Umat Islam dihimbau agar teliti dan hati-hati dalam mengkonsumsi obat-obatan dan kosmetika. Sebab, saat ini obat yang kita makan ketika sakit dan kosmetika yang kita pakai untuk mempercantik diri masih banyak yang belum memiliki sertifikasi halal.
Direktur Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Dr.Ir. H. Muhammad Nadratuzzaman Hosen mengatakan, sekitar 120 perusahaan obat-obatan dan tujuh perusahaan kosmetik belum mendapat sertifikasi halal, dan hanya lima perusahaan yang telah memiliki label halal.
Meskipun produsen pangan, obat-obatan, dan kosmetika memang tidak diwajibkan mendapatkan sertifikasi halal oleh pemerintah. Tetapi untuk menjaga ketentraman hati dan menjaga umat untuk tidak mengkonsumsi sesuatu yang haram, LPPOM MUI menghimbau setiap produsen mau mendaftarkan produknya.
Berikut petikan wawancara Eramuslim dengan Direktur LPPOM MUI, ditemui sela-sela Seminar Nasional Kehalalan Obat-obatan dan Kosmetika, di Auditorium Universitas Yarsi, Jakarta.
Berapa persen obat-obatan dan kosmetika yang belum disertifikasi, karena inikan mencemaskan umat Islam?
Kalau soal presentasinya saya memang tidak tahu persis ya, karena kita kan bersifat pasif, kalau ada orang yang meminta sertifikasi halal, mengajukan aplikasi kita baru memprosesnya. Tapi yang jelas mengenai obat-obatan ini, saya mendengar bahwa ada 120 perusahaan obat, belum lagi importir dan distributor. Tapi kalau kita lihat jenis obat, misalnya obat penurun panas jenis parasetamol dari berbagai merek. Kalau kita lihat sekarang, baru lima perusahaan obat-obatan dan kosmetika yang meminta sertifikasi halal. Jadi menurut kami hampir 95 persen obat-obatan tidak mempunyai sertifikasi halal, termasuk juga kosmetika.
Nah sekarang, karena halal atau haram ini otoritas ulama bukan otoritas LPPOM, kami tugasnya hanya melakukan pemeriksaan, pengkajian dan mengaudit. Jadi kami ingin mengajak dan mengingatkan masyarakat bahwa masih banyak persoalan mengenai keharaman di sektor obat-obatan dan kosmetika.
Oleh karena itu kami menghimbau BPOM dan Depkes agar melihat ini sebagai masalah yang serius, karena Indonesia adalah negara Muslim terbesar. Dan nampaknya pemerintah belum mempunyai political will untuk melindungi konsumen muslim. Kalau kami ini posisinya bukan sebagai pemerintah, hanya membantu tugas dari pemerintah. Jika uluran tangan kami belum disetujui, cobalah cari jalan keluarnya. Yang tidak saya inginkan adalah masyarakat konsumen muslim yang sudah sadar, melakukan pengadilan sendiri.
Maksudnya pengadilan sendiri?
Kalau ada pabrik obat yang diketahui jelas-jelas produknya haram, mereka lalu membakarnya atau melakukan tindakan lainnya, jadi seperti itu. Kita tidak mau seperti itulah, kita ingin ada penyelesaian bahwa namanya konsumen itu harus dilindungi, walaupun hanya menyangkut obat-obatan dan kosmetika, karena kalau kita bergantung pada dokter, ternyata dokter juga mengakui tidak pernah mendapatkan informasi lengkap tentang obat-obatan yang mengandung unsur babi atau keharaman lainnya. Jadi tidak dapat diharapkan, apalagi pasien yang tidak tahu dengan obat-obatan, yang percaya pada dokter, sedangkan dokter saja tidak tahu.
Kalau dikemasannya ditulis mengandung babi atau ada gambarnya, tidak menjadi masalah, tetapi persoalannya lagi tidak semua dokter memperhatikannya, kadang-kadang apotik yang menjualnya tidak dengan kemasannya. Langsung obatnya saja. Jadi peluang terjadinya disinformasi seperti itukan sangat besar. Karena dokter sendiri ada yang praktek sampai jam dua malam, karena jumlah pasiennya terlalu banyak, mana sempat memperhatikan.
Tapi karena masyarakat sudah percaya pada dokter, apapun yang dikasih obatnya oleh dokter, pasti diminum, tidak pernah tanya-tanya soal keharamannya. Kalau dokternya pernah diberitahukan oleh pabrik farmasi tentang kandungan obat tertentu yang diragukan kehalalannya, jika tidak memberitahukan kepada pasiennya berarti salah dong, ada mata rantainya. Oleh karena itu, kami juga menghimbau rumah sakit dan dokter untuk memperhatikan masalah ini.
Bagaimana dengan kosmetika yang banyak diiklankan, tapi belum memenuhi standar kehalalan?
Masalah penggunaan plasenta misalnya, kalau dari manusia jelas-jelas diharamkan, tapi saya dengar juga bahwa plasenta dari manusia banyak digunakan, sebab paling bagus. Tapi kembali lagi, ibu-ibu kalau kita jelaskan ini, umumnya jawaban begini "lebih baik gak dengar deh, kalau gak tahu kan boleh." Di sini dapat kita lihat bagaimana konsumen di Indonesia yang mayoritas Muslim memiliki kemauan atau tidak. Pabrik-pabrik itu akan berubah kalau konsumen Muslimnya juga menggugat, tapi kalau konsumen Muslimnya senang-senang saja, kita mau bilang apa.
Apakah anda melihat selama ini konsumen Muslim bersikap tak peduli terhadap masalah ini?
Ya, saya pikir sepertinya begitu, tidak merasakan ini penting. Oleh karenanya berbagai cara kita lakukan, salah satunya dengan menyelenggarakan seminar untuk sosialisasi guna mengingatkan masyarakat, bukan hanya produsen, tapi juga konsumen. Jangan menganggap obat-obatan dan kosmetika ini oke-oke saja, karena halal dan haram yang tahu ulama. Dan jangan berani mengatakan ini halal, dari mana kalau bukan dari ulama, pengetahuan kitakan terbatas.
Berarti LPPOM MUI harus bersedia menjelaskannya?
Ya itulah, bicara soal tanggung jawab, seperti Wakil Ketua MUI Din Syamsuddin menyarankan, agar mengumumkan obat-obatan dan kosmetika yang jelas-jelas haram. Tidak peduli orang resah atau tidak, tapi ini tanggung jawab ulama.
Bagaimana LPPOM menyikapi tantangan ini?
Kami tetap menginginkan persuasif edukatif, kalaupun kami tahu jelas-jelas itu barang haram, akan kami buat surat, kami ingatkan. Meskipun caranya berbeda tapi tujuannya sama, dan melalui kegiatan sosialisasi melalui seminar kita, kita mencoba meluruskan kesalahpahaman dari pihak Departemen Kesehatan yang semula menganggap saya membuat isu, tapi setelah dijelaskan bahwa halal haram itu tanggung jawab ulama, mereka baru bisa mengerti. Sekarang alhamdulillah Kepala BPOM cukup mengerti bahwa memang sebelum mengedarkan obat harus mempertimbangkan masalah kehalalannya.
Bagaimana dengan peredaran obat kuat yang saat ini marak dijual bebas, apakah ini sudah memenuhi standar persyaratan?
Sebenarnya untuk pengawasan tugas BPOM, kami kan bukan pemerintah. Kami menghimbau agar obat-obatan yang menimbulkan efek negatif diawasi. Sebenarnya yang menjadi permasalahan bukan hanya kehalalan atau bisa menyembuhkan saja, namun kalau obat itu dapat menjadi racun dan menimbulkan efek yang besar, tentu akan diharamkan juga oleh agama.
Kami menghimbau agar pemerintah berani menegakkan hukum, masalahnya dinegara kita penegakan hukum ini lemah. Kami prihatin, seolah-olah negeri ini tidak punya pemerintah. Seharusnya pemerintah dapat mengatur, melindungi konsumen, seperti kalau ada obat liar, obat palsu atau berbagai macam obat yang beredar diseluruh Indonesia. Kasihan konsumen kita, tidak tahu apa-apa.
Cara ini berarti bukan hanya melindungi konsumen yang mayoritas muslim saja, tetapi juga non muslim?
Iya lah, agama inikan membuat kemaslahatan seluruh umat atau rahmatan lil alamin. Kami ingin cari yang terbaiklah untuk umat yang terdiri dari konsumen dan produsen. Kita ingin yang terbaik, jangan sampai persoalan halal haram menjadi komoditas permainan orang. Inikan masalah agama, tanggung jawabnya kepada Allah, ini yang kita mau ingatkan.(noffel)