Dulu, jauh sebelum kita dilahirkan di dunia ini, ketika kedua orangtua kita pun belum saling dipertemukan, bahkan ketika kakek dan nenek kita sendiri juga belum dilahirkan, kita tentu tidak tahu di mana tepatnya keberadaan kita saat itu. Kita juga tidak tahu di mana posisi keberadaan calon cucu dan cicit kita saat ini, yang mungkin saja baru akan lahir beberapa lama setelah kita meninggal nanti. Namun, tampaknya kita semua memiliki kisah yang sama, bahwa sebelumnya kita tak pernah tahu kapan akan lahir, dan tak pernah meminta untuk dilahirkan. Dan bagaimana pula kita bisa meminta jika kita sendiri memang belum pernah ada sebelumnya? Lalu apa pentingnya sebuah keberadaan bagi kita, jika ternyata kita sendiri tak pernah memintanya? Lantas siapa sebenarnya yang menghendaki keberadaan kita ini? Apakah kedua orangtua kita? Tapi, bukankah telah jelas bahwa mereka juga sama dengan kita, ada tanpa meminta?
Wujud, atau keberadaan benda di sekeliling kita, apapun bentuknya, mungkin bisa dipastikan tak pernah lahir dari kehendak benda itu sendiri. Sebuah meja misalnya, ia tak pernah ada karena kehendak meja itu sendiri untuk ada, tapi adalah karena kehendak sang tukang yang membuatnya. Demikian juga misalnya dengan komputer canggih yang digunakan manusia, ia tentu tak pernah ada dikarenakan kehendaknya sendiri, melainkan karena kehendak yang menciptakannya. Tak berbeda halnya dengan beragam benda lainnya di sekitar kita; sebut saja lampu, kursi, lemari, buku, baju, sandal, sepatu, dan seterusnya; tentunya kita mengakui bahwa mereka semua ada bukan atas kehendak mereka masing-masing, melainkan atas kehendak yang menjadikan mereka ada.
Dan ketika tampak mustahil untuk memungkiri kenyataan yang demikian itu, maka mau tak mau kita pun akan harus mengakui bahwa di sana pasti juga ada Dzat yang berkehendak untuk menjadikan kita ada, semenjak kita sendiri tak pernah meminta untuk ada. Karena tidaklah mungkin jika desain rumit dan teratur pada sebuah komputer dikehendaki dan diciptakan oleh komputer itu sendiri. Dan adalah lebih tak mungkin lagi jika desain itu ada tanpa ada yang menghendaki dan menciptakannya. Jika memang komputer yang hanya buatan manusia saja demikian, maka terlebih lagi dengan desain yang lebih canggih pada diri manusia itu sendiri. Kita tentu bisa mengakui kecanggihan yang ada pada diri kita sebagai manusia. Manusia dahulunya hanyalah sebuah bintik kecil di dalam rahim yang kemudian secara bertahap menjelma ke dalam bentuk lain yang lebih sempurna. Maka mungkinkah kecanggihan itu terwujud tanpa ada yang menghendaki dan menciptakannya? Ataukah manusia sendiri yang berkehendak menciptakannya? Bukankah manusia pun belum pernah mampu sepenuhnya untuk memegang kendali atas raganya sendiri? Kita tentunya sadar bahwa kita tak pernah sanggup untuk mengendalikan detak jantung kita sendiri, misalnya untuk kita perintah agar berhenti berdetak untuk semenit saja. Padahal itu adalah jantung kita sendiri, namun mengapa kita tak mampu mengatur detaknya?
Seperti halnya kita tak sanggup mengatur kapan tubuh kita harus tumbuh dan kapan harus berhenti tumbuh. Dulu ketika kita masih bayi, tubuh kita tampak tumbuh secara perlahan untuk kemudian menjadi besar seiring bertambahnya usia, lalu ternyata berhenti tumbuh dengan sendirinya ketika kita menginjak usia tertentu. Kita tentunya akan sulit membayangkan jika ternyata tubuh kita enggan berhenti tumbuh, dan lantas terus-menerus tumbuh hingga akhir usia kita, sehingga ketika seseorang memiliki umur yang cukup panjang, maka akan semakin panjang dan tinggi pula postur tubuhnya. Dan pastinya juga akan rumit untuk memperkirakan dampaknya bagi pakaian kita, segala peralatan yang kita gunakan, hingga rumah yang kita tempati, yang mana itu semua juga tak mungkin secara otomatis dapat melebar, memanjang, membesar, ataupun meninggi menyesuaikan ukuran tubuh kita. Belum lagi untuk memperkirakan penyesuaian-penyesuaian lainnya yang pasti sangat tak terbayangkan.
Lalu, siapakah sebenarnya yang telah merancang itu semua? Siapa yang mengajari tulang-tulang pada tubuh kita untuk berhenti memanjang tepat pada waktunya? Siapa yang membatasi pertumbuhan segenap organ tubuh kita ini? Apakah tulang-tulang dan organ tubuh kita bisa berfikir? Ataukah ada yang mengendalikan dan memerintahkannya? Pertumbuhan yang dialami oleh tubuh kita tampak begitu terjadwal secara tepat dan teratur, padahal kita sendiri pun tak pernah merasa menjadwalkan apapun sebelumnya.
Sebagaimana kita juga tidak pernah merasa telah mengendalikan perlengkapan tubuh lainnya, misalnya ‘alarm’ dalam perut kita, yang selama ini tak pernah terlambat mengingatkan ketika kita harus bersiap-siap sebelum membuang keluar sisa nutrisi dari dalam tubuh kita. Tentunya sangatlah meresahkan jika ‘alarm’ itu ternyata tak terpasang atau tak berfungsi dengan baik. Namun, sejauh ini kita hanya menggunakannya begitu saja, tanpa merasa perlu untuk menyadari apa akibatnya jika ‘perlengkapan’ yang satu itu ternyata tidak pernah ada.
Misal lainnya adalah wajah kita yang telah terbentuk sedemikian rupa. Kita tentu yakin bahwa itu adalah wajah kita sendiri. Namun mengapa ia tak bisa kita bentuk sesuai keinginan kita. Mengapa hidung kita begini, pipi kita begitu, lalu mata kita begini atau begitu? Dan bagaimana bisa, tanpa diperintah, dengan sendirinya kulit wajah akan lantas mengeriput ketika usia seseorang telah beranjak tua? Mengapa bisa demikian? Mengapa kita sendiri tak bisa mengendalikan dan mengatur apa yang memang kita miliki? Sebenarnya itu milik kita atau milik siapa? —Bersambung
Ibnu Anwar <[email protected]>