Bantuan PBB Dipotong, Muhajirin Rohingya Makin Terancam Kelaparan dan Kekerasan

Eramuslim.com – PBB baru-baru ini memotong bantuan makanan untuk Muhajirin Rohingya di Bangladesh. Para pengamat khawatir hal ini akan menyebabkan masalah kesehatan yang parah dan meningkatnya kejahatan.

Ada sekitar 1 juta Muhajirin Rohingya di kamp pengungsian kumuh Cox’s Bazar di pantai tenggara Bangladesh. Mereka adalah orang-orang yang menyelamatkan diri dari tindakan keras militer Myanmar tahun 2017, yang menyebabkan salah satu krisis kemanusiaan terburuk di dunia.

Bangladesh memang telah menjadi “tuan rumah” bagi Muhajirin Rohingya. Namun, pemenuhan kebutuhan para pengungsi sebagian besar dibantu oleh lembaga-lembaga kemanusiaan. Belakangan ini, lembaga-lembaga tersebut mengurangi kucuran bantuannya.

Misalnya, Program Pangan Dunia (WFP) yang harus menghentikan bantuan karena defisit dana $125 juta. Organisasi PBB itu mengatakan, mulai bulan Maret 2023, voucher makanan bulanan akan dikurangi dari $12 menjadi $10 per orang. Selanjutnya, mungkin akan ada lebih banyak pemotongan lagi jika dana yang masuk ke lembaga itu tidak ada peningkatan.

Tidak Pernah Cukup

Di kamp-kamp Muhajirin Rohingya di Bangladesh kini telah marak adanya malnutrisi, anemia, dan kekurangan gizi. Sekitar 65% populasi di kamp pengungsi adalah anak-anak dan perempuan. Banyak pihak khawatir, pengurangan bantuan itu akan berdampak semakin buruk.

Ambia Perveen, salah satu pendiri Rohingya Medics Organisation, yang menyediakan perawatan medis di kamp-kamp pengungsi, mengatakan kepada DW bahwa pemotongan tersebut akan memengaruhi setiap orang Rohingya di Bangladesh.

“Makanan yang diberikan sebelumnya tidak pernah cukup, dan sekarang akan lebih banyak memengaruhi, terutama anak-anak, orang lanjut usia, ibu hamil, dan orang-orang dengan penyakit kronis,” katanya.

Lebih lanjut Perveen mengatakan, “Ada kekurangan gizi yang sangat besar di antara anak-anak di bawah lima tahun. Juga kasus hepatitis C yang parah, dan wanita hamil yang anemia.”

Mohammad Mizanur Rahman, komisioner bantuan dan repatriasi pengungsi Bangladesh, mengatakan bahwa pemerintah Bangladesh tidak dapat memenuhi kekurangan anggaran. Ia pun mendesak donor internasional untuk terus mendukung mereka.

“Tidak mungkin Bangladesh memikul beban menampung masyarakat sendirian. Masyarakat internasional telah memainkan peran penting, seharusnya tidak mengurangi dukungannya dan mengalihkan fokusnya ke tempat lain,” ujarnya.

Meningkatnya Kekerasan

Salah satu sebab pemotongan bantuan makanan adalah karena terjadi peningkatan kekerasan di kamp-kamp pengungsi. Para pengamat khawatir keamanan akan semakin tidak stabil.

Tercatat ada sejumlah bentrokan terkait narkoba dalam beberapa bulan terakhir. Akibatnya, banyak tokoh masyarakat yang tewas. Lembaga penegak hukum sedang menyelidiki serangkaian pembunuhan tersebut.

Ketegangan juga meningkat di sepanjang perbatasan Bangladesh-Myanmar. Hal ini antara lain disebabkan oleh meningkatnya aktivitas ilegal, seperti penyelundupan narkoba dan senjata.

Rezaur Rahman Lenin, seorang peneliti Rohingya yang berbasis di Cox’s Bazar, mengatakan bahwa pihak berwenang Bangladesh harus segera meningkatkan keamanan dan memperbaiki manajemen di kamp-kamp tersebut.

“Mengingat bahwa pemerintah Myanmar tidak akan membiarkan orang-orangnya pulang dan pengungsi Rohingya di kamp-kamp menjadi lebih rentan, maka sungguh mengejutkan jika PBB memotong dana kemanusiaan yang penting ini,” katanya.

“Setidaknya 25 orang tewas dalam lima bulan terakhir di kamp-kamp tersebut. Banyak dari mereka adalah tokoh masyarakat Rohingya. Orang-orang yang dibunuh itu dipilih karena mereka mendukung hak, keamanan, dan kesejahteraan orang-orang Rohingya dan kepulangan para pengungsi. Banyak dari mereka dibunuh karena membantu polisi dalam menghentikan aktivitas kriminal.”

Jasmin Lorch, dari GIGA Institute for Asian Studies yang berbasis di Hamburg, mengatakan bahwa pemotongan itu akan memperburuk ketegangan di kamp-kamp yang penuh sesak.

“Meskipun tidak ada hubungan satu lawan satu antara kekurangan dan kejahatan, meningkatnya kelaparan dan frustrasi dapat menyebabkan lebih banyak orang terlibat dalam perdagangan narkoba untuk mengamankan mata pencaharian mereka. Perampasan, frustrasi yang meningkat, dan perasaan ditinggal sendirian juga dapat memicu konsumsi obat-obatan.”

Kelompok parlemen Jerman-Asia Selatan–yang berkunjung ke Bangladesh pada Februari lalu–merekomendasikan bahwa setelah ada pemotongan, maka Bangladesh harus mengizinkan Muhajirin Rohingya untuk bekerja, supaya tidak bergantung pada bantuan. Kelompok tersebut juga merekomendasikan agar anak-anak diberi akses pendidikan yang lebih baik.

“Pengungsi harus memiliki kesempatan untuk mengembangkan diri,” kata Renate Kunast, ketua kelompok parlemen, kepada wartawan di ibu kota Bangladesh, Dhaka.

“Anak-anak Rohingya harus mendapatkan pendidikan, dan para pengungsi dewasa harus dapat memperoleh penghasilan sehingga mereka dapat membayar kebutuhan pokok mereka,” kata Kunast.

Menurut Lorch, rekomendasi itu tidak hanya akan memungkinkan para pengungsi untuk meningkatkan mata pencaharian mereka, tetapi juga akan memberi prospek yang baik di Bangladesh.

Solusi Repatriasi

Namun, pemerintah Bangladesh sepertinya sulit menerapkan proposal seperti itu. Bagaimanapun mereka tetap menginginkan agar pengungsi pergi.

“Akan tetapi, pengembalian Rohingya yang aman ke Myanmar tampaknya tidak mungkin dilakukan dalam waktu dekat, terutama sejak kudeta militer Februari 2021,” kata Lorch.

“Prioritas pemerintah Bangladesh tidak pernah integrasi, namun repatriasi (pengembalian ke tanah air asal). Repatriasi dianggap satu-satunya solusi untuk masalah ini,” kata Mohammad Mizanur Rahman.

Dia mengatakan, sebagian besar Muhajirin Rohingya di Bangladesh hanya bisa bekerja sebagai petani atau nelayan, dan jumlahnya sudah cukup banyak. Bisa saja akan ada keresahan sosial yang lebih luas jika para pengungsi diizinkan bekerja.

Mohammad menambahkan, anak-anak Rohingya telah memiliki “akses pendidikan di kamp”. Namun, sekolah darurat itu tidak diperbolehkan mengajarkan kurikulum Bangladesh atau bahasa utama Bangladesh, Bengali. Mereka terikat untuk mengikuti kurikulum Myanmar, sebab nantinya anak-anak tersebut diharapkan akan meninggalkan Bangladesh dan kembali ke kampung halamannya semula.

[sumber: sahabat al aqsha]