Menyusul serangkaian gempa bumi yang mengguncang Turkiye dan Suriah, lebih dari 16.800 Muhajirin Suriah yang tinggal di Turkiye telah membuat keputusan untuk menyeberangi perbatasan guna kembali ke Suriah, tanpa ada kejelasan status mereka jika hendak kembali ke Turkiye lagi.
Sampai ditulisnya berita ini, Reuters melaporkan bahwa lebih dari 47.000 orang tewas dalam gempa tersebut, dan diperkirakan sekira 1.500 dari mereka adalah Muhajirin Suriah di Turkiye.
Sejak awal perang Suriah berkecamuk pada 2011, Turkiye telah menjadi tuan rumah bagi sekira 3,5 juta Muhajirin Suriah. Banyak dari mereka tinggal di dekat perbatasan di Turkiye selatan.
Sekarang, setelah gempa dahsyat mengguncang, 16.800 lebih di antara mereka dilaporkan kembali ke Suriah.
“Lari dari Kematian Menuju Kematian yang Lain”
Salah satu Muhajirin Suriah yang tinggal di Turkiye adalah Mustapha, 26 tahun. Bangunan tempat tinggal keluarganya runtuh menjadi puing-puing akibat gempa tanggal 6 Februari lalu.
Ia kehilangan adik perempuan dan keluarganya yang hingga 14 Februari belum ditemukan. Menyisakan Mustapha bersama ayah dan ibunya, serta kakak perempuan dan keluarganya yang bertahan di tenda yang disediakan oleh Palang Merah Turkiye.
Namun, seperti ribuan Muhajirin lainnya, dengan nyaris tak ada lagi yang tersisa dari kehidupan yang telah mereka bangun sebagai pengungsi di Turkiye, mereka merasa tak punya pilihan lagi selain kembali ke Suriah.
Pada awalnya, Mustapha memberi tahu bahwa dia berpikir untuk mencoba bermigrasi ke Eropa. Tetapi, setelah penyelundup manusia mengatakan kepadanya bahwa biayanya sekira €4,000 (lebih dari 64,5 juta rupiah) per orang, atau sekira €40,000 (lebih dari 645 juta rupiah) untuk seluruh keluarganya, ia langsung mengurungkan niatnya itu.
Keluarga tersebut, yang berasal dari Aleppo, mempertimbangkan apakah mereka harus kembali ke Suriah atau tidak, karena mereka merasa semakin tidak diterima di Turkiye.
Meski begitu, ibu Mustapha mengatakan kepada Info Migrants bahwa dia tidak ingin kembali.
“Itu hanya lari dari kematian menuju ke kematian yang lain,” ucapnya.
Haruskah Kami Tinggal di Jalanan Bersama Anak-anak Kami?
Akan tetapi, bagi 16.800 Muhajirin Suriah yang dilaporkan kembali ke tanah air mereka, hal itu dirasa sebagai satu-satunya pilihan.
Pada hari Senin, 20 Februari, organisasi Syrian Observatory for Human Rights mengatakan sedikitnya 7.700 orang melintasi Bab al-Hawa untuk kembali ke Suriah. Sedangkan ribuan Mmuhajirin lainnya menggunakan tiga jalur lainnya dari Turkiye ke Suriah.
Mayoritas orang yang kembali baru-baru ini tinggal di daerah yang paling parah terkena gempa di Turkiye, yaitu Gaziantep, Hatay, Adana, dan Kahramanmaras.
Abdel-Rahman mengatakan bahwa orang-orang yang dia ajak bicara tidak tahu apa yang akan mereka temukan ketika mereka kembali ke kota asal mereka di Suriah. Terutama karena tempat-tempat seperti Idlib dan Aleppo juga terkena dampak gempa yang parah.
Namun, beberapa Muhajirin Suriah kembali mengatakan kepada BBC bahwa mereka merasa, permusuhan terhadap warga Suriah di Turkiye semakin meningkat.
Seorang wanita, bernama Reem, sedang melintasi perbatasan dengan bayinya yang berusia sembilan bulan dalam pelukannya.
“Kami mencoba mencari tempat tinggal lain, tetapi mereka [orang Turkiye] terus mengusir kami dan mendesak kami untuk kembali ke Suriah,” katanya kepada BBC.
“Kami mencoba tinggal di masjid, tetapi mereka mengusir kami. Mereka juga tidak memberi kami tenda. Haruskah saya tinggal di jalan bersama anak-anak saya?” dia bertanya.
“Ke Mana Kami Harus Pergi?”
Seorang Muhajirin lain, Abbas Albakour, mengatakan kepada kantor berita Prancis AFP bahwa meskipun ada peperangan di Suriah, Turkiye sedang menghadapi lebih banyak masalah pasca gempa daripada Suriah.
“Di Suriah memang ada masalah selama 12 tahun, tetapi saat ini bencana yang lebih besar ada di Turkiye,” katanya.