Asslamualaikum wr. wb.
Saya tinggal di Lhokseumawe Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang merupakan daerah dengan predikat Serambi Makkah. Sudah menjadi kebiasaan di setiap daerah terutama di Indonesia selalu di warnai dengan adat istiadat daerah masing-masing termasuk di NAD.
Keluarga saya merupakan keluarga yang masih kental dengan adat-adat yang ada. Setiap acara-acara yang diadakan selalu diwarnai dengan sikap adat yang menurut pemahaman saya yang masih awam dari pengetahuan yang saya peroleh dari teman dan buku-buku agama yang saya baca bertentangan dengan syariat yang disunnahkan Rasulullah SAW. Dahulunya saya ikut saja soalnya para ustadz (tidak semuanya, terutama di perkampungan) di daerah saya pun merupakan tokoh utama dalam hal itu.
Contohnya pada setiap acara baik pernikahan maupun yang lain selalu dibarengi dengan acara tepung tawar (peusijuek dalam bahasa Aceh) yang mana peusijuk itu menggunakan daun-daunan tertentu yang dibasahi air lalu dipercikkan ke tubuh orang yang akan didoakan. Belum lagi bentuk-bentuk acara seperti tujuh bulanan, menurunkan anak ke tanah dan lainnya yang acaranya sendiri bagi saya belum jelas dasar dan faedahnya. Bukankah suatu hal yang di ada-adakan merupakan bid’ah dan bid’ah itu sendiri adalah sesat, belum lagi jika acara tersebut menyerupai upacara agama lain.
Yang menjadi pertanyaan saya, bagaimana menyikapi hal tersebut terhadap orang tua kita yang mengadakan? Sedangkan kalau kita hindari mereka akan marah terhadap kita. Dan jika saya tanya kepada mereka jawabannya itu kan merupakan do’a.
Sebelumnya terima kasih atas tanggapannya.
Assalamualaikum wr. wb.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Adat dan kebiasaan yang berkembang di tengah masyarakat bisa didekati dengan beragam cara, tergantung banyak hal.
Di antara faktor yang paling utama adalah masalah keselarasan antara adat itu dengan aqidah dan syariah Islam. Setiap adat yang bisa selaras dan tidak bertabrakan langsung dengan keduanya, sebenarnya tidak perlu dihancurkan. Bahkan dalam beberapa kasus, adat dan kebiasaan itu malah bisa dijadikan landasan hukum Islam.
Kita bisa memilah adat istiadat yang berkembang di tengah masyarakat itu menjadi tiga jenis, bila dipandang dari sisi keselarasan dengan aqidah dan syariah.
a. Adat yang Sejalan dengan Agama
Kita mengenal istilah yang sangat populer di kalangan ahli syariah tentang masalah adat ini, antara lain: al-‘adatu muhakkamah. Maknanya, bahwa sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan di tengah masyarakat itu bisa dijadikan dasar hukum atau bernilai hukum.
Contohnya, ijtihad yang digunakan para imam mazhab dalam menetapkan masa haidh bagi seorang wanita. Berdasarkan pengamatan atas adat dan kebiasaan para wanita ketika mendapat haidh, maka ditetapkan masa minimal masa haidh itu adalah sehari semalam dan paling lama adalah 15 hari 15 malam.
Angka-angka itu tidak ada dasarnya bila dilihat dari nash Quran atau Sunnah, melainkan didapat dari hasil pengamatan empiris pada kebiasaan yang terjadi pada tubuh seorang wanita. Namun dalam implementasinya, kebiasaan itu bisa dijadikan sebagai hukum yang di atasnya disandarkan banyak hal.
b. Adat yang Bertentangan dengan Agama
Namun ada juga adat dan kebiasaan tertentu yang secara qath’i bertentangan dengan agama.
Dari segi aqidah Islam banyak adat yang memang bertentangan. Misalnya, kebiasaan pergi ke dukun, tempat keramat atau pawang hujan yang sering dilakukan oleh sebagian masyarakat kita, atau misalnya sabung ayam atau mengadu domba yang pada hakikatnya adalah menyiksa binatang, atau minum khamar yang sudah menjadi tradisi pada masyarakat tertentu, atau bahkan memeriahkan even tertentu dengan berjudi dan berbuat kemesuman yang dihias dengan upacara adat tertentu. Semua itu adalah contoh adat istiadat yang bertentangan dengan aqidah Islam.
Adat istiadat seperti ini secara mutlak memang bertabrakan langsung dengan aqidah atau syariah Islam. Sehingga meninggalkannya merupakan hal yang mutlak kewajibannya.
c. Adat yang Masih Jadi Khilaf di Kalangan Ulama
Selain kedua jenis adat istiadat di atas, masih ada satu lagi jenis adat yang berada di tengah-tengah. Adat ini tidak bisa dikatakan adat yang pasti bertabrakan dengan aqidah dan syariah, namun juga tidak 100% disepakati oleh ulama tentang hukum kebolehannya.
Di antara contoh yan bisa disebut untuk mewakili jenis adat ini adalah budaya tahlilan atau mengirim pahala bacaan Al-Quran kepada orang yang sudah wafat.
Sebagian ulama memandang bahwa kebiasaan ini tidak sesuai dengan dalil-dalil syariah, sehingga menganggap adat ini sebagai sesuatu yang harus dihilangkan. Sebaliknya, sebagian ulama lain memandang bahwa tetap ada dalil-dalil yang membenarkan diterimanya pahala bacaan Al-Quran kepada orang yang sudah wafat.
Penyebab Perbedaan Pendapat
Penyebab perbedaan pendapat di antara mereka adalah adanya atsar yang berbeda dan bertentangan.
Mereka yang mendukung pendapat tentang tidak sampainya pahala bacaan Al-Quran kepada orang mati, biasanya berdalil dengan nash-nash berikut:
Yaitu bahwasannya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya (QS. An-Najm:38-39)
Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun dan kamu tidak dibalasi kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan. (QS. Yaasiin:54)
Ia mendapat pahala (dari kebaikan) yang diusahakannya dan mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (QS. Al-Baqaraah 286)
Apabila seorang manusia meninggal maka putuslah amalnya, kecuali tiga hal: Sedekah jariyah, anak yang shalih yang mendo’akannya atau ilmu yang bermanfaat sesudahnya. (HR Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Nasa’i dan Ahmad)
Tentu saja tidak semua orang sepakat dengan pendapat ini, karena memang ada juga dalil lainnya yang menjelaskan bahwa masih ada kemungkinan sampainya pahala ibadah yang dikirimkan atau dihadiahkan kepada orang yang sudah mati. Misalnya hadits-hadits berikut ini:
Dari Ma’qil bin Yasar ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Bacakanlah surat Yaasiin atas orang yang meninggal di antara kalian." (HR Abu Daud, An-Nasaa’i dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban)
Jantungnya Al-Quran adalah surat Yaasiin. Tidak seorang yang mencintai Allah dan negeri akhirat membacanya kecuali dosa-dosanya diampuni. Bacakanlah (Yaasiin) atas orang-orang mati di antara kalian. (HR Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim)
Hadits ini dicacat oleh Ad-Daruquthuny dan Ibnul Qathan, namun Ibnu Hibban dan Al-Hakim menshahihkannya.
Dari Abi Ad-Darda’ dan Abi Dzar ra berkata, "Tidaklah seseorang mati lalu dibacakan atasnya surat Yaasiin, kecuali Allah ringankan siksa untuknya." (HR Ad-Dailami dengan sanad yang dhaif sekali)
Adalah Ibnu Umar ra. gemar membacakan bagian awal dan akhir surat Al-Baqarah di atas kubur sesuah mayat dikuburkan. (HR. Al-Baihaqi dengan sanad yang hasan).
Dengan adanya pertentangan antara dua kelompok pendapat ini, maka kita tidak bisa menggeneralisir hukumnya sebagai adat yang sesat dengan begitu saja. Sebab ternyata masih ada dalil-dalil yang bisa digunakan sebagai landasan, terlepas dari masalah tarjih di antara keduanya. Namun pendeknya, masalah ini kita golongkan kepada masalah khilafiyah di kalangan para ulama. Dan kita dituntut untuk bisa bersikap lebih bijak dan dewasa untuk mensikapinya.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.