Di sela-sela diskusi buku Kontra Terorisme, hadir seorang Komisioner Komnas HAM dari Subkomisi Pendidikan dan Penyuluhan sebagai pembicara dari sudut pandang HAM. Dialah Dr. Saharuddin Daming, S.H., M.H. Komisioner tunanetra yang lebih dikenal dengan nama julukannya di berbagai media di Makassar, yaitu Andi Sebastian.
Anggota Komnas HAM periode 2007—2012 ini juga merupakan salah satu lulusan terbaik dari Universitas Hasanuddin, Makassar, karena keterbatasan yang dimilikinya tidak membuatnya patah semangat bahkan dapat lulus dengan waktu yang relatif singkat. Saharuddin sempat menjadi pengacara dan ia juga menginspirasi puluhan tunanetra lain untuk menggapai cita-cita, terutama dalam hal pendidikan.
Reporter eramuslim.com mewawancarai beliau terkait pandangan Komnas HAM terhadap perlakuan hukum para tersangka terorisme. Berikut adalah petikan wawancaranya.
Anda melihat bahwa tersangka terorisme seringkali tidak diperlakukan secara adil dalam proses hukum?
Itu bukan sekadar asumsi, itu real. Kita lihat misalnya, tersangka terorisme itu tidak diberikan akses sama sekali untuk berkomunikasi dengan keluarga dan pengacaranya. Kedua, pelaku terorisme itu mendapat perlakuan diskriminatif, dia diisolir di barak-barak yang berbeda sekali dengan, bisa jadi, tindak pidana korupsi dan kejahatan lainnya. Ketiga, kita lihat, para tersangka terorisme ini umumnya terjadi penganiayaan, ada penganiayaan baik dari kepolisian, oknum kepolisian, maupun dari tahanan sendiri. Keempat, labelisasi, jadi pencitraan yang begitu buruk, yang dibangun oleh polri bahwa mereka ini betul-betul adalah penjahat yang harus dibasmi, dimusnahkan. Kelima, bukan hanya tersangka, para keluarga juga ikut menjadi terbebani dengan berbagai beban psikologis karena mereka juga sering mendapat teror, mereka dicap sebagai keluarga teror. Akhirnya mereka diisolasi. Keenam, ada pencitraan yang begitu rupa dilakukan oleh polri dan media massa sehingga tersangka itu begitu dibenci oleh masyarakat, mereka adalah betul-betul orang yang harus dimusuhi. Jangankan saat hidup, mati pun mereka dimusuhi. Jenazahnya itu semuanya ditolak di mana-mana. Ini ada apa sebetulnya?
Negara ini sebetulnya telah melakukan kelalaian karena mencabik harkat dan martabat warga negaranya yang dituduh melakukan misalnya, persangkaan terorisme itu. Berarti polisi sendiri telah menyebarkan kebencian, ada xeno-xeno phobia, ada fobia-fobia, Islamophobia yang terlalu sedemikian rupa dilakukan oleh Densus 88 dan polri dalam menangani kasus ini.
Karena itu, Komnas HAM menilai bahwa ada pelanggaran HAM yang begitu serius terjadi dilakukan oleh Densus 88 dalam menangani pemberantasan terorisme ini. Walaupun kita semua, termasuk Komnas HAM, mengakui bahwa apa yang dilakukan Densus 88 itu sebetulnya adalah manifestasi dari tanggung jawab dia untuk menjaga keamanan negara seperti diatur dalam konstitusi maupun UU tentang kepolisian. Tetapi, haruskah tindakan-tindakan polri seperti yang dilakukan oleh Densus 88 menjadi satu-satunya pilihan untuk memberantas terorisme?! Itu yang jadi pertanyaan kita, mengapa semua tersangka yang berhubungan dengan terorisme itu pilihannya pada hukuman mati?!
Jadi, tindakan represif merupakan turunan program anti terorisme dari Barat?
Saya justru mencurigai itu, yang terjadi bahwa negara kita ini teroptasi pemikiran dan kepentingan Barat, bahkan bisa jadi kita ini menjadi kaki tangan Barat. Jangan-jangan kita secara tidak sadar menjadi kaki tangan Barat. Itu kita lihat dengan adanya, saya katakan tadi, peringatan dari AS tentang ‘stick and carrot; itu, Indonesia tidak ada pilihan kecuali memilih ‘carrot’, daripada memilih ‘stick’, kita akan jadi sasaran invasi AS karena kita dituding sebagai poros kejahatan dunia.
Untuk menghindari itu, pilihan satu-satunya adalah Indonesia mengikuti kebijakan ‘carrot’, mengikuti pola AS. Inilah yang menurut saya mengkhawatirkan, kita terjebak pada drama yang dimainkan AS untuk memberantas terorisme yang sebetulnya terorisme itu diarahkan kepada dia. Tapi dia memindahkan terorisme itu ke negara lain, Indonesia akhirnya menjadi salah satu sasaran. Itu celakanya.
Apakah kebijakan kontraterorisme ini juga rekayasa dari AS?
Ini kita lihat pada adanya sejumlah bantuan AS kepada Indonesia, mulai dari bantuan finansial sampai pada bantuan teknik sebagai konsesi bagi Indonesia yang telah mengikuti dan mau bergabung dengan kampanye globalisasi anti terorisme yang dimotori oleh AS sehingga dibentuknya Densus 88 dengan operasi represif seperti sekarang tak lebih itu adalah bentuk ucapan terima kasih Indonesia kepada AS. Sebagai bentuk imbalan yang harus dikembalikan pemerintah Indonesia yang telah merasa turut menjadi bagian dari AS.
Nah, kalau tidak itu, apa motifnya Indonesia?! Karena walau bagaimanapun Indonesia sebetulnya sudah terjebak terbawa-bawa rendong permainan AS terhadap kampanye anti terorisme itu. Walaupun misalnya, kita tidak dapat mengelakkan bahwa hal itu terjadi di Indonesia, tapi penanganannya harusnya tidak seperti itu. Harusnya negara memfasilitasi karena walau bagaimanapun mereka adalah warga negara juga, mereka hanya melampiaskan kekesalannya terhadap Barat tapi mereka tidak punya kemampuan untuk menghantam langsung Barat dan AS tapi mereka menghantam sasaran Barat yang ada di Indonesia.
Kita lihat, terorisme itu tidak pernah menghantam Istana, tidak pernah menghantam markas polri, jangankan mabes polri, polsek pun tidak, kan?! Kalau mereka anti Indonesia, harusnya tempat-tempat vital dan strategis ini menjadi sasaran. Tapi yang mereka lakukan apa?!
Di Bali, tempat-tempat wisata yang memang menimbulkan persoalan itu dari segi pembinaan moral, kemudian hotel-hotel berbintang, dan itu pun hotel-hotel yang ikon Barat, JW Marriot, Ritz Carlton, itu menunjukkan bahwa terorisme menurut saya itu tidak sedang menjadi pengacau struktur keamanan negara tapi dia sebetulnya lebih diarahkan kepada menyasar kepentingan-kepentingan Barat di mana saja. (Ind)