Eramuslim.com – Agen senior Dinas Rahasia ini mengaku enggan menjadi tameng peluru bagi Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Wanita bernama Kerry O’Grady selama ini bertugas di distrik Denver, dan dikenal sangat vokal menyerang pemimpin baru AS itu selama musim kampanye.
Dilansir harian Inggris Daily Mail, Rabu (25/1), sikap itu diungkapkannya lewat akun Facebook pribadinya. Selama musim kampanye, Kerry gemar mengkritik Trump sejak mengucapkan kata-kata vulgar dan dianggap melecehkan perempuan. Namun, dia tidak menyebut Trump dalam postingannya itu.
Postingan itu diunggahnya pada Oktober lalu, dan dilaporkan baru-baru ini kepada Dinas Rahasia, tempat Kerry mengabdi. Pelapornya beranggapan Kerry sudah menjadi partisan terhadap salah satu calon, hal yang sangat tabu bagi seorang pengaman presiden, dan bahasa yang ditulis dianggap sudah keterlaluan.
Tindakan itu dianggap melanggar Undang-Undang Pencegahan Aktivitas Politik yang Merugikan, atau dikenal sebagai Hatch Act. Kerry pun menyadarinya, namun dia mengaku memilih masuk penjara dibanding tewas karena melindungi Trump sebagai kepala negara.
“Sebagai pelayan publik selama hampir 23 tahun, saya memilih tidak melanggar Hatch Act. Jadi saya tetap diam dan sering menghindar. Terlepas dari kenyataan bahwa saya diharapkan menjadi tameng bagi keduanya (Trump dan Hillary),” tulis Kerry.
Dia melanjutkan, “tapi dunia ini sudah berubah dan saya juga berubah, Saya akan dipenjara sebagai tameng atau pengesahan atas apa yang saya yakini akan menjadi bencana bagi negara ini dan kuat dan wanita menakjubkan dan minoritas yang tinggal di sini. Terkutuk Hatch Act. Saya bersamanya (Hillary).”
Selama ini, setiap anggota Dinas Rahasia dilarang untuk memposting pesan partisan di sosial media, atau berbagi dan memasang materi memalukan. Dalam latihan operasi keamanan, seluruh agen diperingatkan untuk tidak menggunakan media sosial karena bisa membuka informasi personal dan pergerakan tim pengamanan presiden.
Dinas Rahasia memastikan akan menyelidiki postingan tersebut. Sementara, Kerry sendiri mengaku sudah menghapus postingan itu dua hari setelah dia mengunggahnya.
Dia menjelaskan, tulisannya itu dibuat setelah Trump dituding melakukan pelecehan seksual terhadap sejumlah wanita. Terutama sejak beredarnya video berisi kata-kata vulgar Trump, yang menyebut salah satu organ intim perempuan.
Kerry sendiri mengaku pernah mengalami kekerasan seksual, dan dia emosi ketika mendengar kata-kata tersebut keluar dari mulut seorang calon presiden.
Namun, tak lama dia sadar bahwa postingan itu berlebihan.
“Pemerintahan ini sangat penting bagi saya. Saya mengabdi untuk kenyamanan presiden. tapi saya tetap punya Amandemen Pertama mengenai hak berbicara,” akunya. (kl/mdk)