Dr. Aidh Al-Qarni masih menjadi buah bibir banyak kalangan di Saudi Arabiya. Popularitasnya yang meroket melalui karya-karya tulisnya, pandangannya yang tegas dan berani, keterlibatannya dalam sejumlah acara di televisi, menjadikan Al-Qarni disorot banyak masyarakat dan ulama. Sejumlah orang melontarkan kritik terhadap pemikirannya soal wanita dan keterlibatannya dalam siaran televisi. Juga terkait pandangannya terhadap keterkaitan dakwah dengan politik.
Al-Qarni yang meraih gelar doktor dalam bidang ilmu hadits memang kritis terhadap sejumlah situasi yang mengelilinginya, termasuk lapangan dakwah Islam. Berikut wawancara koresponden Islamonline dengan penulis kitab Laa tahzan, Dr. Aidh Abdullah Al-Qarni:
Anda mendapatkan lisensi penghargaan dari Lembaga Pemuda Islam Internasional dalam bidang karya tulis. Anda terkenal berhasil dalam karya tulis berjudul ‘Laa tahzan’. Apa rahasianya?
Tentu ada banyak hal yang melatarbelakangi suksesnya buku Laa tahzan dan pemasarannya secara internasional. Pertama, pasti itu semua karena taufiq dari Allah swt. Kedua, tema yang terkandung dalam buku itu memang sangat dibutuhkan banyak orang. Kesedihan adalah tema yang dialami setiap orang. Ketiga, variasi referensi yang tertuang dalam tulisan yang mengalir. Tulisan yang dibuat dengan metoda karya tulis akademik, cenderung tidak disukai banyak orang. Tapi tulisan yang dibuat dengan cara sederhana dan menyentuh realitas masyarakat, itu lebih disukai dan lebih mempengaruhi masyarakat.
Menurut Anda, apa pengaruh negatif terhadap pemikiran Islam pada saat sekarang ini?
Kita harus mengetahui, ada dua arus pemikiran yang memberi sumbangsih negatif pada pemikiran umat Islam. Pertama, arus pemikiran ekstrem yang keluar dari ijma’ (konsensus) umat. Kedua, arus pemikiran yang dibawa oleh orang-orang yang berpikiran liberal, menghalalkan untuk menghancurkan pilar tsawabit (prinsip) dalam Islam dan menyerang sentimen beragama dengan pemikiran Barat yang anti tuhan. Di sini, peran SDM media massa dan penentu kebijakan politik diperlukan untuk tetap memberi dukungan kepada para juru dakwah yang beraliran moderat, pertengahan.
Anda mengeluarkan fatwa terkait dengan wanita, dan Anda meminta diadakannya mahkamah khusus untuk wanita. Apa logika yang anda gunakan untuk fatwa dan pemikiran itu?
Para da’i harus memperhatikan kaum wanita karena mereka adalah ibu, saudara perempuan, isteri, anak perempuan. Setiap orang meski keududukannya tinggi tidak bisa mengingkari peran dan kedudukan wanita. Semua yang kami sampaikan itu adalah hak-hak syariat Islam untuk kaum wanita dan untuk meningkatkan penerapan petunjuk dalam Al-Quran dan Sunnah agar mendudukkan kaum wanita pada kedudukan yang sejati. Tentu saja ada sejumlah praktik yang keliru terhadap kaum wanita dan ada orang yang mengatas namakan Islam tapi justeru memperburuk Islam dan menodai imej Islam dalam menyikapi kaum wanita.
Apakah menurut Anda, ketenaran itu akan membantu seorang da’i? Bagaimana Anda menanggapi pandangan yang disampaikan kepada para da’i yang masuk dalam acara televisi?
Tentu saja aspek popularitas itu sangat membantu seorang da’i dan akan semakin memperberat posisi tawarnya. Masyarakat sekarang banyak menikmati berbagai saluran tv yang terkenal, mereka juga membaca buku buku terkenal. Tapi kita juga harus tetap menjaga agar da’i selalu berada dalam konteks niat karena Allah. Popularitas da’i tidak dimaksud untuk riya dan ingin didengar orang. Dia harus tetap berlindung kepada Allah dari kecintaan untuk tampil (hubbu zhuhuur). Karena manusia bagaimanapun tidak memiliki kuasa untuk memberi mudharat atau manfaat. Dia juga tidak bisa menghidupkan dan mematikan.
Adapun tentang dakwah masuk siaran televisi, ini adalah dalam konteks bagaimana seorang da’i bisa menyampaikan fikrahnya kepada masyarakat. Terlebih, saat ini televisi memang sarana yang paling utama menjadi jembatan penyebaran suatu pemikiran. Seorang da’i adalah kelompok orang yang paling layak mengendalikan informasi ini, dan dia harus tampil di atas mimbar televisi untuk menyampaikan dakwah kepada masyarakat. Saya berbeda pendapat dengan mereka yang berpandangan bahwa dakwah hanya dilakukan dengan sarana tradisional, dengan alasan tawadhu’. Ini adalah sikap tawadhu’ yang aneh. Karena justeru ketika seorang da’i meninggalkan ruang publik seperti di TV, berarti ia membiarkan sarana itu untuk didominasi oleh hal-hal yang sepele.
Pandangan Anda, bolehkan seorang da’i sibuk dalam dunia politik?
Ini pertanyaan yang tidak bisa dijawab dengan perkataan ya atau tidak. Tapi kesibukan seorang da’i di lapangan politik bisa menjadi kemaslahatan bila memang itu bisa memberi pengaruh yang baik dan menjadikannya lebih didengarkan. Seorang da’i yang tidak memiliki pengaruh dan pengikut, juga bisa memunculkan fitnah jika ia masuk ke dalam lapangan politik, maka lebih baik ia tetap di lingkup aktifitasnya sebagai da’i.
Tapi memang umumnya, saya melihat sejumlah da’i zaman sekarang harusnya terlibat dalam lapangan politik, birokrasi, pemerintahan. Ini karena Islam adalah agama dan negara. Masalahnya sekarang pembicaraan sejumlah da’i, siang dan malamnya didominasi tentang pemilu, politik, pemerintah, parlemen. Para da’i lupa dengan shahih Bukhari dan Muslim, lupa dengan qiyamul lail, lupa dengan upaya memperbaiki kondisi umat, lupa memberi nasihat kepada para pemuda dan membenahi akhlak mereka. Itu terjadi karena sebagian da’i yang berlebihan dalam berbicara tentang politik lalu melupakan permasalahan umat yang kini dalam posisi terancam. (na-str/iol)