Assalamu’alaikum Wr Wb
Pak Ustadz, Sejak kecil saya diajarkan tentang Rukun Iman dan urutannya yang telah fixed. Tapi baru sekarang saya sadar, bahwa sampai sekarang saya tidak pernah menanyakan asal muasalnya.. Apakah ada urutan rukun iman itu di Al-Quran atau mungkin di hadist Rasul? Jika ada, bisakah bapak menjelaskan darimana referensi tersebut..
Terus terang, saya pribadi kurang yakin dengan hadist-hadist Rasul yang beredar sekarang, karena kita sama sekali tidak tahu keabsahannya. Bisa saja orang-orang kafir menciptakan cerita-cerita dan mengatakan bahwa itu adalah hadis yang dapat dipercaya. Terima kasih atas perhatiannya.
Wass Wr Wb
Asslamu alaikum wrahmatullahi wabarakatuh,
Rukun iman yang enam itu secara lengkap terdapat di dalam sebuah hadits yang amat terkenal dan juga shahih. Keshahihannya tidak diragukan lagi oleh para ulama. Bahkan Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menempatkannya dalam urutan pertama dalam susunan hadits arba’in (40 hadits utama).
Salah satu petikannya adalah:“Iman adalah percaya kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya, Hari Akhir dan kepada Qadar baik dan buruk-Nya dari Allah taala. (HR. Muttafaq ‘alaihi)
Mengapa Ragu?
Sebenarnya anda tidak perlu ragu-ragu dengan hadits nabawi yang beredar sekarang maupun di masa lalu. Sebab sejak fajar Islam menyingsing di masa lalu, Allah sudah menjamin keaslian agama ini dari kemungkinan dipalsukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung-jawab. Shahih tidaknya suatu hadits bisa dengan mudah kita lihat dari perawinya. Lagi pula kita masih punya banyak ulama hadits, yang bisa dengan mudah kita tanya dan minta penjelasan tentang keshahihan suatu hadits.
Khususnya dalam pemeliharaan keaslian sunnah nabawiyah, Allah SWT berkenan membangkitkan dari putera-putera Islam, orang-orang yang menjadi pemelihara, pembela dan pelindungnya. Mereka telah melakukan penelusuran riwayat tiap-tiap hadits nabawi yang ada. Bahkan mereka berhasil mendirikan sebuah disiplin ilmu mandiri yang kita kenal dengan ilmu riwayat.
Ilmu seperti ini tidak pernah ditemukan sebelumnya dan sesudahnya, bahkan di luar dunia Islam sekalipun. Bayangkan, bagaimana di masa itu dengan media informasi yang terbatas, para ulama mengadakan tour abadi untuk mengejar keshahihan sebuah hadits, dari satu negeri ke negeri yang lain. Dengan menggunakan metodologi yang nyaris tidak pernah terpikirkan oleh ilmuwan dari dunia barat.
Intinya, mereka menggunakan dua parameter. Pertama, dengan melihat kondisi ke-dhabit-an perawi. Ini untuk memastikan apakah seorang yang meriwayatkan sebuah hadits memang seorang yang punya kemampuan untuk menghafal hadits yang disampaikannya itu dengan benar, baik pada matan (redaksi) maupun pada jalur (sanad) periwayatannya. Adakah seorang perawi memenuhi segala macam persyaratan yang sangat berat itu.
Dari sini akan ketahuan apakah riwayat suatu hadits benar-benar bisa dipertanggung-jawabkan kebenarannya atau tidak. Bila perawi ketahuan sebagai orang yang kurang hafalannya, atau tidak mampu menyebutkan jalur periwayatannya secara pasti, maka haditsnya itu akan dibuang ke tempat sampah.
Apalagi bila sampai ketahuan bahwa hadits itu tidak punya asal-usul, alias hadits palsu. Tentu dengan mudah akan segera ketahuan.
Kedua, paramater yang digunakan adalah sisi ‘adaalatur-rawi, yaitu penilaian terhadap pribadi si perawi. Benarkah dirinya seorang muslim yang serius menjalankan agama atau tidak? Yang dinilai adalah aspek aqidah, syariah dan akhlaq si perawi. Bahkan termasuk muru’ah yang sering dianggap agak sepele, ternyata turut dijadikan ukuran keshahihan suatu hadits.
Seringkali disebutkan bahwa bila seorang perawi punya akhlaq yang kurang baik, atau mengerjakan hal-hal yang mengurangi muru’ah-nya, maka nilainya akan dikurangi secara sangat signifikan.
Para perawi itu dari level terakhir hingga ke level pertama, yaitu di tingkat shahabat sebelum sampai kepada Rasulullah SAW, lalu didata dan ditabulasi sedemikian rupa dalam ratusan kitab terkenal. Kondisi hafalan mereka, kemampuan mereka dalam menyimpan, bahkan sifat-sifat mereka, semua terdata dengan rapi di dalam database para ulama.
Kitab-kita yang memuat data para perawi itu dikenal sebagai kitab rijalul hadits. Kitab-kitab seperti ini barangkali kurang populer di kalangan awam. Bahkan kalau anda cari di toko buku di Indonesia, penjualnya pun akan kebingungan. Namun ketahuilah, bahwa semua data mereka sudah tercatat dengan rapi.
Tinggal para ulama hadits melakukan penelitian atas masing-masing hadits itu dengan dilakukan penilaian pada para perawinya. Namun di dalam catatan mereka, tiap hadits itu sudah terlacak dengan jelas peta penyebarannya, mulai dari mulut Rasulullah SAW ke generasi pertama (shahabat), lalu ke generasi kedua (tabi’in), lalu ke generasi ketiga (atba’ut-tabi’in), lalu ke generasi berikutnya lagi. Tugas para ulama di masa itu tinggal melakukan dua sisi penilaian utama dari masing-masing orang itu. Salah satu hadits itu adalah hadits berikut ini:
Rasululah SAW bersabda,"Bila salah seorang dari kamu bangun dari tidurnya, maka hendaklah dia mencuci tangannya, karena dia tidak tahu semalam tangannya berada di mana”.
Di tangan para ulama sudah ada peta penyebaran hadits itu. Pada level pertama (tabaqah ula), hadits inidisampaikan oleh Rasulullah SAW kepada para shahaat. Tercatat ada 5 orang shahabat yang berbeda yang menyampaikan kembali hadits ini. Mereka adalah:
- Abu Hurairah ra
- Ibnu Umar ra
- Jabir bin Abdillah ra
- Aisyah ra
- Ali bin Abi Thalib ra
Kemudian, masing-masing shahabat meriwayatkan kembali hadits yang pernah didengarnya langsung dari Rasulullah SAW. Salah seorang dari shahabat itu, yaitu Abu Hurairah ra kemudian meriwayatkan hadits ini kepada orang lain. Tercatat ada 13 orang pada level kedua yang mendapatkan hadits ini dari Abi Hurairah. Mereka adalah para tabi`in.
Kemudian hadits ini bisa dilacak lagi ke bawah, di mana kita bisa dengan mudah mengetahui bahwa ke-13 orang ini lalu menyebar ke berbagai penjuru dunia. Dalam database tercatat dari 13 orang itu ada 8 orang yang menerima hadits ini dan tinggal di Madinah, ada satu orang tinggal di Kufah, ada 2 orang tinggal di Bashrah, satu orang tinggal di Yaman dan seorang lagi tinggal di Syam.
Kemudian ke 13 tabi`in ini lalu meriwayatkan lagi hadits itu kepada generasi berikutnya (level ketiga), yang kita sebut sebagai atba`ut-tabi`in. Dan jumlah mereka menjadi 16 orang. Detailnya adalah ada 6 orang tinggal di Madinah, 4 orang di Bashrah, 2 orang di Kufah, 1 orang di Makkah, 1 orang di Yaman, 1 orang di Khurasan dan 1 orang di Himsh Syam.
Maka amat mustahil ke 16 orang yang domisilinya terpencar-pencar di beragam ujung dunia itu pernah berkumpul bersama pada suatu saat untuk membuat hadits palsu bersama yang redaksinya sama. Atau mustahil pula mereka masing-masing di rumahnya membuat hadits lalu kebetulan semua bisa sama sampai pada tingkat redaksinya.
Padahal ke 16 orang itu baru dari jalur Abu Hurairah saja. Apabila jumlah rawi itu ditambah dengan yang dari ke 4 shahabat lainnya, maka jumlahnya akan menjadi lebih banyak.
Pesan Buat Para Pengingkar Hadits
Para pengingkar hadits dari kalangan muslimin sebenarnya perlu membuka mata untuk tahu dari manakah sebenarnya pemikiran keliru itu mereka lahap. Tidak lain dari para orientalis yang sejak awal sudah punya niat tidak baik terhadap Islam.
Seharusnya mereka perlu sedikit lebih mawas diri untuk belajar dan memperdalam ilmu agama secara benar, agar tidak terlalu mudah terlena dengan bujuk rayu musuh Islam.
Sayangnya kebanyakan mereka justru terlalu awam dengan ajaran Islam, ditambah terlalu mudah terpesona dengan apa yang lahir dari mulut musuh-musuh Islam. Seolah-olah barat itu sumber kebenaran satu-satunya.
Wassslamu alaikum wrahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc