Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Apakah memang benar bahwa menentang tatanan publik muslim (pemerintahan muslim) itu termasuk perbuatan riddah?
Kalau memang iya, maka saya pernah baca suatu artikel yang mengatakan bahwa term riddah itu sebenarnya adalah label politis dan bukan label teologis. Sehingga seorang muslim yang berpindah agama atau menyangkal salah satu doktrin vital Islam adalah dipandang melakukan perbuatan kufur dan bukan riddah.
Jadi, dia baru bisa dikatakan riddah apabila melakukan permusuhan terhadap ummah. Pendapat ini diperkuat oleh berbagai penerapan riddah oleh nabi saw yang menghukum orang murtad karena melakukan pembunuhan atau melakukan tindakan subversif internal terhadap tatanan publik muslim.
Artinya, apabila seorang muslim itu keluar dari ummah dan bergabung dengan kubu musuh, lalu memusuhi ummah, maka dia telah riddah. Atau riddahnya itu karena melakukan permusuhan, bukan karena berpindah agama. Atau riddah itu bukan dalam pengertian pindah agama atau menyangkal doktrin fundamental Islam seperti yang selama ini dipahami oleh mayoritas kaum muslimin. Ia hanya dikatakan kafir apabila berpindah agama atau menyangkal doktrin vital Islam.
Lebih jauh lagi, ayat al-Qur’an yang mengatakan, "man yartadda mingkum `an dînihi" itu bukan berarti pindah agama, namun "berpaling dalam pengertian keluar dari komunitas agama sebelumnya", yaitu keluar dari komunitas agama Islam dan bergabung dengan kubu musuh!. Yang terjadi selama ini adalah karena idiom riddah ditempatkan sederajat dengan idiom kufur atau riddah dipandang sebagai bagian dari kekufuran.
Yang sebenarnya harus dibedakan dan dipisahkan antara keduanya dan tidak dikaitkan. Sehingga sekali lagi, murtad adalah label murni politis dan kafir itu merupakan label teologis.
Bagaimanakah pendapat Pak Ustadz tentang hal ini?
Maaf kalau kepanjangan!
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Anda benar sekali, bahwa tidak setuju dengan kebijakan pemerintah muslim tidak berarti boleh dikatakan sebuah tindakan riddah, orangnya juga bukan orang murtad.
Namun kami perlu luruskan juga bahwa istilah riddah itu memang istilah yang sama dengan seorang muslim menjadi kafir. Tentunya seorang tidak menjadi kafir hanya gara-gara tidak setuju dengan kebijakan dari pimpinan umat Islam.
Seseorang baru dianggap murtad menjadi kafir kalau dia tidak setuju dengan doktrin dasar agama Islam. Intinya bila tidak menerima konsep 6 rukun iman dan konsep 5 rukun Islam. Siapa saja orang yang mengaku muslim tetapi tidak menerima konsep rukun iman dan rukun Islam, maka pengadilan formal berhak menjatuhkan vonis kafir atau murtad kepadanya.
Menolak Konsep Rukun Iman
Misalnya dia tidak setuju bahwa Allah SWT itu adalah tuhan satu-satunya. Dalam konsepnya, ada tuhan-tuhan selain Allah yang juga berperan sama dengan Allah. Kalau konsepnya demikian, jelaslah dia telah menjadi orang kafir, murtad dan bukan lagi muslim.
Atau ada orang yang berpaham wihdatul wujud, di mana dirinya telah menjadi tuhan dan tuhan menjadi dirinya. Ini jelas kufur dan murtad dari agama Islam.
Misal lainnya, dia punya konsep bahwa ada orang selain Muhammad SAW yang berhak untuk menetapkan, mencipakan serta menggugurkansyariah Islamsecara mandiri, bahkan sepeninggal Rasulullah SAW. TIndakan ini jelas kufur dan riddah, karena bertentangan dengan doktrin dasar bahwa kita ini hanya mengikuti syariah Muhammad SAW.
Misal lainnya, seorang tidak menerima konsep akan adanya hari akhir dan sebaliknya dia malah menerima konsep reingkarnasi. Otomatis dia tidak percaya adanya siksa kubur, surga, neraka, hisab, mizan (timbangan), mahsyar, shirath dan seterusnya. Maka dia telah kufur dan keluar dari agama Islam.
Menolak Konsep Rukun Islam
Di masa Rasululah SAW dan Abu Bakar, telah terjadi kemurtadan karena menolak salah satu rukun dari rukun Islam.
Para ulama sepakat bahwa seorang yang mengingkari kewajiban shalat 5 waktu secara sadar dan sengaja, bukan karena lalai atau malas, adalah kafir dan keluar dari agama Islam.
Abu Bakar sebagai khalifah telah mevonis bahwa suku-suku tertentu yang tidak mau membayar zakat dan menolak kewajiban zakat sebagai kelompok kafir yang murtad. Bahkan beliau memeranginya dan memandang dasar mereka halal.
Intinya, ketika ada orang yang tidak menerima konsep mendasar dalam aqidah Islam, seperti yang tercantum di dalam 6 rukun iman, atau 5 rukun Islam secara konsep, maka dia adalah orang yang kafir, keluar dari agama Islam, murtad dan bukan lagi muslim.
Mahkamah Syar’iyah
Tetapi ada satu hal yang perlu diingat dan diperhatikan, bahwa semua vonis murtad itu harus melalui proses hukum formal dan vonisnya dikeluarkan oleh pengadilan atau lembaga hukum yang formal.
Tidak boleh setiap orang untuk mengeluarkan vonis murtad seenaknya. Kecuali setelah digelarkan pengadian syariah dengan benar dan fomal. Di mana mereka yang dituduh murtad itu dihadirkan untuk memberikan keterangan, juga harus dihadirkan para saksi termasuk para saksi ahli dari kalangan ilmuwan khususnya di bidang ilmu aqidah.
Sayangnya, di Indonesia tidak ada lembaga itu, sehingga akhirnya saling tuduh kafir sering terjadi. Seharusnya lembaga itu didirikan untuk menetapkan dan memutuskan siapa saja yang sudah bisa divonis kafir dan murtad. Dan juga perlu diundangkan secara formal juga, agar tidak lagi ada kesamaran di dalamnya.
Tidak Setuju Kebijakan Pemerintah Islam
Adapun punya second opinion yang berbeda dengan opini yang dikembangkan oleh pemerintah yang sah, tidak menjadikan seorang menjadi murtad. Selama tidak melakukan permusuhan secara langsung, membelot atau memusuhi.
Hukum Islam memberi peluang terbuka bagi siapa saja untuk tidak setuju dengan kebijakan pemeritahannya, selama tidak terkait dengan doktrin dasar aqidah Islam.
Etika Beroposisi Dengan Penguasa
Adapun etika oposisi yang harus dipegang oleh semua pihak adalah etika amar ma’ruf dan nahi mungkar, di samping etika perbedaan mendapat (Fiqhul Ikhtilaf). Karena, tujuan oposisi adalah meluruskan, memberikan in-put posistif dan memperbaiki, bukan menjatuhkan. Di antara landasan moral oposisi adalah sebagaimana yang dirangkum Yusuf Al-Qardhawi dalam Fiqh Ikhtilaf-nya (hal. 181) dan oleh Imam Ghozali dalam Ihya’-nya (vol.II/270) adalah:
Ikhlas karena Allah serta demi kemaslahatan umat dan bangsa, bukan karena nafsu.
- Meninggalkan fanatisme terhadap individu, partai maupun golongan.
- Berprasangka baik dan positif thinking terhadap orang lain.
- Tidak menyakiti dan mencela
- Menjauhi debat kusir dan ngotot tanpa argumentasi logis.
- Dialog dengan cara sebaik-baiknya.
- Bersikap adil dalam menilai dan bersikap
- Memperhatikan skala prioritas (strata bobot penting masalah) masalah dan memakai fiqh muwazanah (pertimbangan masak sisi maslahat dan madharat).
- Mengedepankan persatuan dan menjauhi perpecahan
- Arif, dewasa dan bijaksana serta mampu mengontrol emosi
Wallahu a’la bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc