Penulis: Ety Nurdiyanti

Orang yang saya banggakan dalam hidup saya cuma ibu, yang saya sayangi juga ibu, dan cita-cita saya saya persembahkan untuk ibu. Namun setelah ibu saya menikah lagi pada akhir tahun 2006, saya seakan-akan semakin jauh dengan ibu saya.

Saya termasuk anak yang dibedakan dengan saudara-saudara lainnya. Dan saya memaklumi dan menganggap ini modal untuk kedewasaan. Tapi terkadang saya merasa agak dendam dan ini membuat saya tidak nyaman.

Saya mempunyai calon isteri yang sangat saya kasihi, tapi sikapnya itu selalu menganiaya (menzolimi) ibunya. Apakah saya pantas menikah dengan dia?

Salah satu rekan mensinyalkan sikap yang tidak jelas maknanya ke saya. Bagaimana untuk meneguhkan hati? Saya tidak ingin "berpenyakit" hati, bagaimanakah sebaiknya?

Salah sedikit saja pasti dia marah dan seringkali disertai dengan kekerasan seperti memukul, menendang, caci maki, dll. Kalau dia sedang marah, saya tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima perlakuan kasar darinya.

Meskipun saya sudah memiliki pekerjaan yang mapan, tetapi saya masih ragu untuk menikah. Keraguan itu berasal dari keadaan keluarga saya.

Anak saya sering merasa cemburu terhadap adik-adiknya dan merasa orang tuanya sudah tidak memperhatikan dia lagi, bahkan jika ada masalah disekolahnya maka dia tidak mau masuk sekolah.

Sekitar tiga bulan lalu uwa/ tante membincangkan guru ngaji beliau (uwa). Perbincangan itu berujung pada sebuah pertanyaan maukah saya dijodohkan dengan guru ngaji uwa saya?

Saat ini kami tidak mempunyai pembantu, padahal saya juga bekerja membantu suami mencukupi kebutuhan keluarga. Dan semua pekerjaan rumah dikerjakan sendiri tetapi suami tidak mau membantu saya.