Ambisi Cina Dominasi Asia Tenggara

Adapun di Filipina situasinya tidak berbeda. Negeri yang berseteru dengan Cina ihwal Kepulauan Spratly itu belakangan malah melunakkan sikap demi kepentingan ekonomi. Atas kebijakannya itu Presiden Rodrigo Duterte banyak mendapat tekanan di dalam negeri.

Terutama insiden penenggelaman kapal nelayan Filipina oleh Pasukan Perbatasan Cina di sekitar Reed Bank yang termasuk Zona Ekonomi Ekslusif milik Filipina. Sebuah jajak pendapat yang digelar Social Weather Stations pada November silam menemukan tingkat kepercayaan publik Filipina terhadap Cina berada di titik terendah.

Menurut Salvador Panelo, Jurubicara Kepresidenan, hasil survei tersebut “sudah diperkirakan dan bisa dimengerti,” menyusul “konflik” di Laut Cina Selatan.

“Tapi Cina, seperti negara lain, suatu saat akan diterima oleh masyarakat karena kebijakan luar negeri oleh Presiden Duterte yang independen dan menghasilkan keuntungan signifikan bagi warga Filipina.”

Menurut Bank Sentral Filipina, nilai investasi langsung dari Cina melonjak tajam dari USD 570.000 pada 2015 saat Duterte mulai berkuasa, menjadi USD 200 juta pada 2018.

“Duterte membenahi hubungan ekonomi dengan Cina. Tapi dia juga mewaspadai ongkos politik jika berhubungan terlalu dekat,” kata Carla Freeman, Direktur John Hopkins School of Advanced International Studies.

Vietnam adalah satu-satunya negara seteru Cina di LCS yang paling getol mempertahankan klaimnya atas kawasan perairan tersebut. Namun negeri Komunis itu juga menjadi korban strategi kebijakan luar negeri Beijing, yakni “temani yang jauh, serang yang dekat,” kata Vuving.

Hubungan kedua negara banyak diwarnai ketegangan seputar Laut Cina Selatan dan konflik air seputar eksploitasi sungai Mekong. Namun pada saat yang bersamaan kedua negara juga menikmati hubungan ekonomi yang berkembang pesat. Sejak 2015, Cina menggandakan investasinya di Vietnam yang mencapai USD 217 miliar pada 2017.