Batasan Hubungan dengan Tetangga yang Beragama Lain

Tak Berkategori

Pak Ustadz Yth.,

Assalammualaikum wr. wb.

Batasan apa saja yang perlu diperhatikan dalam berhubungan dengan tetangga yang beragama lain? Sebagai contoh dalam hal tolong menolong. Misalkan si tetangga minta diantar ke rumah sakit, minta tolong jemput mertua ke bandara (kadang kadang sekali).

Apabila si tetangga tersebut melahirkan, boleh atau tidak kalau kita menjenguk dan memberi kado berisi pakaian bayi atau sebangsanya (hal seperti ini sering kami lakukan terhadap tetangga sesama muslim atau kerabat jauh)?

Demikian, atas atas terjawabnya pertanyaan ini saya ucapkan terima kasih.

Wassalammualaikum wr. wb.

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarkatuh,

Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin, bukan agama eksklusif dan ‘ashabiyah. Manfaat agama Islam tidak terbatas hanya kepada pemeluknya saja, tetapi juga buat pemeluk agama selain Islam.

Di sisi lain, tidak semua orang non muslim itu harus diperangi. Mereka yang termasuk kafir harbi memang wajib diperangi, akan tetapi mereka yang termasuk ahlu zimmah, yang tinggal dengan rukun dan damai bersama sesama umat Islam, haram hukumnya untuk diganggu, diperangi atau dilecehkan. Bahkan sudah menjadi kewajiban bahwa umat Islam wajib membantu mereka, serta menghormati hak-hak mereka.

Sebagai tetangga, tidak mentang-mentang agamanya bukan Islam, lantas tetangga kita itu kita cabut hak-haknya dari hak sebagai tetangga. Sebaliknya, kita harus berbagi dengan mereka, baik dalam kebahagian maupun dengan dalam masalah materi.

Kalau kita punya makanan yang lebih, tidak ada salahnya bila kita hadiahkan kepada mereka. Sebagaimana kita pun tidak haram bila menerima pemberian makan mereka. Selama tidak ada maksud-maskud yang tercela di balik kebaikan mereka, seperti ingin memurtadkan atau menikah beda agama.

Anjuran untuk Menyantuni Orang Kafir

Menyatuni orang kafir zimmi yang hidup damai dengan muslimin dengan harta sedekah hukumnya boleh, bahkan dianjurkan. Dasarnya adalah firman Allah SWT berikut ini:

لا يَنْهَاكُمُ اللهُ عَنِ الذينَ لَمْ يُقاتِلُوكُمْ في الدِّينِ ولَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أنْ تَبَرُّوهُمْ وتُقْسِطُوا إلَيْهِمْ إنَّ اللهَ يُحِبُّ المُقْسِطِينَ

Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS Al-Mumtahanah: 8)

Selain ayat Al-Quran di atas, dasarnya juga riwayat di mana Rasulullah SAW memerintahkan kepada iparnya, Asma’ binti Abu Bakar agar menyambung tali silaturrahim dengan ibunya yang saat itu bukan muslim. Caranya dengan memberikan santunan dan bantuan material kepadanya.

Sebagian Ulama Membolehkan Memberi Zakat kepada Orang Kafir

Ada khilaf di antar ulama tentang kebolehan memberi harta zakat kepada orang kafir zimmi. Meski jumhur ulama berpendapat bahwa zakat itu hanya boleh untuk umat Islam saja, namun sebagian ulama seperti Abu Hanifah, Az-Zuhri dan Muhammad bin Syrubmah berpendapat bahwa boleh hukumnya memberi zakat fitrah kepada orang kafir.

Mereka berpendapat demikian, selain berdasarkan ayat Quran di atas, juga meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah memberikan harta dari baitul-mal kepada orang kafir. Yaitu harta zakat yang dikumpulkan dari kaum muslimin. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat berikut ini:

روى ابن أبي شيبة عن أبي ميسرة: أنه كان يعطي الرهبان صدقة الفطر المصنف: 39/4

Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Abi Maysarah bahwa Rasulullah SAW memberikan para rahib (pemuka agama lain) zakat fitrah. (Al-Mushannaf: 4/39)

Kebolehan memberi harta zakat buat orang kafir karena alasan bahwa orang kafir itu termasuk mustahiq zakat juga. Yaitu selama pada diri orang kafir itu ada kriteria mustahiq zakat.

Misalnya, orang kafir itu miskin dan fakir. Maka setelah fakir miskin dari kalangan muslimin mendapatkan pembagian harta zakat, giliran berikutnya tentu saja fakir miskin dari pemeluk agama selain Islam. Kemiskinan dan kefakiran mereka telah membuat mereka menjadi mustahiq zakat, meski pun agama mereka bukan Islam.

Muallaf Non Muslim Mendapat Zakat

Dari sisi lain, Rasulullah SAW juga pernah memberi harta zakat kepada orang kafir yang bukan miskin. Sebab mereka termasuk kriteria ‘wal mu’allafati qulubuhum’, yaitu orang-orang yang dilunakkan hatinya.

Selama ini kita seolah membatasi bahwa asnaf mu’allaf itu hanya buat mereka yang sudah masuk Islam, padahal di masa lalu, mereka yang belum masuk Islam pun berhak menerima, bila dipertimbangkan akan membawa manfaat.

Bahkan mereka yang sulit diharapkan masuk Islam lantaran kerasnya permusuhan dan selalu mengusik ketenangan kaum muslimin, oleh Rasulullah SAW pun diberi juga. Targetnya mungkin bukan untuk masuk Islam, tetapi sekedar bisa melunakkan sikap kasarnya kepada umat Islam. Itu pun sudah termasuk kriteria wal muallafati qulubuhum. Mereka boleh diberikan harta dari dana zakat, sebagaimana Al-Quran telah menetapkannya.

Ibnul Munzir berkata,"Umumnya para ulama sepakat (ijma’) bahwa zakat tidak boleh diberikan kepada orang kafir, namun dikecualikan bila dia termasuk al-muallafati qulubuhum."

Maka kalau zakat boleh diberikan kepada mereka, apalagi masalah hadiah, bantuan, santunan dan lainnya. Tentu saja hukumnya boleh dan juga berpahala.

Tetapi tentu saja selama dipertimbangkan bahwa semua itu akan membawa manfaat buat kepentingan Islam. Misalnya, hati mereka semakin terpaut dan tertarik serta bersimpati kepada umat Islam. Karena mereka tidak dikucilkan dan dibeda-bedakan. Siapa tahu suatu saat Allah SWT akan memberikan hidayah kepada mereka, lewat sikap santun kita kepada mereka.

Kalau para misionaris berhasil membujuk jutaan umat Islam murtad dan masuk agama mereka, lewat berbagai macam bujukan dan bantuan kemanusiaan, maka sesungguhnya di dalam syariat Islam pun diberikan ruang untuk ‘membujuk’ mereka agar masuk Islam. Meski pun kita tidak menamakannya dengan istilah menyogok, tetapi melunakkan hati orang kafir termasuk bagian dari cara dakwah yang efektif dan dianjurkan. Bahkan meski harus lewat pemberian materi.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarkatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.