Awal tahun 2007 ini Indonesia tidak pernah sepi dari kecelakaan transportasi yang merenggut raturan nyawa. Mulai dari kecelakaan pesawat, kecelakaan kereta api, bus umum dan baru-baru ini kecelakaan kapal ferri Levina I di perairan Kepulauan Seribu. Peristiwa kecelakaan ini menambah suram statistik kecelakaan transportasi di Indonesia. Faktor keselamatan transportasi yang minim, menjadi penyebab utama jatuhnya banyak korban. Benarkah perhatian terhadap faktor keselamatan ini masih lemah?
Berikut hasil wawancara eramuslim dengan Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Setio Rahardjo.
Pemerintah selalu dituding dan dipersalahkan setiap kecelakaan transpotasi terjadi, sebenarnya apa yang salah dari mekanisme sistem pertransportasian kita?
Pemerintah sudah mempunyai tata cara, peraturan dan undang-undang itu cukup lengkap. Baik nasional maupun internasional, ada bermacam-macam saya tidak bisa menyebutkannya satu persatu. Misalnya UU pelayaran, dan UU Penerbangan, jelas itu. Di penerbangan ada CASR 830 (tentang kelaikan penerbangan, UU Penerbangan No. 15 tahun 1992 ), yang disampaikan oleh pemerintah. Tapi bagaimana implementasinya, tentunya pemerintah kan tidak bisa mengawasi terus menerus selama 24 jam, tidak bisa kita awasi terus, karenanya kita kembalikan pada operatornya. Jadi faktor kselamatan ada tiga komplemennya, pemerintah dalam hal ini sebagai regulator, operator, dan masyarakat. Kalau salah satu terganggu maka semua sistemnya akan terganggu.
Contohnya, masyarakat naik kereta api di atas atap, ya sudah tidak benar itu. Memang kita harus mengakui suplay dan demand masih belum sesuai, tapi kalau kita perketat bisa terjadi misalnya, orang yang naik di atap kita usir, akibatnya stasiunnya dibakar. Wajah masyarakat kita kan demikian. Untuk itu marilah bersama-sama kita ciptakan budaya safety. Itu yang terpenting.
Apa penyebab kurangnya perhatian terhadap sistem keselamatan transportasi, peralatan yang kurang canggih atau manusianya yang curang dan berusaha mencari keuntungan saja?
Saya tidak bisa menguraikan satu persatu, itu bermacam-macam. Yang saya lihat, peraturannya bagus, implementasi dilapangan bagus, tapi kadang-kadang sumber daya manusianya sebagai operator yang bermasalah. Manusia, justru yang paling menentukan yang memegang peran penting. Kalau cuma sistemnya yang kurang canggih, bisa kita lengkapi. Selain itu kebutuhan minimun untuk keselamatan (minimum requirement safety) harus ada dan terpenuhi.
Yang dimaksud minimum safety itu parameternya bagaimana?
Setiap jenis alat transportasi berbeda-beda, misalnya dikapal laut pelampungnya ada tidak sesuai dengan jumlah penumpang, minimum itu. Kalau penumpangnya 50, paling tidak ada pelampungnya ada 70. Kalau itu tidak ada, ya akan kacau sistem keselamatan.
Idealnya sistem pengawasan transportasi di Indonesia ini seperti apa?
Lha kadang-kadang orang Indonesia itu, mempunyai ketaatan apabila diawasi. Ya kan. Kalau tidak diawasi, ya bisa melakukan semau-maunya. Disiplin pribadi kurang, karenanya bisa ditegakkan bersama-sama, antara aparatur pemerintah, perusahaan transportasi dan juga masyarakat. Maka itu ciptakanlah budaya safety, memang kata-kata itu mudah diucapkan, tetapi sulit dilaksanakan.
Kesulitan yang dialami KNKT selama menjalankan tugas?
Ya tentunya disetiap organisasi itu mempunyai kendala-kendala yang tidak mudah. Kalau staf saya cukup, lalu pintar semua, kan ketua KNKT-nya tidur. Tapi SDM di dalam KNKT itu sangat terbatas jumlahnya maupun kualitasnya, itu harus diakui. Kemudian peralatan, saya belum mempunyai secara lengkap. Selanjutnya dana yang terbatas itu akan membatasi gerakan kita.
KNKT tidak minta menjadi badan sendiri sehingga alokasi dana mencukupi?
Saya hanya minta yang proporsional, dan saya tidak minta dana yang berlebih-lebihan, proporsional sajalah. Sehingga kita bisa melakukan tugas pokok dengan baik.
Mengenai isu pergantian jajaran Direksi di Departemen Perhubungan, termasuk anda sebagai Ketua KNKT, apakah anda melihat ini cukup fair?
Saya tidak mau berkomentar, untuk masalah itu kewenangan yang di atas. Mengenai fair atau tidak fair itu ada yang menilainya. (novel)