Menurut Sunarto, istilah halalbihalal kemudian masuk dalam kamus Jawa-Belanda karya Dr. Th. Pigeaud yang terbit tahun 1938. Persiapan penyusunan kamus itu dilakukan di Surakarta pada 1926 atas perintah Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 1925.
Pada huruf A dapat ditemukan kata “alal behalal”: “de complimenten (gaan, komen) maken (vergiffenis voor fouten vragen aan ouderen of meerderen na de Vasten (Lebaran, Javaans Nieuwjaar) vgb. Artinya “dengan salam (datang, pergi) untuk (memohon maaf atas kesalahan kepada orang lebih tua atau orang lainnya setelah puasa (Lebaran, Taun Baru Jawa).”
Selain itu pada urutan huruf H terdapat kata “halal behalal”: “de complimenten (gaan, komen) maken (wederzijds vergiffenis vragen bij Lebaran, vgb).Artinya kurang lebih “dengan salam (datang, pergi) untuk (saling memaafkan di waktu Lebaran).”
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘halalbihalal’ diartikan sebagai hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan, biasanya diadakan di sebuah tempat oleh sekelompok orang.
Sementara Ensiklopedi Indonesia, 1978, menyebutkan ‘halalbihalal’ berasal dari bahasa Arab yang tidak berdasarkan gramatikanya yang benar sebagai pengganti istilah silaturahmi.
Pendapat lain dipaparkan situs Nahdlatul Ulama Purbalingga. Merujuk paparan KH Fuad Hasyim (alm) dari Buntet, Cirebon, pada acara halalbihalal di Ponpes Mambaul Ulum Tunjungmuli, Purbalingga, 12 Desember 2002, penggagas istilah ‘halalbihalal’ adalah KH Wahab Chasbullah.