Assalamualaikum w. w.
Pak Ustadz, mohon jawabannya, arena belum ada ustadz yang menjelaskan tentang ini.
- Apakah pada waktu Nabi Adam dan Hawa di surga dulu, sebelum turun ke dunia, melihat zat Allah langsung?
- Begitu juga dengan malaikat,apakah percakapan antara malaikat dengan Allah pada waktu hendak menciptakan Nabi Adam itu berhadapan dan melihat langsung zat Allah. (Q.S.2:30).
- Bagaimana dengan membangkangnya iblis ketika diperintahkan untuk sujud. Apakah iblis juga melihat zat Allah langsung?
- Bagaimana dengan mi’raj Rosulullah. Apakah waktu tawar menawar jumlah rokaat sholat,juga melihat dan berbicara langsung dengan Allah.
Atas penjelasan Pak Ustadz saya ucapkan banyak terima kasih. Wassalamu’alaikum w. w.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wa barakatuh,
Alhamdulillah wash-shalatu wassalamu ‘ala rsulillah, wa ba’du
Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Sempurna, tidak bisa dilihat namun bisa melihat segala sesuatu. Kepastian tentang tidak mungkin dilihatnya Allah SWT oleh manusia bisa kita dapatkan di dalam banyak dalil, antara lain :
Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui. (QS Al-An’am : 103)
Jadi mengatakan bahwa Allah SWT itu bisa dilihat adalah hal yang menyalahi Al-Quran Al-Kariem sendiri. Selain ayat ini, ayat lain pun akan mengatakan kemustahilan seseorang bisa melihat zat Allah. Misalnya di dalam surat Al-Ikhlas, Allah menegaskan bahwa diri-Nya tidak bisa disetarakan dengan sesuatu.
Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia". (QS Al-Ikhlas: 4)
Di dalam Al-Quran juga diceritakan tentang keinginan manusia untuk melihat wujud asli Allah SWT. Namun sudah dipastikan bahwa selama di dunia ini, manusia tidak akan pernah mampu untuk melihat-Nya. Bahkan sampai tidak mau menyembah Allah kalau tidak melihat dulu. Sikap rendah seperti ini hanya datang dari bangsa yang kurang memiliki kecerdasan teologis, sehingga Allah SWT murka kepada mereka.
Dan ketika kamu berkata, "Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang , karena itu kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya." (QS Al-Baqarah: 55)
Bahkan meski dengan maksud baik-baik dari hamba-Nya seperti Nabi Musa as, Allah SWT pun tidak akan pernah dilihat dengan mata telanjang. Hal demikian pernah terjadi dalam diri Nabi yang dijuluki kalamullah ini.
Dan tatkala Musa datang untuk pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman kepadanya, berkatalah Musa, "Ya Tuhanku, nampakkanlah kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau." Tuhan berfirman, "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya niscaya kamu dapat melihat-Ku." Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu , dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata, "Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman." (QS.Al-A’rah 143)
Jangankan manusia yang lemah dan papa, bahkan ketika Allah SWT menampakkan diri kepada gunung sekalipun, maka hancurlah gunung itu. Sebab zat Allah memang betul-betul mustahil dilihat oleh makhluqnya. Meski nabi Musa as. adalah orang yang termasuk paling sering menerima mukjizat dari-Nya. Tapi khusus untuk bisa melihat Allah, fasilitas itu tidak ada. Apalagi makhul lainnya yang nota bene lebih rendah derajatnya dari beliau.
Kalau pun ada keterangan tentang zat Allah SWT yang bisa dilihat, maka hal itu hanya dalam dalil-dalil yang tegas dan jumlah sedikit sekali. Di antaranya adalah keadaan orang-orang beriman di surga nanti. Di mana secara nalar, mereka sudah bukan lagi manusia biasa yang fana sebagaimana ketika masih hidup di dunia sekarang ini. Melainkan mereka telah menjelma menjadi makhluq penghuni surga.
Tentu hukum-hukum fisika yang berlaku di dalam surga itu sama sekali berbeda dengan yang ada di dunia ini. Apa un yang ada di surga nanti memang semata-mata belum pernah dilihat mata manusia, belum pernah didengar telinga manusia dan belum pernah terlintas di benak seorang manusia.
Dan salah satu bentuk kenikmatan paling tinggi di surga dan satu-satunya kenikamatan yang tidak akan pernah di dapat di dunia manapun adalah kemampuan bisa menikmati wajah Allah.
Informasi tersebut oleh jumhur ulama disebutkan berdasarkan dalil-dalil yang ada di dalam Al-Quran sendiri. Paling tidak ada 3 ayat yang menjelaskan hal itu, yaitu :
لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ وَلا يَرْهَقُ وُجُوهَهُمْ قَتَرٌ وَلا ذِلَّةٌ أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya. (QS Yunus ayat 26)
Para ulama dan mufassirin sepakat bahwa makna:[وَزِيَادَةٌ] (ziayadah/tambahan) maksudnya adalah melihat Allah dengan mata kepala.
إِنَّ الأَبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ عَلَى الأَرَائِكِ يَنْظُرُونَ
Sesungguhnya orang yang berbakti itu benar-benar berada dalam keni‘matan yang besar (surga), mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang (Allah).)(QS Al-Muthaffifien ayat 22-23)
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
Wajah-wajah (orang-orang mu‘min) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.(QS AL-Qiyamah ayat 22-23)
Ini adalah bagian dari paham akidah Ahlussunnah wal jamaah yang telah disepakati oleh jumhur ulama kebenarannya. Sedangkan melihat Allah di luar yang disebutkan di atas, seperti Nabi Adam ketika di surga, atau malaikat ketika bercakap-cakap dengan Allah, atau iblis yang membangkang bahkan Nabi Muhammad SAW ketika mi’raj, apakah melihat Allah SWT atau tidak, kami belum lagi menemukan landasan dalil yang syar’i yang kuat dan disepakati oleh jumhur ulama. Dan selama belum ada keterangan yang kuat berdasarkan Al-Quran dan Sunnah, kita tidak boleh mengambil kesimpulan yang menyalahi kesimpulan dalil yang sudah tegas menyatakan kemustahilan Allah SWT bisa dilihat.
Wallahu a’lam bish-shawab
Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wa barakatuh
Ahmad Sarwat, Lc.