Asalamu’alaikum wr. Wb
Apakah hukum-hukum seperti wajib, haram, sunat, makruh dan mubah itu semua memang ditetapkan oleh Nabi Muhammad SAW? Terima kasih atas jawabannya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Esensi hukum-hukum itu ditetapkan oleh Allah SWT, lalu disampaikan kepada manusia lewat Rasulullah SAW. Namun istilah yang digunakan tidak selalu menggunakan kelima istilah tersebut. Ada kalanya Allah SWT menggunakan istilah haram, namun ada kalanya menggunakan istilah lain, namun dengan esensi larangan yang sama.
Sebagai ilustrasi, di dalam ayat Al-Quran seringkali Allah SWT menyeutkan keharaman atas suatu hal. Perhatikan ayat berikut ini:
Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu isterimu, anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu, maka tidak berdosa kamu mengawininya, isteri-isteri anak kandungmu, dan menghimpunkan dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa: 23)
Ayat di atas tegas sekali menyebutkan bahwa menikahi para wanita yang disebutkan hukumnya HARAM. Allah SWT secara langsung menggunakan kata haram untuk sesuatu yang dilarangnya.
Diharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan yang disembelih untuk berhala…(QS. Al-Maidah: 3)
Ayat ini juga menggunakan istilah ‘haram’ untuk sesuatu yang terlarang, yaitu haram untuk memakan makanan yang disebutkan.
Namun tidak semua larangan atau sesuatu yang diharamkan di dalam Al-Quran, selalu diungkapkan dengan istilah ‘haram’. Terkadang hanya dengan kata larangan seperti ‘Janganlah’, ‘Jauhi’, ‘Tinggalkanlah’. Bahkan dengan alasan tertentu, kadang Allah SWT malahmalah kata perintah, padahal esensinya larangan.
Maka tidak semua yang haram itu disebutkan dengan ungkapan kata haram. Demikian juga sebaliknya, tidak semua kewajiban itu disebutkan dengan istilah wajib. Kadang menggunakan kata perintah seperti kerjkanlah, makanlah, minumlah, segeralah dan seterusnya.
Lalu dari mana munculnya 5 istilah di atas?
Kelima istilah di atas disusun sedemikian rupa oleh para ahli syariah (baca: fiqih dan ushul fiqih). Seperti Al-Imam Abu Hanifah, Al-Imam Malik, Al-Imam As-Syfi’i dan Al-Imam Ahmad bin Hanbal, rahimahumullah
Maka di situlah kebutuhan kita kepada para ahli fiqih. Mereka melakukan penelusuran ke semua dalil, baik dari Al-Quran maupun As-Sunnah, hingga pada akhirnya mereka bisa memetakan hukum-hukum di atas dengan rinci, mudah dan spesifik.
Mereka membuat lima istilah baku utama, yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram, dengan tujuan untuk memudahkan. Tentunya kelima istilah ini merupakan hasil ijtihad, karena tidak ada satu pun ayat atau hadits yang bunyinya, "Hukum itu ada lima: wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram.
Namun seluruh umat Islam sepanjang sejarah mengakui peran dan jasa besar para ahli fiqih. Dengan menggunakan lima format dasar hukum ini, agama menjadi mudah dan enak dipetakan.
Sekedar untuk diketahui, sebenarnya hukum itu bukan hanya lima saja. Selain wajib ada juga fardhu, lalu fardhu sendiri ada kifa’i dan ‘aini. Selain sunnah, ada juga mandub. Sunnah sendiri yang muakkadah dan ghairu muakkadah. Dan demikian seterusnya.
Untuk lebih mendalami istilah-istilah di atas, ada baiknya anda belajar dan mendalami ilmu ushul fiqih. Ilmu ini mutlak diperlukan oleh seorang muslim, terutama yang mereka yang ingin mendalami masalah agama.
Seandainya penanggung-jawab kurikulum pendidikan di negeri ini orang yang mengerti ilmu agama, seharusnya ilmu ushul fiqih masuk ke dalam kurikulum pendidikan nasional di tingkat dasar. Tidaklah seorang murid SD lulus dari sekolahnya, kecuali telah mengerti betul ilmu ini.
Sayangnya, negeri ini sangat sekuler dari pendidikan agama. Bahkan untuk sekolah madrsah sekalipun, kira merasakan kualitas kurikulumnya sangat rendah.
Semoga di masa mendatang, ilmu-ilmu agama lebih tersebar lagi dan bisa masuk ke dalam kurikulum nasional.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc