Assalamualaikum.
Uztad, saya mau tanya singkat aja. Apakah Allah SWT memberikan hak kepada manusia untuk boleh menghakimi saudara muslimnya yang lain sebagai ahli bidah hanya karena perbedaan penafsiran terhadap suatu hadist atau ayat dalam Al-Quran.
Jika ada tolong, uztad, dasarnya apabila memang Allah SWT memberikan hak itu kepada kita. Terima kasih, uztad.
Wassalam.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Kalau pertanyaan anda adalah hak untuk menghakimi, kata ‘menghakimi’ adalah tugas untuk menjadi hakim. Maka hak untuk menghakimi bahwa seseorang divonis sebagai ahli bid’ah secara menunjuk batang hidung hanya ada di tangan seorang hakim formal, di mana dia bekerja atas nama negara.
Namun kalau sekedar berijtihad dan berpendapat bahwa suatu pekerjaan tertentu dinilai telah masuk kategori bid’ah, tentu hak semua ulama. Dalam hal ini tentu ulama yang punya kapabilitas dan ilmu yang cukup akan hal tersebut.
Beda antara keduanya adalah bahwa hakim bekerja untuk kasus per kasus, yang melibatkan tersangka tertentu. Dan hakim berhak menjatuhkan vonis dan menetapkan jenis hukuman tertentu.
Sedangkan fatwa dan ijtihad dari seorang ulama, umumnya tidak langsung menyangkut orang per orang, melainkan pandangan secara umum tentang suatu perbuatan. Tidak ada orang yang ditunjuk hidungnya secara langsung. Dan tentunya, ulama itu tidak punya hak untuk menjatuhkan vonis dan cap tertentu kepada tertuduh.
Dalam kapasitas sebagai hakim syariah, vonis sebagai ahli bid’ah bila telah dijatuhkan, maka status itu bersifat resmi dan sah dalam pandangan negara. Dan sah juga bila kepadanya dijatuhkan sanksi, baik peringatan resmi atau mungkin hukuman pisik seperti penjara, cambuk atau lainnya.
Namun sebelumnya, proses itu harus melewati sebuah pengadilan mahkamah syar’iyah yang formal dan sah. Seorang hakim profesional tidak bekerja denganasal main tuding saja. Untuk itu harus dihadirkan para saksi ahli yang piawai dan ahli di bidang hukum, khususnya masalah perbid’ahan. Para saksi ahli ini bisa saja para ulama yang ahli di bidang perbid’ahan tadi.
Dalam kinerjanya, hakimwajib mempelajari latar belakang si terdakwa, mengapasampai terjerumus ke dalam jurang bid’ah. Apakah karena ketidak-tahuannya? Atau mungkinkarena kasusnya masih dalam area ikhtilaf di antara para ulama? Ataukah memang sengaja melawan hukum syariah yang sudah baku? Semua harus diteliti satu persatu, agar jangan sampai kita salah vonis dan terjadi kesewenangan hukum.
Pendeknya, pekerjaan seperti ini butuh kepiawaian dan keahlian, selain sikap adil dan tahu kondisi umat.
Sedangkan para ulama yang tidak punya kapasitas sebagai hakim resmi, boleh berfatwa dan punya pandangan. Tetapi tidak berhak untuk main tunjuk hidung dan menyematkan ‘tanda ahli bid’ah’ di dahi orang yang belum jelas kasusnya. Juga tidak berhak untuk menghujat kelompok orang dalam jumlah besar sebagai kaum ahli bid’ah begitu saja, tanpa penelitian dan penelusuran yang serius dan adil.
Sikap dan karakter untuk main tuding secara sembarangan, sebenarnya sangat beresiko. Sebab boleh jadi orang yang dituduh pelaku bid’ah ternyata tidak melakukannya. Baik karena memang bukan bid’ah atau karena dia sama sekali tidak melakukannya.
Main tuduh orang lain melakukan sebuah kemaksiatan termasuk main tuduh bid’ah sebaiknya dihindari. Sebab semua tindakan kita di dunia ini, pada hari kiamat nanti harus kita pertanggung-jawabkandi hadapan Allah SWT.Memutuskan perkara secara sepihak, tanpa melihat latar belakang dan duduk permasalahannya, adalah terlarang.
Padahal boleh jadi apa yang menjadi pendapatnya itu tidak disepakati oleh para ulama lainnya. Mungkin saja apa yang dianggapnya sebagai bid’ah, oleh ulama lain yang selevel bahkan yang lebih tinggi lagi levelnya, malah dikatakan bukan bid’ah.
Sesungguhnya polemik tentang bid’ah merupakan hal yang tidak pernah bisa diselesaikan dengan cara menuduh orang lain sebagai pelaku bid’ah. Polemik tentang bid’ah sepenuhnya adalah urusan ijtihad, sehingga sangat lebar terbuka kemungkinan adanya perbedaan pandangan dalam menilai.
Seorang ulama yang ahli, tidak mungkin terlalu mudah menjatuhkan vonis kepada orang lain sebagai ahli bid’ah. Yang mereka lakukan adalah memberikan wacana, analisa serta dalil-dalil untuk dijadikan hujjah (argumentasi) tentang suatu masalah yang terkait dengan urusan bid’ah atau tidak. Yang ke luar dari mulutnya bukan vonis, melainkan upaya untuk melakukan ijtihad. Hasil ijtihad itu disampaikan dengan cara yang simpatik, tanpa harus menghina atau menyakiti.
Ulama yang baik adalah yang mengatakan bahwa pendapat dirinya mungkin benar, namun dia juga mengakui bahwa bukan berarti dirinya selalu benar. Sementara dia bleh mengatakan bahwa pendapat orang lain mungkin salah, tetapi bukan berarti bahwa semua pendapat orang lain yang tidak sesuai dengan pendapat dirinya harus selalu salah. Itulah ciri ulama yang shalih dan tawadhu‘. Dan itulah ciri khas ulama di zaman salafusshalih di masa lalu.
Sungguh kita sangat merindukan munculnya ulama salafushshalih seperti ini, yang menenangkan umat, bukan bikin resah. Sandainya di zaman sekarang ini, para dai dantokoh agama bisa meniru akhlaq para salafusshalih di atas, tentu umat Islam akan semakin pandai. Bahkan dijamin bid’ah akan semakin terkikis. Sebab umat akan dengan mudah memahami dan meresapi konsep kebenaran. Kalau memang sebuah perbuatan itu memang bid’ah betulan, maka dengan sendirinya dan dengan penuh kesadaran, mereka akan meninggalkannya. Tanpa harus dicaci maki atau ditolol-tolol-i.
Tetapi kalau yang umat terima hanya makian, cacian, ejekan, serta tudingan sebagai ahli bid’ah tanpa melihat situasi dan kondisinya, sangat boleh jadi umat bukan meninggalkan bid’ah, mereka malah bersikap memusuhi. Akhirnya, bid’ah tetap berjalan, karena orang yang bertugas memberantas bid’ah malah dijauhi umat. Bukan karena umat membangkang, tetapi karena para tokoh pembasmi bid’ah-nya oleh umat dianggap arogan serta kurang sopan.
Memberantas bid’ah itu hukumnya wajib. Tetapi kalau caranya malah bid’ah juga, maka hukumnya jadi haram.
Semoga Allah SWT memberikan jalan terbaik bagi kita semua untuk memberantas bid’ah dhalalah, serta menunjuki kita untuk memudahkan prosesnya dengan tetap berjalan di atas manhaj dari Rasulullah SAW.
Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc