Seperti yang tertulis dalam buku Al-Qaulu al-Mufid ala kitabi at-Tauhid bahwa kata tauhid adalah mashdar dari kata wahhada. Kata yang mengikuti wazan fa’ala ini secara bahasa memiliki arti menunggalkan sesuatu dan menafikan yang lain.
Sedangkan secara terminologi, kata ini berarti menyisihkan segala sesuatu selain Allah, dan menunggalkannya dalam tiga hal. Yaitu, rububiyahnya (ketuhanan dan kuasanya), uluhiyahnya (ketuhanannya yang wajib disembah), dan asma dan shifat.
Ketiga ranah di atas adalah tiga esensi penting yang harus terpatri dalam hati seorang Muslim. Maka, saat kamu menyebutkan kata la ilaha illa Allah, secara otomatis berarti kamu telah menunggalkan Allah Swt dan menafikan yang lainnya dalam kuasanya, ketuhanannya, nama, dan sifat-sifatnya.
Dalam bahasa yang berbeda, walaupun kata la ilaha illa Allah secara leksikal memiliki arti (bahwa tidak ada tuhan selain Allah). Hanya saja di balik itu semua kalimat tersebut mangandung esensi yang sangat dalam.
Saat kita mengucapkannya, maka secara otomatis kita telah mengakui bahwa tidak ada Tuhan yang berkuasa selain Allah (rububiyyah), tidak ada Tuhan yang wajib di sembah selain Allah (uluhiyyah), dan tidak ada nama dan sifat yang menyamai keagungan nama dan sifatnya Allah Swt. (Asma dan shifat).
Pembahasan tentang ketiga ranah tauhid ini termaktub di dalam Alquran surat Maryam ayat 65 sebagai berikut:
رب السماوات والأرض وما بينهما فاعبده واصطبر لعبادته هل تعلم له سمياً
Dialah Tuhan yang menguasai langit dan bumi dan yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadah kepada-Nya. Apakah engkau mengetahui ada sesuatu yang sama dengan-Nya? (QS. Maryam: 65)
Dalam kitab At-Tafsir al-Kabir, imam Ar-Razi menukil penjelasan dari tafsir Al-Kasyaf yang menjelaskan bahwa ayat ini merupakan khitab Allah untuk Nabi ﷺ bahwa Dialah yang menguasai langit dan bumi serta seluruh isinya. Kemudian, mendatangkan perintah untuk sabar dalam beribadah dan menghadapi segala masyaqah (kesusahan-kesusahan) dalam menjalani ibadah, tuntutan dan menyampaikan dakwah tersebut.
Setelah mendatangkan perintah untuk bersabar tersebut, kemudian Allah mendatangkan illat (alasan) dari perintah di atas dengan mengatakan hal ta’lam lahu samiyya yang artinya (bersabarlah dalam beribadah, karena bukankah kamu tahu bahwa tidak ada yang menyamai Allah Swt.)
Bentuk kesamaan yang dibahas dalam tafsir di atas adalah hal yang masih kompleks, beberapa ulama mengatakan bahwa yang dimaksud kesamaan di atas adalah kesamaan dalam hal pemberi nikmat yang agung. Bahwa tidak ada dzat lain yang bisa menyamai Allah sebagai pemberi nikmat yang agung, oleh sebab itu bersabarlah kamu dalam menjalani ibadahmu.
Kenikmatan yang di maksud di sini adalah kenikmatan zahir dan batin. Yakni kesempurnaan dalam menciptakan raga, akal, kesehatan dan lain sebagainya. Dengan alasan atau illat di atas, tidak ada lagi bagimu untuk menolak perintah bersabar dalam menjani ibadah kepada-Nya.
Tauhid Rububiyah, Uluhiyah, dan Asma’ wa Shifat
Dari penafsiran di atas, agaknya kita dapat memahami bahwa sepenggal ayat di atas telah memberikan gambaran bagi kita tentang ke-Esaan Allah yang meliputi tiga ranah esensial.
Yaitu rububiyah (kekuasaan yang hanya dimiliki Allah dalam menciptakan dan mengatur segala hal yang ada di dunia ini). Disusul dengan perintah bersabar dalam beribadah kepadanya yang menandakan tauhid uluhiyyah (ke-Esaan Allah dalam hal peribadahan).
Perintah tersebut kemudian dibarengi dengan alasan bahwa tidak ada dzat lain yang mampu menyamai keagungan Allah baik dari shifat dan nama-Nya. Oleh sebab itu penggalan ayat terakhir mengindikasikan adanya tauhid Asma dan shifat (tidak ada dzat lain yang menyamai Allah baik dari sifat dan namanya).
Begitulah ketiga pembahasan tauhid yang tercermin dalam sepenggal kalimat tauhid la ilaha illa Allah. Sepenggal kalimat pendek yang berarti besar dan mendalam. Kalimat ini banyak sekali dijadikan sebagai parameter keimanan seseorang.
Sebaiknya kita mengkaji betul esensi dari kalimat tersebut agar keimanan yang kita miliki benar-benar terisi dengan makna dan esensi yang sebenarnya.
Pada dasarnya, untuk menemukan makna esensial dari kalimat tauhid ini, ada beberapa syarat yang perlu dipenuhi sebagaimana berikut.
Syarat-syarat Mengucapkan Kalimat Tauhid
1. Memahami maknanya
Yang dimaksudkan dari syarat pertama ini adalah ketika kita mengucapkan kalimat sakral ini seharusnya kita juga memahami betul apa yang dimaksudkan dari kalimat tersebut.
Hal ini bertujuan agar keimanan dan pengakuan yang kita lakukan bahwa tiada Tuhan yang wajib disembah kecuali hanya Allah tidaklah berupa kulit belaka. Akan tetapi juga disertakan akal dan hati kita.