Di Taman Sriwedari kota Solo, pada Maleman, acara keramaian di malam bulan puasa, ada penjual martabak bangsa India. Khusus pada hari Lebaran, dia berjualan di luar taman di depan pintu keluar penonton. Dia dibantu oleh seorang pribumi yang bertugas mendorong gerobak dan mengurusi api penggorangen.
“Untuk menarik perhatian pembantu itu berteriak ‘martabak Malabar, halal bin halal, halal bin halal’ terus-menerus sehingga setiap penonton yang melalui gerbang itu pasti mendengarnya,” kenang Sunarto.
Tidak ayal lagi, dia melanjutkan, anak-anak dan anak-muda sepulangnya dari Sriwedari ikut berteriak, “martabak, martabak, halalbehalal di sepenjang jalan menirukan penjual martabak itu.”
Waktu itu, kemungkinan martabak adalah makanan baru dan untuk menarik pembeli Muslim disebutlah bahwa martabak adalah halal.
Perkataan halalbehalal atau alalbalal menjadi populer di kalangan masyarakat Solo. Pergi ke Sriwedari di hari Lebaran disebut berhalalbalal; pergi keluar berpakaian rapi di hari Lebaran disebut berhalalbalal; dan pergi silaturahmi pada hari Lebaran, biasanya berpakain rapi, disebut berhalalbalal. Semula acara halalbihalal hanya berupa selamat datang dari pihak penyelenggara, disusul pertunjukan dan makan bersama.