Assalamu’alaikum Wr. Wb
Ust. Ahmad yang dirahmati Allah swt. Saya seorang awam dalam beragama Islam, khususnya dalam hal mazhab. Tetapi teman-teman saya mengatakan bahwa saya dari kalangan Ahlussunnah wal jamaah, karena solat saya bersedkap.
Yang ingin saya tanyakan, apakah seorang Ahlussunnah boleh berjamaah dengan seorang Imam dari kalangan mazhab selain Ahlussunnah, misalnya Imam sholat yang bermazhab Syi’ah.
Demikian pertanyaan dari saya. Mohon maaf bila tidak berkenan. Semoga Ust. Ahmad dilimpahkan rahmat dan barokah yang banyak oleh Allah SWT. Ilahi Amin
Malik
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Prinsip dalam hukum sahnya shalat berjamaah terletak pada sahnya shalat sang imam itu sendiri. Kalau imam itu dianggap sah dalam shalatnya, maka sah juga bagi orang lain untuk bermakmum di belakangnya. Sebaliknya, bila imam dinilai tidak sah dalam shalatnya, maka tidak sah bagi orang lain untuk bermakmum di belakangnya.
Misalnya imam shalat tanpa menutup aurat, atau tanpa bersuci dari hadats, atau tidak menghadap kiblat, atau sebab-sebab teknis lainnya, maka tidak sah bila kita bermakmum di belakangnya.
Sedangkan masalah perbedaan kelompok antara imam dan makmum, selama kelompok yang diikuti si imam itu tidak keluar dari agama Islam, tidak ada masalah. Sebab kelompok si imam tetap masih di dalam barisan umat Islam, meski ada berbedaan pandangan.
Kecuali bila kelompok yang diikuti oleh imam adalah kelompok yang nyata jelas telah keluar dari Islam, di mana kelompok itu berikut si imambenar-benar tervonis sebagai non muslim secara resmi oleh lembaga resmi umat Islam, maka tentu saja hukumnya haram untuk kita menjadi makmum kepadanya.
Sedangkan kelompok syiah, meski sebagiannya ada yang dipertanyakan statusnya, lantaran ada yang mengingkari kenabian Muhammad SAW, tetapi umumnya masih berada di dalam garis barisan umat Islam. Kita tidak boleh gegabah main vonis bahwa kelompok syiah itu bukan termasuk bagian dari umat Islam. Mengingat di dalam kelompok syiah memang begitu banyak berkembang berbagai keyakinan, mulai dari yang dekat dengan ahlusunnah hingga yang paling bertentangan.
Tetapi secara umum, syiah tetap termasuk bagian dari umat Islam. Sebagian pengamat menyebutkan bahwa jumlah pemeluk syiah sekitar 13% dari total jumlah umat Islam sedunia. Kalau jumlah umat Islam saat ini 1, 5 milyar, maka paling tidak ada 195.000.000 orang yang dianggap syiah. Lalu bagaimana pertanggung-jawaban kita di hadapan Allah nanti, bila kita kafirkan 195 juta orang itu? Apakah kita siap mempertanggung-jawabkan vonis kafir yang dengan ringan kita lontarkan kepada mereka?
Mengapa kita mengkafirkan kelompok, bukankah seharusnya kita meneliti secara kasus per kasus, atau orang per orang? Sebab siapa yang bisa menjamin bahwa 195 juta orang itu pasti kafir?
Memang tidak tertutup kemungkinan bahwa di antara 195 juta orang itu adalah yang ingkar kepada kenabian Muhammad, juga tidak tertutup kemungkinan ada juga yang ingkar kepada Al-Quran Al-karim yang kita miliki. Akan tetapi benarkan tindakan kita ketika menggeneralisir bahwa 195 juta orang itu semua adalah pengingkar nabi dan Al-Quran? Siapa yang menjamin hal itu?
Sebaiknya kita tidak terlalu mudah menjatuhkan vonis kafir kepada sesama umat Islam. Apalagi kita juga bukan hakim yang punya wewenang dan keahlian untuk itu. Ada baiknya kitaterlampau termakan hasutan orang yang mewajibkan kita harus mengkafir-kafirkan sesama muslim. Sebab mengkafirkan tanpa data dan fakta nyata justru akan membalikkan kita kepada tuduhan kita sendiri. Nauzubillahi min zalik.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc