Kejaksaan Agung dalam keputusan Jaksa Agung nomor 019/A/JA/03 tahun 2007 tertanggal 5 Maret 2007 yang melarang penerbitan dan peredaran buku sejarah Kurikulum 2004 untuk SMP, Madrasah Tsanawiyah (MTs), SMA, Madrasah Aliyah (MA), dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Salah satu pertimbangan pelarangan, buku-buku teks itu menghilangkan keterlibatan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam pemberontakan di Madiun, Jawa Timur, pada 1948, dan pemberontakan pada 1965. Selain itu buku-buku itu dianggap tidak sepenuhnya mencatat fakta kebenaran sejarah bangsa Indonesia.
Sejarawan dari Universitas Indonesia Dr. Anhar Gonggong menyayangkan langkah pelarangan yang melibatkan pihak kejaksaan. Menurutnya, larangan oleh kejaksaan itu kurang tepat. Berikut bincang-bincang eramuslim dengan Dr Anhar Gonggong.
Menurut Anda, apakah larangan buku sejarah SMP, SMA kurikulum tahun 2004 merupakan langkah yang tepat?
Menurut saya tidak tepat, karena itukan bukan urusan kejaksaan, itu urusan ilmu. Menteri Pendidikan tidak perlu meminta pihak kejaksaan untuk mengeluarkan pelarangan itu.
Pemerintah menganggap PKI merupakan masa lalu yang kelam dan kemungkinan masih akan bangkit, sehingga harus tetap dicantukam dalam buku-buku sejarah. Tanggapan Anda?
Bisa saja pemerintah menganggap seperti itu, tapi kan bisa diselesaikan secara ilmiah, selesaikan secara ilmiah saja. Saya menyarankan agar Menteri Pendidikan Nasional memanggil orang-orang ahli, tidak perlu melibatkan kejaksaan. Kalau sudah dengan kejaksaan, nanti jadinya pemerintah dianggap diktator lagi.
Sampai saat ini peristiwa pemberontakan PKI masih menjadi persoalan yang sensitif. Masih menjad polemik di masyarakat. Bagaimana seharusnya pemerintah menangani persoalan ini?
Semestinya ya itu sederhana saja menyelesaikannya, ketika G30S itu diadakan, kata PKI-nya kan memang tidak ada. Baru setelah Untung cs kalah baru ditambahkan PKI, begitu prosesnya. Jadi sepanjang orde baru itu, ya PKI itu yang diberikan cap. Tetapi itu bisa diselesaikan lewat buku-buku itu. Bisa dikatakan enggak apa-apa, tidak ada kata PKI dibelakangnya, selain itu dapat juga diterangkan bahwa tidak apa-apa ada kata PKI dimasukan didalamnya, tetapi dengan memakai kata G30S PKI.
Tapi harus ada penjelasannya juga, ketika gerakan itu ada, kata PKI-nya tidak ada. Baru kemudian setelah dia kalah, pemerintah orde baru menambahkan kata PKI, jadi bisa diatur seperti itu, kan tidak susah.
Apakah pelarangan semacam itu sebenarnya memang tidak boleh ada?
Bukannya tidak boleh melarang, itu hak pemerintah. Tapi saran saya, karena itu masalah akademis ya diselesaikan dengan cara akademis, jangan diselesaikan dengan melarang-larang atau secara politis. Katanya sekarang sudah orde reformasi, tapi tindakan seperti itu terkesan anti reformasi.
Seharusnya pemerintah tidak lantas mengambil jalan itu. Akademisi yang semestinya duduk bersama-sama, panggillah Menteri Pendidikan Nasional, beliau kan juga orang akademisi. Lalu kemudian dibicarakan hal ini. Bagaimana baik buruknya, dia mau sejarah PKI digunakan atau tidak, alasan penilaiannya harus rasional, sebaiknya seperti itu.
Saya sebagai seorang akademisi tentunya menghendaki hal-hal yang menyangkut kurikulum itu dilakukan melalui jalur akademisi. Kalau tetap menghendaki jalan kekuasaan, itu urusan mereka, bukan urusan saya. (noffel)