Pengamat Hukum Lingkungan Universitas Airlangga Dr. Suparto Wijoyo mengatakan, dua belas dosa hukum yang dilakukan PT. Lapindo Brantas inc harusnya dapat memberikan dorongan yang kuat bagi seluruh aparat penegakan hukum untuk menyelesaikan kasus luapan lumpur Lapindo, di Sidoarjo, Jawa Timur. Bahkan kasus ini bisa dikategorikan masuk dalam kedalam kasus terorisme lingkungan, karena telah memakan korban yang tidak sedikit.
Berikut petikan wawancara eramuslim dengan Dr. Suparto Wijoyo seputar bencana lumpur panas Lapindo.
Luapan lumpur panas Lapindo makin meluas dan kembali menelan korban. Menurut Anda apakah Lapindo selama ini cukup maksimal melakukan upaya mengatasi luapan lumpur ini?
Saya curiga Lapindo memang melakukan pembiaran pada persoalan ini, kenapa demikian, karena sejak awal pada hari ke-15, di mana semburan lumpur masih kecil kenapa tidak sungguh-sungguh melakukan upaya menginjeksi untuk menghentikan luapan lumpur itu. Tetapi mereka justru membangun tanggul dengan begitu berarti membiarkan terjadi luapan lumpur dengan perhitungan tertentu. Eskalasi luberan menjadi lebar yang semula hanya 5 hektar, sekarang sudah melebihi 200 hektar. Apakah ini sebuah skenario untuk perluasan areal pertambangan Lapindo, ini hanya Lapindo yang dapat memberikan penjelasan.
Kedua, saya patut curiga juga mengapa beberapa pakar yang direkrut oleh Lapindo untuk menghentikan lumpur ini dari AS dan Kanada. Sebab peristiwa seperti ini di Eropa Timur dulu pernah terjadi dan para ahli di Kazaktan, Azerbaizan dan Rusia semua saling memberikan informasi, sehingga masalah seperti ini bisa diatasi. Bahkan jaminan yang mereka berikan bukan 100 persen lagi tapi 110 persen, mampu menghentikan semburan lumpur. Mengapa komunikasi denga pakar Eropa Timur tidak dijalin, tapi justru dari AS dan Kanada. Ini tentulah ada perhitungan-perhitunga kedepan, bagi saya, keputusan untuk menyatakan bahwa areal Lapindo itu layak huni, tetapi kan di sana layak tambang. Dan layak tambang itu, tidak diungkap oleh kabinet, yang diungkap areal itu tidak layak huni. Ada kemungkinan itu layak tambang, meskipun tidak layak huni, berarti ada masa depan yang lebih baik untuk urusan-urusan itu.
Yang ketiga, saya menolak pernyataan kasus ini harus mengutamakan menyelamatkan orang atau lingkungan, orang yang mengeluarkan pernyataan seperti itu tidak tahu ekosistem, lingkungan itu bagian dari sebuah ekosistem. Di mana dalam hukum lingkungan yang namanya lingkungan itu termasuk didalamnya adalah manusia dan perilakunya, jadi kalau menyelamatkan lingkunga otomatis menyelamatkan manusia dan perilakuknya. Karenanya, saya menolak pembuangan lumpur Lapido ke kali Porong kemudian ke laut, sebagaimana yang ditempuh oleh pemerintah. Saya menolak itu dengan alasan bertentangan dengan prinsip cegah tangkal, artinya setiap bencana itu harus dilokalisir. Tetapi dengan membuang lumpur ke kali Porong, itu bisa berpengaruh ke selat Madura, itu salah satu tindakan yang amat gegabah dan itu telah melakukan eskalasi bencana lumpur diperluas, berarti korban lebih banyak.
Dalam konteks ini sebenarnya pemerintah menunjukan tidak konsisten, karena sejak awal pemerintah mengatakan lumpur Lapindo bisa dimanfaatkan untuk genting, batu bata, keramik, itu berarti lumpur ini bisa menjadi instrumen ekonomi yang mendatangkan pendapatan, tapi kenapa langkah itu tidak ditempuh oleh pemerintah dengan membangun infrastruktur untuk pencetakan batu bata, genting, keramik, tidak ada realisasi program kearah sana. Karenanya saya tekankan, supaya ada proses hukum yang komprehensif pada kasus Lapindo ini.
Lantas apa yang sebaiknya dilakukan warga desa dekat luapan lumpur yang sudah terlanjur menjadi korban?
Korban tentu bisa saja melakukan class action, jadi warga mempunyai hak hukum melakukan class action, tetapi itu adalah jalur hukum yang sangat rumit, sementara warga sudah menjadi korban. Class action tidak akan ditempuh, jika pemerintah sungguh-sungguh memberikan solusi terbaik bagi warganya.
Saya mendesak LSM lingkungan untuk melakukan legal standing, mengatasnamakan lingkungan mengajukan gugatan kepada Lapindo. Dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang memberikan izin eksplorasi migas PT Lapindo Brantas itu sampai hari ini tidak memberikan sanksi administrasi, misalnya penghentian kegiatan Lapindo, supaya fokus pada penanganan bencananya. Tetapi Kementerian ESDM tidak mengeluarkan permintaan itu, sebab aktivitas eksplorasi masih terus dilakukan.
Dalam kasus ini, seharusnya Kementrian Lingkungan Hidup dan jajaran Polri melakukan penyelidikan komprehensif untuk kasus ini, bagaimanapun PT. Lapindo adalah pihak yang paling bertanggung jawab dan harus diminta pertanggungjawabannya secara hukum. Dalam hal ini saya amat menyayangkan pernyataan Ketua Mahkamah Agung beberapa waktu lalu, yang mengatakan kasus Lapindo tidak perlu dicari tersangkanya, ini satu ungkapan yang mematikan penegakan hukum, Indonesia adalah negara hukum, namun hukum tersebut telah dilego di pasar klontong oleh institusi hukum sendiri, itu sangat disesalkan.
Lalu Bagaimana seharusnya pemberian ganti rugi untuk para warga yang menjadi korban?
Kalau sudah ada kesepakatan antara warga dan Lapindo, mereka menerima ganti kerugian yang diberikan Lapindo, maka aspek ganti rugi selesai, namun itu tidak membebaskan Lapindo dari jeratan proses pidana.
Berapa besar kompensasi yang layak diterima warga di sana?
Tentunya setiap orang berbeda-beda, karena tingkat kerugian aset mereka juga berbeda. Namun satu hal yang harus ditegaskan, kalau persoalan sosial bisa selesai, aspek konservasi dan ekologi juga harus dituntaskan. Ini bisa membebaskan Lapindo dari aspek pidana.
Bagaimana dengan rencana pengalihan saham PT. Lapindo, jika hal itu terjadi siapa yang bertanggung jawab dengan kasus ini?
Saya baru saja mendapatkan informasi bahwa hal ini masih ditangguhkan. Saya memang berharap pembeli Lapindo ini cukup barhati-hati dan menunggu proses hukumnya tuntas, jangan sampai masuk pada wilayah yang riskan. Dan saya rasa satu perusahaan bonafit dan profesional tidak akan gegabah membeli sebuah saham dari PT Lapindo dalam situasi proses hukum. Karena masih dalam proses hukum, pembelinya jangan sampai tidak jelas.
Langkah penyelesaian apa yang perlu dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi lumpur, bahkan pekan lalu sudah muncul bencana baru berupa ledakan pipa gas yang menelan korban?
Kalau kasus ledakan, dalam sebuah hukum lingkungan, Pertamina juga menjadi salah satu pihak lagi, yang harus dimintai pertenggungjawaban hukum,tidak Lapindo semua. Namun kalau Pertamina mampu membuktikan bahwa ini akibat lumpur Lapindo, maka silahkan Pertamina menggugat Lapindo, soal Pertamina telah mengakibatkan korban kematian dan kerusakan diareal Porong akibat ledakan pipa gas harus dimintai pertanggungjawaban hukum, Dirut Pertamina harus diminta pertanggungjawaban hukum atas ledakan pipa gas itu. Jadi pertamina juga tidak boleh bebas hukum, meskipun ini kecelakaan.
Ada yang menginginkan agar kasus luapan lumpur ini diberi status bencana. Komentar Anda?
Saya menolak pernyataan yang mengatakan ini bencana alam, kriteria sebuah bencana dikatakan karena takdir, tidak ada intervensi manusia. Peristiwa luberan lumpur ini bukan takdir ataupun kehendak alam, tapi ini karena adanya eksplorasi migas oleh PT. Lapindo, setelah adanya eksplorasi Lapindo, kemudian terjadi seperti ini, artinya peristiwa ini sesungguhnya terjadi karena aktivitas manusia, aktivitas industri, untuk itu tidak boleh diklaim menjadi bencana alam. Ini bukan bencana alam, tapi ini adalah bencana lingkungan dan kemanusiaan, Lapindo harus dimintai pertanggungjawaban secara hukum.
Bagi saya ada 12 dosa hukum dalam kasus Lapindo ini. Pertama, lapindo jelas melakukan pelanggaran UU Perindustrian, di mana dalam UU Perindustrian menyatakan setiap aktivitas Industri dilarang mencemarkan dan merusak lingkungan. Kedua, melanggar UU Konservasi, karena telah nyata terjadi kerusakan ekosistem di sana. Ketiga, melanggar UU Lingkungan, dalam kasus ini sudah terjadi pencemaran lingkungan. Keempat, melanggar UU Tata Ruang, karena itu merupakan areal pertanian, kenapa untuk pertambangan. Kelima, melanggar UU Agraria, diman di dalam setiap orang bertanggungjawab menjaga mutu tanah. Kemudian yang keenam, melanggar UU Kesehatan, ratusan orang sudah kolaps, karena terganggu kesehatannya akibat luapan lumpur gas Lapindo. Ketujuh, melanggar UU Lalu Lintas, akibat peristiwa ini jalur lalu lintas terhambat. Kedelapan, melanggar UU Jalan Tol, di mana akibat luberan lumpur itu, jalan tol sebagai moda transportasi terganggu. Kesembilan, melanggar UU Sumber Daya Air, siapa yang bisa menjamin air disan tidak tercemar. Kesepuluh, melanggar UU Pertambangan. Kesebelas UU Migas, karena intinya aktivitas pertambangan harus berwawasan lingkugan dan yang keduabelas, melanggar UU Terorisme, untuk itu ini harus benar-benar dijadikan momen bergeraknya penegakan hukum terhadap teroris lingkungan.
Karena apa yang dinamakan kejahatan terorisme, menurut UU Terorisme adalah kejahatan yang menimbulkan korban massal. Merusak sarana vital atau lingkungan hidup. Jadi UU Terorisme itu bukan hanya kejahatan pada keamanan negara saja, tetapi juga pada lingkungan ini tercantum dalam UU. Ini termasuk terorisme lingkungan, kalau aparat hukum serius. Masalahnya aparat hukum mau serius kesana tau tidak. Yang jelas sesuai dengan telaah akademik, ada perangkat hukum yang bisa digunakan untuk menjerat kasus Lapindo ini, cuma apakah ini bisa digunakan atau tidak, semua kembali pada aparat penegak hukumnya.
Jadi negeri ini sedang diuji segi penegakan hukumnnya. Yang paling penting kemauan kolektif semua aparat penegak hukum. Dan Presiden harus bisa mengkoordinasikan Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup, Kepolisan, juga Bappedal Propinsi Jawa Timur melakukan proses hukum yang sungguh-sungguh pada kasus ini, mengingat banyaknya perangkat hukum yang bisa digunakan. Itu semua tergantung Presiden, Presiden yang hanya bisa mengevaluasi Menterinya, dalam hal ini Kementerian ESDM yang paling bisa diminta pertanggungjawaban administratif, untuk menertibakan perizinan eksplorasi Lapindo. Hanya presiden mempunyai wewenang itu.