by M Rizal Fadillah
Untuk mengenang peristiwa 7 Desember 2020 saat 6 Pengawal HRS terbantai dalam operasi penguntitan dengan target Habib Rizieq Shihab, maka bertempat di White House Pekayon diadakan acara Diskusi & Orasi. Acara ini dimaksudkan untuk mendorong agar peristiwa kezaliman rezim Jokowi yang dikenal dengan peristiwa KM 50 itu dapat dibongkar kembali.
Acara D&O’s White House yang digagas Refly Harun ini didukung para tokoh seperti Mayjen Purn Soenarko, Dr. Marwan Batubara, Syekh Yusuf Martak, Azis Yanuar, Eggi Sudjana, Damai Lubis, Munarman, Fikri Bareno, Rustam Effendi, Bunda Merry, Meidi Juniarto, A. Khozinudin, Saeful Zaman, Rizal Fadillah, dr Yulia, Toni Rosyid, Nico Silalahi, Djudju Purwantoro, dan tokoh-tokoh lainnya.
Barisan emak-emak dan keluarga korban juga hadir dalam acara tersebut. Pihak keluarga di samping menyampaikan testimoni tentang putera-puteranya juga mengungkapkan berbagai harapan. Penegakan hukum yang transparan dan berkeadilan menjadi dambaan. Fakta yang terjadi dan dirasakan adalah bahwa penegakan hukum yang dijalankan itu seperti main-main dan sandiwara belaka.
Semangat untuk membongkar kembali kasus Km 50 ini didasarkan pada harapan bahwa pemerintahan Prabowo dapat menangani proses hukum baru dengan lebih serius dan obyektif. Keluar dari pola rekayasa atau penanganan yang berbau mafia. Kasus pembantaian KM 50 harus dituntaskan segera. Pengambangan hanya akan berakibat pada pembusukan yang lebih cepat bagi pemerintahan Prabowo semata.
Diskusi dan Orasi D&O’s White House menggumpal sekurangnya pada lima hal, yaitu :
Pertama, pembunuhan dan pembantaian adalah upaya sistematis yang dimulai dengan pengintaian 4 Desember 2020 di Megamendung, bahkan sejak jauh sebelumnya, dengan target HRS. Karenanya pembantaian 6 Pengawal HRS ini merupakan Pelanggaran HAM berat.
Kedua, penanganan Pelanggaran HAM berat harus berdasar UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM bukan berdasar UU No 39 tahun 1999 tentang HAM. Pembongkaran kembali kasus KM 50 harus berdasar UU 26 tahun 2000, sehingga Komnas HAM dan unsur masyarakat dapat berperan dalam Penyelidikan. Adapun Penyidik adalah Jaksa Agung.
Ketiga, pejabat seperti Budi Gunawan, Tito Karnavian, Dudung Abdurahman, hingga mantan Presiden Joko Widodo dapat diseret ke Pengadilan HAM atas dugaan keterlibatan dalam Pelanggaran HAM berat KM 50. Demikian juga dengan Fadil Imran dan mantan Kasatgassus Ferdy Sambo.
Keempat, Prabowo yang saat itu menjabat Menhan pada Kabinet Jokowi tentu tidak terlibat, meski disayangkan membiarkan atau tidak bersuara atas pembantaian pendukung Pilpres 2019 nya tersebut. HRS bersama ulama berijtima mendukung Prabowo saat itu. Kini setelah menjadi Presiden hutang ini harus dibayar oleh Prabowo.
Kelima, semangat Prabowo untuk menegakkan hukum dan menyatakan “tidak ada yang kebal hukum” patut untuk dibuktikan. Kasus kezaliman hukum KM 50 harus dibongkar ulang. Bau anyir di Kabinet Prabowo mesti dibersihkan. Buatlah wangi pemerintahannya.
Ada KM 50, Pak Prabowo. Mengingatkan bahwa pelanggaran HAM berat tidak boleh dibiarkan untuk berkarat. Ada “Ghost Riders” yang belum terkuak. Hantu-hantu itu sesungguhnya akan terus menghantui para pembunuh dan penganiaya beserta penentu dan pendukung operasinya. Mereka adalah para penjahat kemanusiaan.
Hantu-hantu itu harus diusir atau “diruqyah” dengan proses peradilan jujur dan beradab. UU No 26 tahun 2000 telah menyediakan sarananya. Tinggal satu yang ditunggu yaitu Presiden Prabowo segera memerintahkan. Itu saja.
Jika tidak ada sikap politik yang sehat, maka Pemerintahan Prabowo akan menjadi pemerintahan hantu alias pemerintahan kesurupan.
“Ghost Government” itu menyengat bau anyir darah KM 50.
Ada KM 50, Pak Prabowo.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 8 Desember 2024