Sammuel Cummings, mantan agen CIA yang kemudian menjadi makelar perdagangan senjata mengungkapkan bagaimana perlombaan senjata negara-negara maju menjadi bencana bagi negara-negara berkembang dan negara-negara dunia ketiga.
“Ini hampir menyerupai sebuah mesin yang bergerak terus menerus. Kita semua mengakui bahwa perlombaan senjata merupakan sebuah bencana, dan kita semua mengakui bahwa akhirnya akan timbul konflik yang kurang lebih akan menghancurkan dunia beradab yang kita kenal ini. Persoalannya adalah, siapa yang akan mengambil langkah pertama untuk benar-benar mundur?”
Itulah pernyataan Cummings yang disampaikannya dalam sidang di Komisi Hubungan Luar Negeri Senat AS untuk wilayah Timur Tengah dan Asia Selatan, pada 13 April 1967. Cummings sendiri sudah sering terlibat sebagai makelar penjualan senjata di Afrika, Amerika Latin dan Timur Jauh.
Perjalanan sejarah membuktikan apa yang dilontarkan Cummings di hadapan Senat AS pada tahun 1967. Konflik yang terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk di Timur Tengah, sejatinya menunjukkan perlombaan senjata yang diproduksi negara-negara maju. Perlombaan senjata itu, tidak lepas dari keterlibatan para pemimpin negara-negara Arab yang membeli senjata dari Barat, dengan alasan untuk pertahanan negara maupun menjaga kelanggengan kekuasaannya.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa AS dan Inggris, dua negara produsen senjata di dunia itu, memiliki sejarah panjang ikut mempersenjatai para rezim diktator dan pemberontak di negara-negara yang menjadi kepentingannya. Alih-alih melawan teror, dengan kebijakan macam itu, AS dan Inggris malah menciptakan teror baru.
Aktivis organisasi Stop the War Coalition yang berbasis di London, Inggris Lindsey German dalam wawancara dengan Press TV membeberkan bagaimana negara-negara Barat menjadi terdepan dalam penjualan senjata, dan perang mereka mempersenjatai para rezim diktator, terutama para diktator di kawasan Afrika dan Timur Tengah yang saat ini sedang bergolak oleh revolusi rakyatnya. Berikut petikannya;
Fakta menunjukkan bahwa rezim diktator banyak yang menerima pasokan senjata, mulai dari senjata api sampai gas air mata. Senjata itu kebanyakan produksi AS dan Inggris. Mengapa negara-negara seperti AS, Inggris dan Prancis menjual senjata pada rezim diktator yang menindas rakyatnya?
Saya kira, kita harus ingat bahwa perusahaan senjata dan pemerintah yang ada dibelakan perusahaan persenjataan itu, akan mempersenjatai sebanyak mungkin orang. Perdana Menteri Inggris, David Cameron dua bulan yang lalu, setelah mengunjungi sejumlah negara saat Mesir dan Tunisia bergolak, ia mengatakan bahwa rezim di Mesir dan Tunisia adalah rezim penindas, yang menggunakan banyak persenjataan untuk menindas rakyatnya sendiri. Contohnya gas air mata, senjata yang digunakan untuk mengendalikan kerumunan massa. Ini merupakan bagian yang sangat besar dalam penjualan senjata. Kita juga harus mengingat bahwa dua penjual serta eksportir senjata terbesar di dunia adalah Inggris dan AS.
Tidakkah ini munafik, dalam kasus Libya, mereka mengecam rezim yang mereka beri pasokan senjata, dan sekarang senjata-senjata itu digunakan untuk membunuh rakyat tak berdosa. Ini menjadi lingkaran setan, dimana pasukan Barat datang ke Libya dan juga menggunakan senjata yang lebih canggih untuk melawan rezim yang telah mereka persenjatai sendiri?
Ya, ini memang agak munafik. Jika Anda melihat tiga negara terbesar yang menjadi pemasok senjata utama bagi Gaddafi ketika berkuasa Libya, mereka adalah Inggris dan Prancis. Lihatlah , bahkan Inggris dan Prancis memimpin intervensi ke Libya. Ini merupakan standar ganda total.
Selama lebih dari 40 tahun sampai sekarang, Barat dengan sangat bahagia mendukung para diktator dan pemerintahan di seluruh kawasan. Hillary Clinton (menteri luar negeri AS saat itu) mengatakan, kedua belah pihak harus menahan diri. Tapi dia tidak menyebut bahwa salah satu pihak memiliki senjata, sedangkan pihak lain tidak memiliki senjata. Clinton mengatakan hal yang sama tentang Bahrain.
Kami menyaksikan gambar-gambar yang luar biasa, dan hal itu menunjukkan bahwa tidak cukup hanya membicarakan apa yang sedang terjadi. Ketika Anda benar-benar menyaksikannya dan melihat bagaimana mengerikannya situasi ini bagi rakyat yang mengalaminya, pada yang sama, sayangnya media massa utama tidak meliput sebagaimana mestinya. Menurut Anda, apa alasan dari semua ini?
Saya kira, mudah saja bagi media massa di Inggris dan negara-negara lainnya untuk bersikap tidak peduli tentang apa yang terjadi. Apa yang kita miliki di Inggris adalah cerita-cerita tentang kekejaman yang dilakukan pasukan Gaddafi. Berita itu mungkin benar, mungkin tidak.
Tapi sebenarnya hanya satu hal yang sebenarnya sedang terjadi di kawasan. Memang ada perburuan dan serangan terhadap para demonstran oleh pasukan pemerintah. Situasi ini mengingatkan kembali pada pandangan bahwa media dan pemerintah Barat bisa memilih negara mana yang boleh dikecam dan tidak boleh dikritisi.
Apa kriterianya, mana negara yang boleh dan tidak boleh diserang? Apa faktor penentu untuk memutuskan apakah mereka akan mengudarakan sebuah berita, setiap waktu atau tidak?
Menurut saya, faktor yang menentukan adalah peranan negara-negara yang terkait dengan kebijakan luar negeri Inggris. Jika Abda melihat Libya bagi para penonton di London, pemerintah Inggris menetang Gaddafi. Inggris tahu betul bahwa Gaddafi sedang ditekan rakyatnya sendiri, dan Gaddafi memutuskan untuk melawan rakyatnya.
Inggris menginginkan sebuah pemerintahan di Libya yang pro-Barat. Jadi, saya pikir perbedaan yang mendasar adalah ada beberapa negara yang sangat bersahabat dengan Barat, dan ada yang tidak.
Lalu, peranan apa yang bisa dimainkan rakyat AS dan Inggris? Bisakah mereka menekan pemerintah negara mereka agar lebih terbuka melihat kenyataan sebenarnya yang terjadi?
Saya kira, kami berusaha sangat keras untuk bisa menekan pemerintah kami, sejak perang di Irak dan Afghanistan dimulai. Kami punya kesadaran dan sentimen yang kuat untuk menentang peperangan.
Saya perhatikan, polling-polling yang dilakukan di London menunjukkan adanya penentangan yang sangat tinggi atas intervensi asing ke Libya. Tugas kami adalah terus menerus mengkampanyekan antiperang di Timur Tengah, karena kami merasa rakyatlah yang harus menentukan untuk menciptakan demokratisasi di negara mereka masing-masing.