Tak banyak sarjana Muslim yang kritis terhadap pemikiran para orientalis. Mayoritas di antara mereka, baik yang belajar di negara-negara Timur Tengah (Arab) ataupun yang belajar di negara-negara Barat tak “peduli” dan kurang paham tentang Barat. Sehingga kesewenangan-wenangan para orientalis dianggap biasa. Parahnya lagi banyak di antara scholar Muslim yang mendapat scholarship dari sana menjadi murid sekaligus pendukung mereka.
Di Indonesia, sedikit sekali sarjana Muslim yang berani melawan terhadap keangkuhan pemikiran Barat. Kecuali hanya beberapa tokoh saja, misalnya, Prof. Dr. Rasyidi. Kendati ia lulusan Sorbone Universitie, Paris, tapi ia lantang menentang hegemoni pemikiran Barat.
Fenomena ini diakibatkan karena tidak banyak sarjana yang berminat dan tekun mengkaji Barat dan para orientalis. Dan kini alhamdulillah muncul beberapa cendikiawan muda Muslim yang concern dengan masalah tersebut. Dr. Syamsuddin Arif adalah satu di antaranya.
Dalam bukunya berjudul Orientalisme dan Diabolisme Pemikiran (GIP, 2007), Syamsuddin, yang juga dosen International Islamic University (IIU), Malaysia, mengkritik kekeliruan para orientalis dan para “muridnya” terhadap Islam. Misalnya, orientalis Yahudi Patrica Croen dan Michael Cook menyebut Islam sebagai agama Hagarism. Haragarism di sini dimaksudkan agama para budak. Nama Hagarism sendiri dikaitkan dengan Hajar, isteri nabi Ibrahim. Hukum Islam adalah buatan para tabi’in. Dan tentunya masih banyak lagi konsep-konsep Islam yang mereka selewenangkan maknanya.
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang orientalis(me), eramuslim berbincang dengan peneliti Institute for The Study Islamic Thought and Civilization (INSIST) Malaysia, itu. Berikut petikannya:
Bagaimana perkembangan studi Islam oleh orientalis sampai saat ini?
Sekarang ini kajian orientalis tentang Islam dan masyarakat Islam itu semakin intensif. Itu terbukti dengan munculnya studi-studi Islam di Barat, terutama di Amerika Seikat setelah terjadi 11 September (11/9). Sekarang kalau kita lihat buku-buku pengantar studi Islam, kemudian pengenalan tentang Islam, misalnya apa itu Islam, itu banyak sekali dan menjamur. Baru-baru ini ada buku yang diterbikan oleh Yale University. Selama ini belum pernah universitas sekelas Yale menerbitkan buku seperti itu menerbitkan buku-buku kecil pengantar (pengenalan Islam) untuk mahasiswa.
Di satu sisi ini menggembirakan, tapi di sisi lain ini memprihatinkan bagi umat Islam. Sekarang ini seperti kata Karl Marx, they are representating as. Mereka (umat Islam) mewakili kita. Mereka menjadi juru bicara kita. Mereka yang menjelaskan siapa kita (Barat) dan agama kita. Awalnya mereka menjelaskan kepada publik mereka. Tapi, kenyataannya buku-buku itu juga dibaca oleh minoritas Muslim di sana, di Barat. Ini adalah tantangan bagi para ahli Islam untuk menulis tentang Islam yang sama renyahnya untuk dibaca, jelas dan meluruskan, tidak polemis, tapi akademis.
Sebenarnya keunggulan studi Islam oleh orientalis itu apa, sehingga banyak orang Islam yang terpikat?
Saya kira ada betulnya. ”Menarik” terutama mereka sebagai non Muslim mengkaji Islam tanpa beban. Itu di satu sisi menimbulkan gairah dan sikap kritis. Budaya kritis ini yang kemudian menimbulkan gairah. Budaya kritis ini bukan untuk menjatuhkan. Dalam tradisi intelektual Islam, kritisme itu di ada beberapa bentuk. Pertama, kalau ada ulama yang menulis buka, lalu ada yang mensyarah, menulis komentar atau menjelaskan, dan menjabarkan.
Kedua, mereka menyanggah (al-radd) atau mengkritik. Dan ada juga bentuk lainnya. Cuma tradisi itu saat ini sepertinya kurang. Tapi kalau di Mesir, mungkin iu masih, sehingga di situ ada dinamka pemikiran. Di Barat kajian Islam itu menarik karena di situ ada dinamika, ada pembacaan ulang.
Misalnya, saya ketika di Frankurt ada seorang profesor membaca kitab Ta’lim al-Muta’alim pada sebuah seminar yang saya ikuti. Seminar itu membahas tentang sejarah dan falsafah pendidikan Islam History and Philosopy in Islamic Education. Pada seminar itu yang dibahas adalah kitab Ta’lim al-Muta’alim, tentunya tidak dibaca langsung. Tapi, kita masuk survey sejarah dan literature, baru masuk Ta’lim al-Muta’alim untuk dianalisis.
Jadi ini seperti bedah ayat. Satu-satu dbedah baik secara filologi dan lainnya, serta dikaitkan dengan konteks modern. Berbeda dengan kita waktu di pesantren karena adanya keterbatasan-keterbatasan, misalnya, dalam kitab Ta’lim al-Muta’alim itu ada syair-syair berbahasa Parsi, sementara yang mengajar tidak tahu bahasa Parsi. Itu satu kekuarangan dan jadi tidak paham. Terus terjemahan-terjemahan dalam bahasa Indonesia tidak sedikit kekeliruan-kekeliruan.
Apa betul para orientalis saat ini jengah disebut sebagai orientalis, tapi lebih senang dipanggil dengan sebutan Indonesianis, Islamis, Indianis atau lainnya?
Oh, iya. Meskipun jurnal-jurnal mereka mengungganakan nama-nama khas mereka, sebut saja misalnya, Orientalia, lalu ada Orient yang terbit di Istanbul, orientalis di Jerman masih mempertahanakan Oriental Studies, atau di SOAS (School of Oriental and African Studies) masih mempertahankan bulletin The School of Oreintal Studies. Tapi mereka tidak merasa nyaman setelah muncul Edward Said. Jadi istilah orientalis itu menjadi momok. Mereka lebih senang Islamis, telogis atau sejarawan. Karena sebutan orientalis itu berkonotasi jahat, berniat busuk, memusuhi, membenci Islam, dan mengacak-acak orang lain. Sebenarnya secara subtansi sama saja.
Ada arugumen di universitas Los Angles yang mengatakan orientalis dulu dan sekarang itu beda. Argumen itu tidak benar. Sama saja mereka. Mereka tidak berubah. Cuma kalau orientalis tidak begitu, dalam arti memusuhi Islam, itu ada betulnya. Itu sama dengan tidak semua orang Islam itu rajin. Tidak semua orang Islam bersih.
Lalu selama empat tahun di Jerman bagaimana anda menghadapi orientalis?
Mereka sebenarnya ada yang halus dan ada yang kasar (dalam memusuhi Islam). Kalau yang halus itu seperti profesor saya. Ia mengatakan, meskipun kita tidak sependapat dengan orang Islam, kita sebaiknya menjaga hati orang Islam, jangan melukai hati orang Islam. Yang halus seperti ini biasanya dengan bahasa diplomatis. Kalau di Inggris ada Montogomerry Wat, dan di Jerman ada Annimarie Schimmmel. Schimmel karena begitu simpatiknya terhadap Islam, ia ahli Pakistan, India, Parsia, dan sufistik Timur, ia pernah dianugerahi Pen Award. Itu anugerah penulis internasional berbasis di Perancis. Ketika diwawancarai tentang Salman Rushdie, ia bilang, Salman Rushdie itu salah.
Tindakan si penulis buku Ayat–ayat Setan (The Stanic Verses) itu tidak bisa dibenarkan. Kenapa anda berkomentar begitu? Ia mengatakan, dengan menulis begitu ia telah melukai orang Islam. Dan dengan komentar begitu, ia diprotes, serta seketika itu pula penghargaan itu ditarik. Memang ada yang bilang Schimmel sudah masuk Islam, tapi bukan itu yang penting. Tapi sikap dan komentar dia yang mengatakan Salman Rushdie itu salah dan melukai umat Islam. Di sini ada ketegangan antara umat Islam dan Kristen.
Artinya tesis Huntington tentang clash of civilization (konflik peradaban) masih berlaku?
Kalau saya bukan pakai tesis Huntington, tapi Profesor al-Attas. Dalam tulisannya Risalah Untuk Kaum Muslimin yang terbit pada 1970-an, ia mengatakan, di situ ada perenial conflic. Jadi ada pertarungan abadi antara agama Allah dengan musuh-musuhnya, antara ansharullah (para pembela Islam) dengan musuh-musuhnya.
Apa sebenarnya yang membuat studi Islam para orientalis itu unggul?
Itu relatif. Sebab dari kompetensi, ulama-ulama al-Azhar itu jauh lebih unggul. Sementara mereka (orentalis) masih meraba-raba. Jadi sebenarnya mereka tidak punya otoritas. Mestinya kita memandang orientalis dengan sebelah mata. Tapi, saat ini kelihatannya umat Islam kehilangan izzah. Padahal seharusnya wa antum ‘alwn in kuntum mu’minin. Kita saat ini justru minder. Kalau ada buku karya orang Barat justru itu yang kita baca. Tapi, kalau yang ditulis oleh ulama, kita kurang apresiatif.
Tentunya metodologi mereka juga mengandung kelemahan, bukan?
Ya tentunya ada kelemahan. Misalnya, dari sisi niat sudah tidak betul. Dari sisi metodologi karena mereka berangkat dari keragu-raguan, maka berakhir dengan keragu-raguan. Seharusnya ketika berangkat dari keragu-raguan mereka harus kritis. Tapi, mereka tidak berakhir dengan keyakinan, tapi dengan keragu-raguan. Karena bagi mereka sesuatu itu tidak ada yang absolut atau pasti, tapi relativisme. Selain itu mereka lebih mengandalkan metode filologi, studi naskah. Kekeliruan mereka di situ, karena mereka tidak punya sanad. Ini akibat mereka tidak punya otoritas. Misal bicara soal Shahih Bukhari, mereka tidak punya sanad, jadi tidak punya otoritas. Berbeda dengan Ibn Hajar al-‘Asqalani. Sehingga dalam mengkaji Islam mereka hanya meraba-raba.
Kenapa orientalis Yahudi lebih sengit dalam memusuhi dan membenci Islam?
Karena studi Islam lebih didominasi oleh etnis Yahudi. Karena untuk belajar Bibel, mereka harus belajar bahasa Arab dan lainnya, lalu ada faktor-faktor ideologis.
Dari sekian orientalis, siapa yang saat ini paling berpengaruh?
Masing-masing berbeda. Ada yang berpengaruh dalam kebijakan publik, politik, sejarah, studi Islam. Kalau dalam bidang sejarah itu ada Bernard Lewis. Dia ahli dalam bidang Turki Usmani. Karena itu ia tahu bagaimana menghancurkan dan kehancuran sebuah imperium. Dalam studi al-Qur’an ada Andre R. Rippin.
Untuk menghadapi orientalis ini, Hasan Hanafi pernah menawarkan oksidentalisme. Menurut Anda bagaimana?
Itu bagus saja. Tapi Hasan Hanafi bersifat reaktif. Yang lebih baik menurut saya oksidentalisme itu diterjemahkan mendirikan pusat studi Yahudi, pusat studi Kristen dan lainnya dari aspek teologinya, ideologinya, politiknya, sejarahnya, dan budayanya. Saya kira Hasan Hanafi tidak sampai ke situ. (dina)