RUU tentang Pornografi yang mulai dibahas secara komprehensif pada pemerintah Presiden Megawati, sampai akhir pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono belum juga dapat diundangkan. Tertatihnya proses pengundangan terhadap RUU yang semula bernama RUU Anti Pornografi Pornoaksi itu, disebabkan masih terdapatnya perbedaan persepsi di tengah masyarakat. Namun mulai ada titik terang, setelah sekian lama menjalani pembahasan, bulan Ramadhan 1429H Tim Panja DPR mulai melakukan uji publik terhadap naskah RUU tentang Pornografi di tiga propinsi yaitu, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Maluku, dan yang keempat di DKI Jakarta.
Di antara penolakan yang terjadi di masyakat, itu sebenarnya konsen terhadap masalah pornografi yang semakin mengkhawatirkan masih sangat tinggi. Berikut petikan bincang-bincang Eramuslim dengan Ketua Umum Masyakarat Tolak Pornografi (MTP) Azimah Soebagyo, di sela-sela Acara Uji Publik RUU tentang Pornografi, di Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Jakarta.
Apakah MTP cukup puas dengan adanya rencana pengesahan RUU tentang Pornografi yang selama ini ditunggu-tunggu?
Kami memberikan apresiasi yang besar kepada tim panja pemerintah dan DPR yang sudah bekerja keras sehingga menghasilkan sebuah draft yang jauh lebih akomodatif, dibandingkan draf yang sebelumnya berjudul RUU APP. Sekarang sudah berjudul RUU tentang Pornografi, ini sudah berusaha mengakomodir berbagai pihak. Saya tahu sekali perjalanannya, begitu ada pro kontra tahun 2006, pansus DPR melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama dengan 176 elemen masyarakat yang mereka dengar sehingga lahirlah sebuah draft baru, nah draft baru ini diberikan kepada pemerintah untuk dibuat DIM (daftar inventasir masalah), kemudian setelah pemerintah mendapat Ampres dari Presiden empat depertemen, yaitu Departemen Agama, Departemen Komunikasi dan Informatika, Departemen Hukum dan HAM, Kementerian Pemberdayaan Perempuan itu sebelum membuat DIM-nya mereka hearing dulu, kebetulan kami diundang 29 November 2007, melakukan hearing untuk mebuat DIM.
Inikan berati sangat akomodatif sekali, sebelum membuat DIM saja meminta masukan dari masyarakat. Kemudian setelah pemerintah membuat DIM selanjutnya DIM ini dibahas disandingkan dengan draf inisiatif DPR. Yang diujipublikan sudah merupakan hasil masukan panja pemerintah dan DPR dengan berbagai masukan dari 176 elemen tadi, yang sudah RDPU, di pemerintah melakukan hearing dengan tokoh agama, tokoh LSM perempuan, anak, sosial, dan juga institusi media. Kami yakin ini lebih akomodatif.
Apakah MTP melihat masih ada substansi RUU yang masih kurang?
Dari hasil kajian terakhir kami masih mempunyai beberapa catatan. Catatan itu bukan berarti kami menafikan yang tadi, tapi ini bagian dari cinta kami untuk menyempurnakan sehingga nanti ketika diundangkan itu akan jauh lebih efektif. Ibaratnya sebuah rumah, ini sebenarnya tinggal finishing saja, tinggal didempul, tinggal diamplas, tinggal dicat saja.Tapi filosofisnya, substansinya, kami sudah bisa menerima, tinggal ada sekitar tujuh point yang menjadi catatan dari jaringan kami, yang kami pikir bisa membuat UU ini efektif ketika diimplementasikan.
Apa saja yang masuk perlu dielaborasi dalam RUU tentang Pornografi?
Pertama itu soal definisi, kami mengusulkan frasa "materi seksualitas" itu diganti dengan materi seksual, karena memang hasil kajian kami materi seksualitas itu terlalu luas. Itu juga menyangkut hal-hal yang sebenarnya secara makna bahasa bisa bermakna positif, yaitu sks untuk kebutuhan positif, contohnya reproduksi, kehidupan keluarga. Tapi kalau sudah kata materi seksual, lebih pada tampilan-tampilan yang memuat organ-organ kelamin manusia yang kemudian didefinisi akhirnya membangkitkan hasrat seksual baru dikatakan pornografi. Kami meralat sedikit saja, kata itu.
Kemudian selanjutnya, di pasal 14, di situ kami membaca itu pasal pengecualian, yaitu seni budaya, adat istiadat dan ritual tradisional, kemudian dikecualikan boleh dimanfaatkan untuk distribusi dan konsumsi. Jaringan kami menganggap, dari hasil diskusi kami, pasal ini tidak perlu terutama point seni dan budaya, karena ini multi interpretasi. Karena yang kita tahu, yang termasuk seni budaya itu seperti film, photo lukisan, yang notabene kalau itu memang seni-seni kontemporer, sering kali materinya memuat banyak sekali materi pornografi. Beda dengan adatistiadat, dan ritual agama itu masih bisa dipertimbangkan. Tapi kami minta pasal ini supaya didrop, karena kalau kita membaca teliti UU ini, sebenarnya membagi pornografi menjadi dua yaitu pornografi yang dilarang sama sekali, dan pornografi yang diatur. Menurut kami kalau menyangkut adat istiadat, ritual trandisional, secara hakikat bukan pornografi, karena itu merupakan aktualisasi rasa berkesenian masyarakat. Menurut kami tidak perlu diatur, tapi kalaupun ingin diatur, itu adalah bagian yang selain pornografi yang dilarang. itu sah-sah saja, asalkan di tempat khusus, dan secara khusus.
Kemudian di Bab Pidana dari pasal 30-39, kami usulkan agar kata ‘atau’ diganti kata ‘dan’, karena kalau kata ‘atau’, kami khawatir efek jera bagi orang ataupun korporasi yang menjalankan bisnis pornografi gak kena. Karena dikenakan hukuman penjara sekian tahun, atau bahkan sampai ada yang cuma enam bulan, atau denda sekian milyar.
Kalau kami melihat betapa besarnya uang yang berputar diindustri pornografi, kata ‘atau’ itu bisa melenggangkan pelaku bisnis pornografi ini hanya dengan membayar denda, karena atau itu adalah pilihan boleh ini, bolah itu, tapi kalau kata ‘dan’ dua-duanya. Jadi kami ingin meminta kepada hakim agar hakim tidak diberi pilihan seperti itu, kami inginnya dua-duanya kena dengan kata ‘dan’.
Sedangkan pasal 40 ayat 7 khusus untuk industri yang menjalankan bisnis pornografi, kami mengubah redaksionalnya, karena kalau redaksional yang lama seolah-olah kalau ada industri pornografi, kemudian yang dibawa ke pengadilan yang mewakili pengurus, di sini dikatakan, korporasi dikenakan pidana denda dengan pemberatan tiga kali dari pidana denda yang ada. Misalnya kalau orang perorang mislanya cuma 2 milyar, tapi korporasi kena 6 milyar. Nah buat kami itu bagus, tapi kami minta juga selain pidana dan denda kepada pengurusnya. Jadi dobel pengurusnya sebagai orang per seorangan yang menjalankan bisnis itu, dan sebagai korporasi kena yang denda yang tiga kali lipat. Kalau dirumuskan yang sebelumnya, selesai hanya dengan memberikan tiga kali lipat pidana, nah menurut kami itu kurang efek jera. Berarti pengurusnya dia bisa buat lembaga baru untuk menjalankan bisnis serupa, kita menghindari hal itu.
Kemudian di pasal 41, kami mengusulkan sebaiknya dihilangkan kata dapat karena dikhawatirkan ini nanti akan lebih sering tidak digunakan oleh hakim, jadi ini adalah tambahan pidana untuk korporasi. Nah kami juga meminta point C itu tidak hanya perampasan kekayaan hasil tindak pidana yang diambil, tapi juga aset produks. Sebagai contoh misalnya industri pornografi yang menjual VCD porno, kalau hanya diambil kekayaan hasil jualannya, itu menurut kami kurang efek jera. Tapi harusnya sama dengan mesin-mesin penggandanya, agar mereka tidak melakukan kejahatan serupa.
Dan yang paling urgent, kami mengusulkan adanya Bab baru yang mengatur tentang pembentukan Komisi Pemberantasan Pornografi, karena hasil dari pantauan kami. Paling tidak selama 8 tahun, sejak MTP berdiri kami melihat upaya penegakan hukum oleh kepolisian sangat tidak memuaskan. Jadi kalau kita baca UU ini, kemudian diundangkan seperti apa adanya, berarti sama saja menyerahkan seluruh prosedur pemidanaan terhadap pornografi dari hulu sampai hilir diserahkan kepada polisi. Nah kami tidak ingin seperti itu, karena pengalaman kami kepolisian mempunyai track record yang kurang menyenangkan untuk urusan pornografi.
Jadi kami meminta ada sebuah badan atau komisi yang melakukan penyidikan awal untuk kasus-kasus pornografi, pencegahannya, atau kemudian penyidikan kasus-kasusnya setelah jelas siapa yang menjadi tersangaknya, mereka baru diserahkan kepada kepolisian. Jadi ada sebuah institusi yang benar-benar duduk dan konsentrasi untuk itu. Karena kita tahu polisi banyak sekali yang harus mereka tangani, kalau ditambah lagi dengan tugas-tugas ini akan bersaing dengan yang lain, dan tidak akan efektif. Jadi tujuan kami lebih kepada, bagaimana membuat implementasi dari UU ini berjalan dengan baik. Bukan sekedar macan ompong, bukan sekedar gaya-gayaan kita mempunyai regulasi, tapi gak ada giginya. Kami ingin benar-benar ada giginya.
Apakah usulan yang disampaikan MTP ini akan diakomodir oleh pihak DPR, terkait proses uji publik. Ataukah ketika UU telah jadi akan ada proses uji materiil?
Justru itu, kami tidak berharap UU ini belum sempat diimplementasikan, sudah diujimateriilkan. Tapi berharap catat-catatan kami bisa masuk, karena kami tahu proses uji publik untuk itu. Menerima masukan masyarakat sebelum UU ini ditandatangani di pansus dan sebagainya.
Tanggapan MTP tentang adanya penolakan terhadap RUU Pornografi, termasuk di DPR?
Kami sangat menyayangkan sikap-sikap seperti itu, karena kalau kita mau berfikir jernih, dibanyak negara besar sekalipun mereka mempunyai regulasi soal pornografi. Mereka melihat bahwa pornografi ini adalah sesuatu yang perlu dibuat regulasinya. Kami melihat teman-teman yang menolak RUU itu juga menolak pornografi. Cuma beda pendapatnya apakah pornografi itu perlu dibuat regulasinya atau tidak. Nah ini yang dilakukan duduk bersama, utnuk melihat UU yang ada sekarang tidak akan pernah bisa efektif untuk menangani pornografi, karena ditiap UU tersebut tidak ada kata pornografi satupun. Yang ada pasal-pasal soal kesusilaan, padahal kita tahu pasal kesusilaan itu sangat debattable. Yang menurut Aceh atau melayu sudah menyinggung, tapi mungkin buat komunitas di Indonesia timur tidak menyinggung rasa susila, karena memang pakaian mereka seperti itu. Batasan susila masyarakat itu sangat sumir, sangat sulit diukur. Beda dengan pornografi yang dibanyak negara itu sudah jelas ukurannya dan sanksi pidananya, maupun administrasinya sangat jelas.
Menurut kami Indonesia sangat ketinggalan, kalau tidak ingin lebih banyak lagi anak-anak Indonesia yang kena korban pornografi, setidaknya kita harus segera mengundangkan regulasi tentang pornografi. Masalah utama sebenanya ketimbang kita mebuat opini prokontra di masyarakat tidak akan ada fungsinya, akan lebih efektif dengan melalui forum diskusi seperti ini. Kalau kita terus berantem opini yang akan diuntungkan adalah industri pornografi. Kita harus benar-benar sadar bersama-sama bahwa musuh bersama kita adalah industri pornografi, selama kita terus bertengkar, selama UU tidak pernah ada. Industri pornografi setiap detik terus memproduksi materi-materi pornografi yang kemudian dikonsumsi anak-anak dan remaja kita. Dari pada negeri habis untuk berdebat, lebih baik kita memberikan usul konkrit.
Mungkinkah dari berbagai penolakan RUU Pornografi ada industri pornografi yang mensupport mereka?
Kalau mungkin sih mungkin saja. Tapi saya tidak berani untuk menunjuk hidung cuma yang jelas dengan kekuatan uang yang demikian besar, itu sanga dimungkinkan industri pornografi memakai muka seseorang, mulut seseorang atau siapapun untuk menyampaikan kepentingannya, atau mengamankan aset bisnisnya. Karena mereka selama ini sudah merasakan lezatnya kue bisnis pornografi di Indonesia, tentu mereka tidak ingin diusik dengan lahirnya UU ini. (novel)