eramuslim.com – Komunitas Yahudi di Eropa menolak keras serangan besar-besaran Israel terhadap Palestina. Jonathan Ofir, salah satu orang Yahudi yang mengecam perang Israel di Palestina.
Dia khawatir, dukungan negara-negara Barat terhadap Israel membuat negara itu akan melakukan pembantaian besar-besaran terhadap rakyat Palestina. Israel menyerang besar-besaran Jalur Gaza untuk membalas penyerbuan oleh Hamas pada 7 Oktober 2023.
“Artinya, lampu hijau bagi Israel untuk melakukan pembantaian yang jauh lebih besar daripada yang telah dilakukan oleh Hamas,” kata musisi, konduktor, dan penulis Yahudi itu.
Lebih dari 1.400 orang tewas di Israel dalam serangan Hamas, yang mendorong Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyatakan perang terhadap kelompok bersenjata Palestina. Kampanye pemboman yang brutal dan tak henti-hentinya dilakukan oleh Israel telah menewaskan lebih dari 5.100 orang di Jalur Gaza.
Sebagian besar wilayah Jalur Gaza menjadi puing-puing hanya dalam waktu dua minggu. Sebuah LSM Palestina melaporkan bahwa pemboman Israel di Gaza secara tragis telah merenggut nyawa satu anak Palestina setiap 15 menit sejak dimulainya konflik.
Ofir adalah seorang aktivis pro-Palestina yang lahir di Israel. Ia tinggal di ibu kota Denmark, Kopenhagen. Ofir adalah satu di antara banyak orang Yahudi yang tinggal di Eropa yang kritis terhadap kebijakan Israel. Ia telah bergabung dalam protes yang meledak di seluruh benua terhadap serangan yang sedang berlangsung di Gaza.
Dari Glasgow hingga London, Paris hingga Barcelona, banyak yang bergabung dalam aksi unjuk rasa pro-Palestina untuk mengekspresikan solidaritas terhadap masyarakat di wilayah kantong yang diblokade.
Mereka mewakili minoritas vokal Yahudi yang terus memperjuangkan hak-hak masyarakat yang telah hidup di bawah pendudukan Israel selama beberapa generasi, yaitu masyarakat Palestina, sama seperti yang mereka alami selama beberapa dekade.
“Israel mengklaim orang-orang Yahudi sebagai aset nasionalnya, dan mereka mempersenjatai kami sebagai orang Yahudi, baik sebagai badan dalam pertarungan demografis melawan non-Yahudi dan khususnya orang Palestina, dan secara ideologis sebagai perwakilan negara Yahudi, dan berupaya melakukan hal itu terhadap orang-orang Yahudi di seluruh dunia,” kata Ofir.
“Klaim tersebut, pada gilirannya, menjadikan kami sebagai tameng manusia bagi negara, ketika mereka menyerang warga Palestina di bawah agenda penjajah pemukim, baik melalui pembersihan etnis yang sedang berlangsung, melalui pengepungan, atau melalui pembantaian musiman.”
Orang Yahudi lainnya adalah Naama Farjoun, Ia dibesarkan di Yerusalem, namun menggambarkan dirinya sebagai seorang Yahudi anti-Zionis. Pada Januari 2001, dia meninggalkan Israel, hanya beberapa bulan setelah pecahnya Intifada kedua. Saat ini, pria berusia 54 tahun itu tinggal di pinggiran Valencia, Spanyol.
“Saya meninggalkan (Israel) karena saya tidak sanggup menanggung beban menjadi warga negara (Israel) yang memiliki hak istimewa di negara yang rasis,” kata ibu dua anak ini.
Ia mengatakan bahwa setiap hari ia marah dengan pendudukan Israel dan diskriminasi terhadap warga Palestina yang juga sesama warga negara.
Farjoun mengatakan bahwa serangan Hamas terhadap Israel membawa kesedihan yang luar biasa.
“Menyebabkan penderitaan yang tidak dapat ditanggung oleh siapa pun,”ujarnya.
“Saya yakin peristiwa tragis saat ini adalah akibat langsung dari pelecehan, penindasan, kekerasan, dan perampasan selama bertahun-tahun yang dilakukan oleh Israel.”
Hingga saat ini, petisi Suara Yahudi untuk Perdamaian yang menyerukan diakhirinya segera serangan Israel di Gaza, telah mengumpulkan lebih dari 1.300 tanda tangan dari warga Israel yang tinggal di Israel, Palestina, dan luar negeri.
“Sebagai seorang Yahudi, dan khususnya sebagai seorang Yahudi Israel, saya merasa wajib untuk mengatakan bahwa ini bukan atas nama saya, dan saya akan melawannya,” ujar Ofir.
“Karena kebebasan, keadilan dan kesetaraan bagi warga Palestina adalah sebuah kebutuhan, dan jika kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, hal ini tidak hanya akan merugikan mereka, namun juga akan menghantui orang-orang Yahudi.”
(Sumber: Tempo)