Teruslah bergerak, hingga kelelahan itu lelah mengikutimu, teruslah berlari, hingga kebosanan itu bosan mengejarmu, teruslah berjalan, hingga keletihan itu letih bersamamu, teruslah bertahan, hingga kefuturan itu futur menyertaimu, tetaplah berjaga, hingga kelesuan itu lesu menyertaimu. (Ustadz Rahmat Abdullah, rahimahullah)
Hanya kecintaan Arif Munandar yang begitu kuat kepada Allah Azza wa jalla yang memberinya motivasi menyelesaikan Disertasinya. Arif Munandar berhasil mempertahankan Disertasinya : “Antara Jemaah dan Partai Politik”, Dinamika Habitus Kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Dalam Arena Politik Indonesia Pasca Pemilu 2004. Selasa, 5 Juli di FISIP UI.
Arif Munandar pun sempat didera sakit dan terbaring di rumah sakit, saat ingin menyelesaikan Disertasinya itu. Ibunya, Tesmiyeti, juga begitu kuat, saat-saat menghadapi penyakit kanker, dan tetap menaruh optimisme. Ayahnya Dasril yang berdzikir tanpa putus. Isterinya Dr. Fitriany, dan putrinya semata wayangnya, Fathimah Shafiyah, semuanya turut menjadi penguatnya.
Dr. Anies Baswedan, Francisia Phd, Dr. Iwan Gardono Sujatmiko, Dr. Meuthia Gani Rochman, Dr. Linda Damayanti, dan Lugina Setyawati Phd, yang semuanya telah memberikan sumbangan berharga bagi Disertasinya itu.
Tak lupa Disertasinya itu diperkaya oleh Ustadz Abu Ridho, yang sampai Arif Munandar menitikkan air mata, saat mendengarkan penuturannya tentang PKS. Dan sejumlah nara sumbernya lainnya.
Arif Munandar berhasil mempertahankan Disertasinya di depan sidang guru besar, dan kemudian dinyatakan lulus dengan “Cumloude”. Semua guru besar yang mengujinya memberikan pujian yang tinggi kepada Arif Munandar atas karya ilmiahnya itu.
Sebuah otokritik yang sangat mendalam terhadap PKS, dan bersifat ilmiah dan sangat elegant, yang disampaikan oleh Arif Munandar melalui sebuah penelitian yang panjang. Semoga ini menjadi diskursus dikalangan pergerakan yang ingin melihat PKS dengan lebih utuh dari pandangan-pandangan Arif Munandar.
Berikut ini petikan wawancara Eramuslim dengan Doktor kelahiran tahun 1970 ini.
Eramuslim : Secara sederhana, bisa Anda jelaskan temuan Disertasi Anda tentang Habitus PKS?
Arif Munandar : PKS ini punya sejarah sebagai gerakan keagamaan yang cukup panjang. Bisa dikatakan habitusnya sangat solid. Itu sebenarnya modal yang luar biasa saat PKS masuk ke arena politik. Dia unik dan different secara internal.
Namun sayangnya kemudian dinamika internal itu justru bergerak ke arah seperti menafikan keunggulan itu. Sehingga ada upaya-upaya yang membuat kita ingin meraih kemenangan cepat tapi dengan cara bermain orang lain. Itu yang disampaikan salah satu narasumber (dalam penelitian ini) kepada saya.
Seandainya PKS itu gak usah “ngapa-ngapain”. Dia fokus ngaji aja, dia tarbiyah, dia daurah, dia baksos seperti dulu, mungkin menang dengan cara cepat tidak, tapi pasti eksis dan pasti kokoh. Karena dalam sosiologi itu hukumnya sederhana, ketika respon eksternal itu tidak kondusif, maka kekuatan internal itu harus meningkat. Yang terjadi langkah-langkah elit PKS yang mendistorsi frame itu, seperti memunculkan isu partai terbuka.
Eramuslim : PKS terbawa arus politik?
Arif Munandar : Justru saya melihatnya tarbiyah itu terkooptasi. Kader itu karena tarbiyah, dia menjadi loyal, taat, dan tsiqoh. Tapi sebaliknya elit menjadi punya ruang bermain dalam hal ini, yang sebenarnya bukan hal-hal yang agamis. Contoh ketika mulai ada suara-suara apakah uang kita masih bersih atau tidak, itukan sebenarnya pertanyaan yang profane dan tidak sakral, tapi dijawab dengan jawaban sakral, bahwa kita harus khusnudzan. Ini menjadi persoalan. Kalau tidak diperbaiki, PKS akan kehilangan keunikannya.
Saya tidak ingin ada salah faham, sebenanrnya saya dan beberapa narasumber secara personal tidak masalah dengan isu partai terbuka. Tapi persoalannya ada dua. Pertama, gagasan itu tidak di-launch atau disampaikan secara layak, jadi ada elit yang ngomong itu seakan Majelis Syura mendukung. Tapi ada elit lainnya yang mengkonter itu. Ini kan tidak mengangkat gagasan secara layak. Kader menjadi bingung. Seloyal-loyalnya kader, mereka itu manusia. Jadi kalau mau di-launching kenapa tidak dimatangkan, definisnya sama, mari kita definisikan dulu.
Oleh karena itu, kita kemudian bermain di area abu-abu. Ada seorang narasumber saya, beliau ini ahli hadits, mengatakan kalau kita bicara Sisayah Syariyyah isu nya dua, bagaimana menang, tapi tetap sesuai koridor syariat. Menang itu bisa kuantitatif, bisa juga kualitatif. Contoh Nabi Nuh (as) itu kemenangan kualitatif, tapi Rasulullah SAW selain menang secara kualitatif juga kuantitatif, karena beliau mampu mendirikan Negara.
Nah definisi taat pada Syariat itu pun ada tingkatannya. Ada aula, afdhol, ada hajar, dan daruriyat. Anda bisa bayangkan, sebenarnya kader ini kan cerdas, kebetulan ada elit yang mendefinisikan kemenangan itu dengan kuantitatif, kemenangan suara, juga mendefiniskan fiqh daruriyat pun masih oke.
Ini akan bentrok dengan kader-kader yang mendefiniskan menang itu harus dengan kualitatif dulu, yakni kemenangan dakwah dan kemudian tidak mau memakai fiqh daruriyat. Dua kubu ini pasti menjadi faksi yang berseberangan. Ini yang jadi persoalan.
Sebenarnya ini normal, faksi itu jangan dipandang negatif, hanya ia menjadi negatif kalau kultur kita belum terlalu matang. Seharusnya setelah ada perdebatan, tidak ada konsekuensi politik. Jangan karena tidak mainstream, kemudian disingkirkan. Kultur kita masih begitu.
Eramuslim : Dalam sidang tadi, Anda mengatakan ada beberapa kader terbaik yang tidak dikenal tapi kemudian disingkirkan dari struktur?
Arif Munandar : Ada dua. Dia tidak dikenal atau dianggap tidak mainstream. Ada beberapa orang di kepengurusan DPP, yang karena dianggap tidak mainstream, kemudian ditaruh di MPP atau di DSP. Padahal pada level kebijakan yang mengeksekusi itu DPP. Ada narasumber saya mengatakan itu kan sebenarnya pembuangan. Dan orang-orang (yang tersingkir) itu saya interview, mereka memang orang-orang independen.
Ditambah lagi di PKS itu ada kultur murid dan guru. Bagaimana pun hal itu tidak bisa dilepaskan, karena banyak positifnya. Tapi ketika menjadi organisasi publik seperti PKS, kultur itu banyak negatifnya. Kalau Anda guru saya, Anda murabbi, Anda ustadz saya, kita sama-sama pengurus DPP, saya gak setuju sama Anda, it’s impossible saya bicara. Gak mungkin saya mendebat. Nah, kultur-kultur itu harus segera dibereskan. Makanya dalam kultur paternalistik itu, gak mungkin perubahan datang dari bawah. Muraqib Am, Ustadz Hilmi Aminuddin, harus dengan tegas mengatakan saya harus berubah, dan itu harus dimulai dari beliau dengan mengatakan saya menolak dipilih kembali. Atau beliau boleh dipilih kembali tapi ada wakil pengurus harian.
Eramuslim : Publik bertanya-tanya apakah jangan-jangan memang beliau ingin menjabat seumur hidup?
Arif Munandar : Banyak spekulasi. Tapi yang nama spekulasi susah dibuktikan. Bisa jadi memang tidak ada calon lain.
Eramuslim : Kalau DR. Hidayat Nur Wahid bagaimana?
Arif Munandar : Nah persoalannya, lagi-lagi adalah masalah gaya. Doktor Dayat adalah sosok yang sangat independen. Istilahnya dengan atau tanpa partai dia tetap bisa eksis. Ditambah lagi orang seperti Doktor Dayat itu tidak mencari “makan” di partai. Dapat amanah dikerjakan, tidak dapat amanah ya beliau mengerjakan tugas yang lain. Jadi memang agak lain dengan faksi lainnya yang memang ada yang “hidup” dari partai.
Eramuslim : Dalam Disertasi, Anda belum menjelaskan realita beberapa kalangan Astatidz yang pergi meninggalkan PKS. Tanggapan Anda?
Arif Munandar : Persoalannya ada pada dua sisi. Ada orang yang tidak setuju tapi bersikap seperti Ustadz HNW, Kang Harna, Ustadz Musholi, dan Ustadz Abu Ridho, yang tetap berada di dalam untuk fight. Tapi ada orang yang memilih jalan lain yang keluar atau membuat mereka dikeluarkan. Ada seorang narasumber saya membuat analogi, ‘ini kan rumah kita, kalau Anda keukeuh ada orang jahat di rumah kita, masak kita yang kabur. Orang jahatnya dong yang kita usir. Kalau kita masih yakin ada orang baik di rumah kita, ya kita dukung jangan pergi.’
Eramuslim : Tapi kalau memang disuruh pergi, bagaimana?
Arif Munandar : Menurut saya kurang taktis saja. Saya punya prinsip begini, rumah kita bagus, namun kadang kadang yang salah orangnya. Jadi kalau mau ditembak ya orangnya. Ada salah seorang narasumber berkata kepada saya, ‘saya tidak pernah mau berbenturan dengan struktur, tapi jika ada kader yang ngaco, ya saya sikat’. Saya pikir itu sikap yang baik.
Eramuslim : Anda sendiri di struktur?
Arif Munandar : Saya belum pernah sampai di struktur. Saya ini nobody di PKS. I am part of the system, but i am no body.
Eramuslim : Dalam perkembangannya PKS begesekan dengan beberapa ormas dalam kasus partai terbuka, karena merekrut anggota non muslim. Tanggapan Anda?
Arif Munandar : Menurut hemat saya sebenarnya ceruk pemilih PKS cukup baik. Tapi di mana-mana jika kita bingung dengan identitas kita sendiri, maka orang luar akan lebih bingung lagi. Dan yang membingungkan itu tidak akan dipilih lagi. Akhirnya kita oleh orang sekuler tidak dipilih, dan oleh orang Islam yang kuat juga tidak dipilih.
Ada seorang narasumber saya memberikan pernyataan yang cukup baik, ‘Kita ini katanya partai dakwah, harusnya milik umat. Tapi sudahkah kita menjadi partai umat? Dekat nggak kita dengan NU, dekat nggak kita dengan Muhammadiyyah, Persis dan Hizbut Tahrir?’
Partai Dakwah itu yang pertama kali dirangkul harusnya adalah ukhuwah. Upaya formal sudah ada, karena sekarang di ada bidang Pembinaan Umat di DPP PKS untuk membangun relasi dengan ormas-ormas Islam. Tapi saya pikir itu belum cukup. Karakter partai ini harus membuat dia nyaman buat kaum muslimin dari berbagai kelompok.
Eramuslim : Beberapa kalangan meminta PKS kembali ke khittah era 80-an, sebagian lain meminta tetap jalan dengan Demokrasi seperti saat ini? Tanggapan Anda?
Arif Munandar : Dua-duanya tidak realistis. Sunnatullah kalau dunia berubah, kalau kita tidak berubah, maka kita wafat. Tapi berubah pun jangan berubah jatidiri. Jadi hemat saya, kalau mau mem-benchmark AKP monggo. Wacana yang diusung wacana objektif, wacana kebenaran global, kesejahteraan, keadilan, dan sebagainya. Saya pernah mengatakan secara ekstrem, kalau secara formal kita tidak lagi mencantumkan kata Islam, selama tarbiyah masih jalan, itu no problem. Jadi ke depan menurut saya, jalan tengah itu adalah jalan yang terbaik.
Eramuslim : Dari analisa Anda, bagaimana peluang PKS di 2014?
Arif Munandar : Saya agak worry sebenarnya. Demokrat harusnya bersykur, dia dioyok-oyok sekarang. Tiga tahun sebelum pemilu, saya yakin orang sudah lupa di 2014.
Mari kita berdoa, supaya tidak ada trouble lagi dalam 6 bulan sebelum Pemilu. Kalau sampai ada trouble lagi wassalam. Peluang PKS sebenarnya masih ada. Tapi segeralah bereskan tiga hal. Yang pertama mesti dibereskan adalah soilidaritas internal. Bohong kita bisa menang tanpa solidaritas internal. Dia hanya bisa dibereskan kalau kita duduk satu meja kembali, sepakati lagi bagaimana nilai dan wajah kita.
Perbaiki tarbiyah, karena kita tidak bisa menafikkan keunggulan kita selama ini ya itu. Saya punya pengalaman menarik, saya sudah lama gak membina. Dulu saya membina cuma empat orang, namun dalam waktu singkat bisa menjadi sampai 60 orang. Yang saya kumpulkan orang-orang yang sebelumnya pernah lepas. Saya bertanya-tanya jika kampus seperti UI kenapa banyak kader yang lepas? Usut punya usut karena astatidz itu lebih sibuk dengan partainya. Tarbiyah harus ditingkatkan kualitasnya, modul kita masih 80-an, yang ada materi politik, tapi tidak ada materi itiqadiyah. Akhirnya kita berpolitik mengikuti cara orang lain, karena tidak diajari. Jadi muwashofat tarbiyah itu harus in line dengan tuntutan public.
Kedua, identitas koletifnya harus diperjelas. Ketiga kita harus segera menginisiasi munculnya tokoh, yang kedalam bisa membangun soliditas, keluar bisa menjadi representasi cultural PKS. Dan tokoh itu sekarang tidak ada. Sebenarnya sempat ada, tapi tidak di-maintenance.
Saya menyayangkan, dulu tahun 2004 starting point SBY dengan Hidayat Nur Wahid tidak ada jauhnya. Tapi kenapa tahun 2009 gap diantara mereka sekarang terlalu besar. Persoalannya yang satu di-maintenance, dan yang satu tidak. Itu saja.
Eramuslim : Pesan buat kader PKS?
Arif Munandar : Be your self. Ikan itu tidak akan bisa hidup di luar air. Kita harus bangga dengan siapa kita. Gak perlu lah bermain dengan cara orang lain.
Eramuslim : Jadi kembali ke Asholah?
Arif Munandar : Iya kembali ke asholah tapi dengan cara yang cerdas. Yang berubah jangan isinya, tapi bungkusnya. (mzs/m/pz)