNI, Polri, yang akan diperluas ke masyarakat?
Kalau mau merevisi, jangan pada peraturan pemerintahnya, kalau menurut saya revisi saja undang-undangnya, sebab kalau merevisi PP terlalu imperatif.. Kalau akan dilakukan perluasan regulasi, jika itu dianggap oleh Negara memang perlu diatur, Negara mempunyai kewenangan untuk mengaturnya.
Nanti seandainya ada yang tidak setuju dengan produk peraturan negara itu bisa melakukan judicial review. Karena di sini proses demokrasi harus dihargai, bahwa pemerintah pada posisi yang berwenang mengeluarkan produk pengaturan. Dan ketika produk pengaturan itu tidak diterima oleh sebagian masayarakat, seperti contohnya UU KKR, Mahkamah Konstitusi dapat membatalkannya. Hal itu tentunya dengan persyaratan, kalau di bawah peraturan di bawah undang-undang melanggar undang-undang tersebut maka Mahkamah Agung yang bisa membatalkannya. Sedangkan jika UU dianggap bertentangan dengan UUD 45, dapat melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Artinya ruang itu dibuka. Yang penting, kalau pemerintah melihat itu perlu diatur, ya atur sajalah.
Artinya memang harus ada perluasan pengaturan poligami tidak terbatas hanya pada PNS, TNI, Polri?
Ini masih berlaku terutama untuk PNS, TNI, Polri. Artinya jika ada perluasan begini, kalau memang laki-laki ingin menikah lagi harus dengan seizin isteri pertama, tentu perlakuannya beda karena untuk PNS, TNI, Polri tidak hanya izin isteri pertama saja, namun harus izin pimpinan. Sedangkan untuk sektor privat, mereka tidak perlu izin pimpinan, namun untuk izin isteri pertama itu layak diatur.
Apa betul ada agenda terselubung di balik desakan revisi PP dan UU tentang perkawinan, terutama yang terkait poligami itu?
Saya tidak tidak tahu, dengan adanya agenda terselubung itu, saya tidak mengerti dengan hal itu. Jangan mengkaitkan dengan Undang-undang lain seperti KDRT, KDRT itu problem besar karena sangat dekat dengan trafficking, tidak ada hubungannya dengan poligami.
Ada yang berpendapat zaman sekarang pengaturan poligami sudah tidak relevan lagi karena bisa berdampak buruk?
Saya tidak tahu, apa yang dimaksud tidak relevan ini, apakah dengan begini orang disuruh berzinah. Dengan begini akan mengkanalisasi perzinahan.
Orang yang tidak setuju poligami, di mana-mana akan selalu ada, kalau memang pemerintah tetap ingin membuat regulasi itu, buat saja, asalkan alasanya jelas. Kalau mau dalam bentuk revisi UU, ada DPR, bagaimana pembahasannya di DPR tentu masyarakat juga akan memberikan ruang untuk memberikan respon yang ada. (novel)