Assalamu ‘alaikum, Ustadz yang saya hormati.
Ketika membaca siroh atau beberapa hadits, saya terkadang menjumpai orang-orang bahkan sahabat yang berstatus sebagai budak.
Bukankah perbudakan itu secara manusiawi tidak menghormati kesetaraan martabat manusia. Padahal martabat semua manusia itu di hadapan Allah adalah sama. Hanya ketakwaan yang akan meningkatkan derajatnya.
Yang saya paling belum bisa mengerti adalah bahwa Rasulullah SAW masih hidup masa tersebut. Karena keterbatasan ilmu, saya belum pernah menjumpai Nabi SAW mengharamkan perbudakan tersebut. Masalahnya, bukankah semua yang didiamkan adalah perbuatan yang boleh dilakukan, bahkan di zaman sekarang?
Afwan kabir atas keterbatasan ilmu dan kelancangan saya menanyakan hal semacam ini. Jazakallah khoir.
Wassalamu ‘alaikum.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Sebelum kami menjawab masalah ini, perkenankan kami sedikit mengomentari kalimat penutup anda. Kata-kata ‘afwan‘ memang lazim digunakan oleh orang Arab untuk meminta maaf. Dan kata ‘kabir‘ itu memang artinya adalah besar. Tetapi memasangkan dua kata itu menjadi ‘afwan kabir‘ bukanlah ta’bir yang tepat, kalau maksudnya adalah mohon maaf yang banyak.
Namun jangan kecil hati dulu dengan koreksi ini, kami hargai Anda yang bersemangat untuk menggunakan bahasa Arab. Syukur kalau anda bisa lebih memperdalam dan meluangkan banyak waktu untuk satu hal ini.
Kami juga terkesan dengan kesantunan bahasa yang anda gunakan, karena tidak sedikit yang mengirim pertanyaan dengan tujuan bukan untuk bertanya, tapi terasa sekedar untuk mengetes atau memperdebatkan sesuatu yang sudah dijadikan sebagai keyakinan.
Terkait dengan pertanyaan tentang adanya perbudakan di depan Rasulullah SAW, lalu dianggap beliau mendiamkannya saja, sehingga seolah memperbudak manusia menjadi boleh, tentu saja penilaian itu kurang tepat.
Tidak benar bahwa Rasulullah SAW mendiamkan perbudakan, juga tidak benar bahwa perbudakan itu dibolehkan oleh agama Islam. Akan tetapi duduk masalahnya perlu dijelaskan terlebih dahulu.
Pertama, perbudakan sudah ada jauh sebelum adanya agama Islam. Jauh sebelum nabi Muhammad SAW dilahirkan di Makkah, manusia di berbagai penjuru peradabannya telah mengenal perbudakan manusia.
Kedua, perbudakan bukan sekedar masalah manusia menindas manusia, namun perbudakan adalah sebuah sistem hukum, sistem ekonomi dan juga sistem sosial yang berlaku. Kalau kami katakan ‘sistem’, berarti terkait dengan sebuah mata rantai dan keterkaitan dengan banyak hal.
Maka penyelesaian masalah budak itu bukan dengan teriak-teriak atau kampanye di sana-sini. Penyelesaian masalah perbudakan manusia itu harus dengan sistem juga.
Karena itu Anda jarang-jarang menemukan kalimat dari beliau SAW yang secara eksplisit menyebutkan keharusan untuk menghapuskan perbudakan. Walau pun bukan sama sekali tidak ada. Bukankah beliau bersabda: An-nasu sawasiyatun ka asnanil mushthi. Manusia itu sejajar seperti sejajarnya gigi pada sisir?
Bahkan Al-Quran secara tegas menyebutkan bahwa sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling taqwa.
Yang Rasulullah SAw lakukan bukan sekedar pernyataan atau kutukan, melainkantindakan nyata. Tindakan ini bersifat sistematis untuk secara implemantatif mengakhiri perbudakan.
Ketiga, cara yang dilakukan itu adalah menutup semua pintu ke arah perbudakan. Kemudian membuka pintu selebar-lebarnya agar para budak bisa merdeka. Di antaranya dengan cara:
- Islam Melarang Riba
Di antara hikmah diharamkannya praktek riba di masa nabi adalah agar tidak ada orang yang terbelit rentenir lalu karena tidak bisa bayar, akhirnya dirinya atau anaknya dijadikan budak sebagai tebusan.
Praktek riba diharamkan, karena di masa itu riba adalah salah satu pintu masuk yang utama terjerumusnya manusia ke dalam perbudakan. Kalau diurutkan ke asal muasalnya, di Makkah terdapat begitu banyak budak yang dulunya orang merdeka. Namun karena sistem ekonomi yang ribawi, akhirnya begitu banyak orang jatuh ke dalam perbudakan.
Datangnya Islam bukan semata untuk menghapuskan perbudakan, melainkan juga mencabut akar penyebab utamanya, yaitu riba.
- Islam Menghukum Mati Penyamun
Di masa sebelum Islam, kafilah dagang atau siapa pun yang melintas di tengah padang pasir, selalu akan jadi sasaran empuk para quttha’ut thuruq. Mereka adalah para penyamun, perampok, begal, atau bajing luncat yang kerjanya merampok, membunuh dan menjadikan tawanan sebagai budak.
Perampokan dan penculikan adalah pintu kedua jatuhnya manusia kepada perbudakan. Karena itu pintu kedua ini pun juga ditutup rapat-rapat oleh Islam. Islam sangat tidak membenarkan praktek seperti ini, bahkan mengancam hukuman yang sangat berat.
Di dalam Al-Quran, mereka ditetapkan untuk dijatuhi hukuman mati, bahkan dengan cara disalib dan dipotong kaki dan tangan secara bersilangan.
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri. Yang demikian itu suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar (QS. Al-Maidah: 33)
Sejak turunnya ayat ini, kita tidak mengenal lagi adanya perbudakan karena seseorang menjadi korban penyamun di jalan.
- Hukum Islam Menetapkan Bahwa Anak Budak Bukan Budak
Berikutnya, syariat Islam telah menetapkan bahwa bila seorang yang bukan budak menikah dengan budak, maka anak yang lahir dari pernikahan mereka berstatus orang merdeka. Bukan berstatus budak.
Dengan demikian, maka secara sistematis setiap budak tidak akan melahirkan budak, melainkan akan melahirkan orang merdeka. Lalu seiring berjalannya waktu, maka populasi budak akan semakin menipis lalu ‘punah’ dengan sendirinya.
D. Denda dan Kaffarat Berupa Memerdekakan Budak
Ada begitu banyak larangan dalam syariah Islam. Kalau larangan itu dilanggar, biasanya ditetapkan tebusannya (kaffarah). Yang paling sering di antara bentuk kaffarah atas suatu kesalahan atau dosa besar adalah dengan jalan membebaskan budak.
Misalnya pelanggaran atas dosa membunuh nyawa seorang muslim yang dilakukan secara salah (tidak sengaja), maka di antara pilihan kaffarahnya adalah membebaskan budak. Sebagaimana firman Allah SWT:
Dan tidak layak bagi seorang mu’min membunuh seorang mu’min, kecuali karena tersalah, dan barangsiapa membunuh seorang mu’min karena tersalah ia memerdekakan seorang budak yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (QS. An-Nisa: 92)
Selain itu apabila ada orang melanggar sumpah yang pernah diikrarkannya, juga ada pilihan tebusan dengan cara memerdekakan budak.
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud, tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. (QS. Al-Maidah: 98)
Pilihan untuk membebaskan budak juga berlaku buat suami yang menzhihar isterinya, yaitu apabila dia ingin kembali kepada isterinya. Maka sebelum berjima’, wajiblah atasnya untuk memerdekakan budak.
Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu berjima’. (QS. Al-Mujadilah: 3)
Pelanggaran atas kesucian bulan Ramadhan pun salah satu bentuk kaffarahnya dengan memerdekakan budak. Yaitu buat pasangan suami isteri yang melakukan hubungan jima’ pada saat sedang berpuasa wajib Ramadhan.
Dan masih banyak lagi sistem yang telah diterapkan langsung oleh beliau SAW, sehingga dunia Islam termasuk yang paling awal steril dari perbudakan. Lihat bagaimana bangsa Eropa, Eropa dan Autralia di abad 20 sekalipun masih mengenal perbudakan, bahkan masih menjalankannya.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc