Blessed is He in whose hand is the domination; and He is able to do all things.
Maha Suci Allah yang ditangan Nyalah segala Kerajaan dan Dia maha kuasa atas segala sesuatu. (QS Al Qur’an, 67:1)
Maha suci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan…
Para thagut sejak awal telah mengetahui pengaruh agama ini terhadap kekuasaan mereka, ketika mendengar kalimat tauhid yang dibawa oleh para Rasul, telah dipahami realitasnya oleh masyarakat awam sekalipun saat itu, seorang arab dengan kepolosannya dan hati bersih ketika mendengar Rasul Saw mengajak ummat manusia agar bersaksi tidak ada sesembahan yang dipatut selain Allah dan Muhammad utusan Allah, mengatakan: ini adalah masalah yang tidak disukai oleh para raja, lalu seorang lelaki lainnya berkata kepadanya: Jika demikian pasti orang orang arab dan juga non arab akan memerangimu hai Muhammad.
Yang menjadi pertanyaan, kenapa kalimat tersebut akan diperangi dan tidak disukai raja atau para penguasa?, hal ini digambarkan pada Al qur-an, dengan mencela habis-habisan para penguasa yang mengaku tuhan dimuka bumi, mereka menjadikan hamba hamba Allah sebagai hamba-hamba mereka, seperti Namruz yang zalim itu mengaku bisa menghidupkan dan mematikan, seolah olah dia tuhan semesta alam yang mampu menghidupkan dan mematikan, dia memaksa orang untuk mengikutinya, seperti orang mengikuti tuhan Ibrahim.
Keangkuhan Namruz dalam mempertahankan klaimnya bahwa dia mampu menghidupkan dan mematikan sampai ketingkat mendatangkan dua orang lelaki, lalu dia bunuh yang satu dan dia biarkan hidup yang satunya lagi, kemudian dia berkata, ini sudah saya matikan, dan ini saya hidupkan, bukankah saya mampu menghidupkan dan mematikan.
Begitu pula Fir’aun yang mengatakan kepada kaumnya, “saya adalah tuhanmu yang paling tinggi”, kemudian dengan angkuh dia mengatakan, “Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku”.
Al qur-an mengungkapkan juga aliansi antara tiga pihak yang keji dan tercela, yang biasanya memgelilingi penguasa yang menentang otorisasi Allah:
Pertama:
Penguasa angkuh yang mengaku tuhan di bumi Allah, yang berlaku diktator terhadap hamba hamba Nya, penguasa ini diwakili sosok Fir’aun
Kedua:
Politikus oportunis yang menggunakan kepintaran dan pengalamannya untuk melayani kepentingan penguasa zalim, untuk memantapkan kekuasaan dan meningkatkan popularitasnya, sehingga dia selalu dipatuhi oleh rakyat. Politikus seperti ini diwakili sosok Haman.
Ketiga:
Kapitalis dan feodalis yang mengambil manfaat dari pemerintah yang zalim, Mereka mendukung pemerintahan ini dengan mengeluarkan sebagian hartanya untuk mendapatkan harta yang lebih banyak lagi dengan memeras keringat dan darah rakyat, kelompok ini diwakili oleh sosok Qarun.
Bahkan dalam kasus era Fir’aun, Qarun itu adalah kaum Musa, bukan dari kalangan Fir’aun, tapi dia berlaku zalim terhadap kaumnya, berkhianat dan dia bergabung dengan Fir’aun yang merupakan musuhnya dan Fir’aun pun menerimanya, hal ini menunjukkan bahwa kepentingan materilah yang menyatukan mereka, meskipun dari segi etnis dan keturunan mereka berbeda.
Begitu pula bila kita hayati penggalan ayat diatas: Maha suci Dia, yang didalam TanganNya sekalian Kerajaan, bila dipahami secara mendalam, akan terasa betapa Allah memberi peringatan kepada manusia makhlukNya, dalam perebutan kekuasaan dan kemegahan dalam dunia ini bahwasanya Kerajaan dan Kekuasaan yang sebenarnya hanya ada dalam tangan Allah.
Segala Kerajaan dan Kekuasaan yang ada dimuka bumi ini, bagaimanapun manusia mengejarnya, atau bagaimanapun manusia mempertahankan sekuat tenaga, tidaklah merupakan kerajaan yang sesungguhnya, dan dia tidak sebenar benarnya penguasa. Dia adalah makhluk kecil dihadapan Allah. Bagaimanapun dia seorang Presiden memerintah dengan aturannya dan memerintah dengan segenap kekuatan, kegagahan dan sewenang-wenang, namun kekuasaan seperti demikian hanyalah pinjaman belaka hanya sesaat dan tidaklah kekal.
Semua berubah, itulah peraturan yang berlaku dalam alam ini, kadang di atas kadang bisa ke bawah. Yang di bawah ke atas, yang tua mundur, yang muda maju, yang nantinya pun akan gugur pula, tak ada yang tetap.
Naiknya seorang menjadi penguasa pun hanyalah karena adanya pengakuan, setelah orang banyak mengakui, dan sering kali didukung oleh militer, barulah dia berkuasa, sedang Allah sebagai Maha Kuasa dan Maha Menentukan, tidaklah Dia berkuasa setelah mendapat dukungan, walaupun seluruh isi alam ini durhaka kepada Nya, yang akan jatuh bukan Allah, melainkan yang durhaka itu.
Dan seorang penguasa sangat tak layak untuk mengklaim bahwa dia adalah berdaulat dan berhak untuk memutuskan dan membuat aturan yang tak bersandar dengan aturan ilahi, bila penguasa tersebut tetap dengan kenekatan untuk membuat aturan tersebut, berarti dia telah menentang Allah yang memiliki kerajaan di seluruh alam ini,…bagaimana mungkin seorang raja kecil melakukan penentangan terhadap-Nya dan dipertahankan sekuat tenaga, padahal dia merupakan bagian yang sangat kecil dalam kekuasaan kerajaan Hakiki milik Allah dan kepunahan terhadapnya menanti diujung jalan yang nantinya akan dipertanggung jawabkan segala tindakannya.
Syaik Muhammad Abduh pernah menegaskan Islam tidak memberikan kekuasaan kepada siapapun, selain Allah dan Rasulnya, terhadap keyakinan atau akidah orang lain dan tidak pula untuk menguasai keimanannya. Islam tidak memberikan hak kepada siapapun dari kalangan pengikutnya untuk menghalalkan dan mengharamkan sesuatu, dibumi maupun dilangit, bahkan iman membebaskan orang mukmin dari segala bentuk kontrol antara dia dengan Allah, kecuali kontrol Allah saja, seorang muslim, betapapun tinggi dan rendah kedudukannya, tidak mempunyai hak menguasai orang lain, dia hanya mempunyai hak untuk menasehati dan membimbing.
Tentang penguasa atau pemimpin, syaikh Muhammad Abduh mengatakan, untuk memahami Al qur-an dan mengetahui hukum hukum agama, Islam tidak memberikan keistimewaan kepada penguasa atau pemimpin, dan juga tidak meninggikan karena kekuasaan itu. Perbedaan antara mereka hanya dari segi kejernihan pemikiran dan ketajaman dalam menetapkan hukum. Penguasa hanya dipatuhi selama dia berjalan di jalan yang benar dan mengikuti Al qur-an dan As sunnah, sementara kaum muslimin bertindak mengamati dan mengawasinya, bila dia menyimpang dari sistem, mereka akan membetulkannya, bila membelok, mereka akan meluruskannya dengan nasehat dan peringatan. Tidak boleh patuh kepada makhluk dalam mendurhakai Al Khaliq, bila penguasa tidak lagi mengindahkan Al qur-an dan As sunnah dalam bertindak, maka hal ini sah untuk menurunkannya dari jabatannya .
Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Hanya Kerajaan-Nya lah, Allah berkuasa atas segala sesuatu terhadap ciptaan-Nya, tidak ada satupun yang dapat menghambat ketentuan-Nya dan tidak satupun yang dapat memperlancar hambatan-Nya. Allah Maha Kuasa, tidak ada yang menandingi-Nya. Apa yang diputuskan-Nya pastilah terjadi.
Rasanya jika kita memahami benar makna dari lanjutan ayat tersebut, timbullah rasa tentram di hati terhadap apapun yang kita hadapi di dalam perjalanan perjuangan di jalan-Nya, entah itu berhasil maupun gagal kala berjuang di dunia untuk kedaulatan-Nya asalkan kita telah memenuhi kriteria dalam berjuang di jalan Allah, kita yakin kemenangan hakiki adalah mencapai ridho-Nya. Apapun yang diputuskan-Nya adalah berbaik sangka kepada-Nya dan berharap kasih sayang-Nya untuk menggapai sebuah kemenangan hakiki.
Sebagai Raja yang hakiki, pemilik kekuasaan, baik di bumi maupun di langit, Dia lah yang menentukan segala sesuatu, segala sesuatu berkaitan dengan hal besar maupun yang kecil, seperti peredaran matahari, planet dan sebagainya hingga hal yang kecil berupa atom dan prosesnya, maupun rezeki manusia, dari hamba yang diberi karunia yang besar hingga manusia yang papa yang tinggal di jalan-jalan. Allah lah yang menentukan sesuatu itu, dan setiap keputusan itu punya hikmah dibaliknya.
Itulah makna dari sifat Allah yang disebut qadir, yang biasa diartikan Maha Kuasa atau diartikan dengan yang mentakdirkan sesuatu, tetapi karena kurang kita renungkan, seringkali salah kita memahami takdir, sehingga kadang kadang kita lupa bahwa sifat Allah atau salah satu dari nama Allah yang disebut qadir kita artikan saja bahwa Allah dapat berbuat sekehendak-Nya, dengan tidak mempunyai ketentuan, seakan akan tidak mempuntai undang undang yang biasa disebut sunnatullah, padahal semuanya ada ketentuannya, yang satu bertali dan berhubungan dengan yang lain. Misalnya terjadi sebuah kebakaran besar, seseorang ingin melewati api panas yang berkobar besar untuk mencari selamat, dan dia harus melewati kobaran tersebut, ketentuannya adalah dia akan terbakar karena zat manusia tidak memiliki kekuatan terhadap sengatan api itu, dia pasti akan binasa karenanya.
Demikianlah hidup manusia, bala bencana, kematian, rezeki, keselamatan, jodoh, hujan, badai, kemenangan, kekalahan, kebahagiaan, semuanya itu adalah pertemuan diantara ketentuan dengan ketentuan, baik ketentuan besar maupun kecil, ada yang telah diketahui manusia maupun yang belum diketahui manusia, namun seluruh keadaan dalam alam ini tidaklah ada yang terlepas dari ketentuan yang telah ditentukan Allah.
Yang diperlukan oleh manusia adalah ihtiar terhadap tujuan hidupnya didunia, sebaik baiknya amalan yang dikerjakan dan selalu berada dalam frame perjuangan dan ibadah kepada Allah, dan Allah tidak mempertanyakan hasil dari amalan manusia itu, yang dinilai oleh-Nya adalah usaha menuju keridhoan-Nya dan kita sebagai makhluk-Nya tetaplah berbaik sangka kepada-Nya dan yakinlah Allah akan menentukan sesuatu yang baik buat hamba-hamba-Nya yang beramal secara sungguh-sungguh dengan memperhatikan sunnatullah . Selalulah optimis wahai hamba yang berjuang.-Red-