Direktur Umum Televisi al-Manar, Abdullah Kassir yang juga mantan perwakilan deputi Hizbullah di Parlemen Libanon, mengkritik media-media Arab yang menurutnya masih banyak yang berada di bawah pengaruh pemerintahannya masing-masing.
Ia berharap media-media Arab bisa lebih independen dan tidak dikontrol oleh pemerintah maupun kekuatan asing lainnya.
Al-Manar, termasuk stasiun televisi yang populer di dunia Arab dan menjadi salah satu target serangan tentara Israel dalam perang Israel Hizbullah tahun 2006 kemarin. Selama perang berlangsung, Al-Manar tetap berusaha mengudara meski kantor pusatnya di Beirut luluh lantak dan studio serta tranmisinya rusak berat akibat bom-bom yang dijatuhkan Israel.
Berikut petikan wawancara Direktur Umum Televisi al-Manar yang disarikan dari Arab Monitor.
Berapa banyak warga Israel yang menyaksikan televisi al-Manar?
Para pejabat eselon Israel selalu mengikuti siaran kami dari menit ke menit. Dalam level-level penting, penonton kami bisa banyak atau sedikit tergantung peristiwanya. Kami mengetahui dari polling yang dilakukan di Jalur Gaza dan Tepi Barat, serta wilayah pendudukan tahun 1948, al-Manar merupakan saluran televisi dengan jumlah pemirsa cukup tinggi. Tapi tayangan Saddam Hussein yang digantung, menimbulkan pro dan kontra dan luka hati, sehingga banyak pemirsa di Palestina yang tidak mau menyaksikannya.
Ada yang mengatakan, selama perang dengan Israel tahun 2006 kemarin, banyak warga Israel yang lebih suka menonton al-Manar untuk mendapatkan lebih banyak informasi tentang apa yang sebenarnya terjadi di medan perang. Komentar Anda?
Kami juga mendengar hal itu, seperti kami mendengar pendapat-pendapat dari pemirsa yang kami kumpulkan dalam polling. Menurut polling itu, selama perang Israel-Hizbullah, pemirsa al-Manar di Israel jumlahnya cukup tinggi dibandingkan dengan pemirsa saluran televisi berita AS, Fox News.
Selama 34 hari perang, anda tidak pernah menghentikan siaran?
Hanya dua menit, karena alasan teknis.
Apakah selama serangan bom Israel yang ganas, Anda melakukan siaran dari Beirut?
Kami tidak pernah meninggalkan Beirut.
Mengapa Anda berpikir bahwa informasi menjadi ujung tombak dalam sebuah konfrontasi?
Untuk dua alasan. Pertama sekali adalah, karena revolusi teknologi yang telah menyebar dengan cepat ke seluruh dunia dan bisa disaksikan oleh siapa saja. Kemudian, karena sejak masa Perang Teluk pertama, orang-orang Amerika mulai menggunakan media sebagai senjata dalam peperangan. Pada saat itu, kita untuk pertama kalinya menyaksikan senjata-senjata yang digunakan. Proses berjalan terus dan sekarang, informasi juga dimanfaatkan sebagai senjata oleh pihak lainnya.
Apakah Anda pusa dengan apa yang sudah diberitakan media-media Arab?
Dengan sedih saya mengatakan tidak puas. Mereka terkadang juga merasakan adanya intervensi yang besar dari pemerintah. Mereka seharusnya bebas dan merdeka dari pengaruh masih-masing pemerintahnya, bukan hanya dari mereka yang dikontrol Amerika. Di samping itu, ada persoalan lain. Ada sekitar 400 saluran televisi di dunia Arab saja, tapi hanya sedikit dari saluran televisi itu yang juga disiarkan dalam bahasa asing. (ln/arabmonitor)