Ungkapan ‘emerging market’ mengacu pada negara berkembang di Afrika, Amerika Latin, atau Asia. Sementara ekonomi besar seperti AS, Inggris, dan Jepang cenderung memiliki standar hidup yang lebih tinggi dan sistem keuangan yang lebih maju.
Selama krisis ekonomi, investor cenderung menjual aset berisiko, seperti mata uang atau saham pasar berkembang, dan berpegang pada yang lebih aman, seperti dolar AS atau obligasi pemerintah yang dikeluarkan oleh negara-negara besar.
Ekonom Senior Tiongkok di Capital Economics, Julian Evans Pritchard mengatakan, negara-negara yang bergantung pada uang dari luar negeri dan memiliki arus masuk dana asing ke pasar saham dan obligasi mereka, khususnya berisiko tertular. “Risikonya adalah bahwa ketika sentimen berubah lebih negatif, investor asing mulai menarik dana tersebut, yang berdampak pada nilai tukar,” katanya.
Untuk negara-negara yang meminjam banyak dalam mata uang asing, biasanya dalam dolar AS, ini dapat menyulitkan mereka untuk membayar utang mata uang asing mereka. Itulah yang terjadi pada 1997 selama krisis keuangan Asia.
Di Asia, baik India dan Indonesia sangat bergantung pada aliran masuk modal asing, itulah sebabnya mata uang mereka sangat menderita. India, negara pengimpor minyak, telah melihat tagihan impornya meningkat seiring dengan harga minyak yang lebih tinggi dan ini telah menyebabkan defisit neraca berjalannya semakin melebar.
Menurut Kepala Ekonom Asia Pasifik untuk IHS Markit, Rajiv Biswas, Negara yang menjalankan defisit neraca berjalan mungkin bergantung pada arus masuk uang asing untuk membiayai pengeluaran dan investasi. Indonesia memiliki cadangan devisa yang rendah dan tingkat kepemilikan asing yang tinggi di pasar saham dan obligasi lokal. Ini membuatnya sangat rentan terhadap investor saat menarik uang mereka keluar dari negara.