Assalamualaikum wr. wb.
Pak Ustadz, yang saya ketahui, bahwa syirik itu ada 3: Syirik Rububiyah, Mulkiyah dan Uluhiyah. Jika salah satunya saja, kita tidak menjalankannya, maka Allah tidak menerima amal kita. Yang saya tanyakan, berarti jika kita tidak berusaha untuk menegakkan Din Islam, dalam tanda kutip tauhid mulkiyah (Undang-undang dan peraturan Islam) di Indonesia, maka kita termasuk syirik. Karena ketiga tauhid di atas tidak bisa dipisah-pisahkan. Mohon penjelasannya. Syukron.
Wassalamualaikum wr. wb.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Umumnya yang seringkali diungkapkan dalam pelajaran ilmu tauhid adalah seputar masalah rububiyah, uluhiyah dan asma’ wa shifat. Pembagian masalah tauhid kepada tiga hal ini kalau mau dirunut adalah berdasarkan apa yang ditulis oleh Syeikh Muhammad bin Abdil Wahhab At-Tamimi dalam Kitab At-Tauhid, susunan beliau yang teramat poluler itu.
Bahkan kurikulum pelajaran aqidah di beberapa universitas di Saudi Arabia umumnya menggunakan tiga konsep tauhid ini. Selain itu memang telah disusun banyak kitab syarah atas kitab At-Tauhid ini.
Sedangkan konsep tauhid mulkiyah, tidak secara tegas disebutkan di dalam kitab susunan Syeikh Muhammad bin Abdil Wahhab, meski bukan berarti beliau dan para pengikutnya menentang kewajiban penerapan hukum Islam di suatu negeri.
Istilah mulkiyatullah sendiri sesungguhnya diambil dari lafadz Al-Malik, salah satu nama Allah SWT yang juga tercantum di dalam Al-Quran, yang berarti raja atau penguasa.Kalau kita cermati surat pertama dalam susunan Al-Quran, di dalam surat Al-Fatihah akan kita dapati pernyataan pujian kepada Allah SWT sebagai rabbil-‘alamin (rububiyatullah), maaliki yaumid-diin (mulkiyatullah), iyyaka na’budu (uluhiyatullah).
Demikian juga di dalam surat terakhir Al-Quran yaitu di dalam surat An-Naas, kita diminta berlindung kepada Allah dalam tiga sifatnya, rabbinnass (rububiyatullah), malikin-nass (mulkiyatullah) dan ilahinnaas (uluhiyatullah).
Sehingga penyusunan sistem ilmu tauhid dengan tiga konsep rububiyah, mulkiyah dan uluhiyah, pada dasarnya boleh-boleh saja dan bukan hal yang mengada-ada. Sebab kalau dikatakan mengada-ada, toh sumbernya juga dari lafadz Quran juga, bahkan disebutkan secara eksplisit.
Malah tiga konsep tauhid susunan Syeikh Muhammad bin Abdil Wahhab yang hanya menyebutkan rububiyyah, uluhiyah dan asma’ wa shifat, tidak secara berurutan dan eksplisit disebutkan di dalam Al-Quran. Artinya, apa yang beliau susun itu sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari sebuah ijtihad, bukan wahyu yang turun.
Barangkali, kebutuhan yang beliau rasakan di masa itu memang sebatas apa yang beliau kemukakan. Dan selama sebuah manhaj itu merupakan ijtihad, tentu sangat dimungkinkan untuk disesuaikan dengan keadaan dan kondisi tertentu.
Tauhid Mulkiyah
Tauhid mulkiyah boleh saja dimasukkan sebagai bagian dari visi ketauhidan seorang muslim. Namun implementasinya perlu dipahami secara integral. Tauhid Mulkiyah memang menegaskan bahwa setiap muslim harus mengakui bahwa Allah SWT bukan hanya sekedar Maha Mencipta, Maha Memberi Rizki, Maha Memelihara atau Maha Memiliki, tetapi juga sampai batas pengakuan bahwa hanya Allah SWT saja yang berhak membuat hukum dan undang-undang untuk mengatur hidup manusia.
Kalau pun ada peraturan, undang-undang atau detail hukum yang diserahkan kepada manusia (qadhi), maka harus merujuk kepada Al-Quran dan Sunnah, paling tidak, bebas dari tabrakan dengan sumber-sumber hukum Islam.
Dasarnya adalah firman-firman Allah SWT berikut ini:
أليس الله بأحكام الحاكمين
Bukankah Allah hakim yang paling adil? (QS. At-Tiin: 8)
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيمًا
Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.(QS. An-Nisa: 65)
وَأَنِ احْكُم بَيْنَهُم بِمَآ أَنزَلَ اللّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءهُمْ
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. (QS. Al-Maidah: 49)
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan siapakah yang lebih baik daripada Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS. Al-Maidah: 50)
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. Al-Maidah: 44)
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim. (QS. Al-Maidah: 45)
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasiq. (QS. Al-Maidah: 47)
Tauhid Mulkiyah Bukan Takfir
Namun demikian, apa yang kita pahami dari tauhid mulkiyah ini jangan sampai tergelincir kepada paham sesat takfir. Tauhid mulkiyah tidak dipahami sebagai kaedah bahwa setiap orang yang tidak berhukum pada hukum Allah lantas menjadi kafir dengan sendirinya.
Bagaimana dengan mereka yang memang ditakdirkan lahir di negeri yang tidak menjalankan hukum Allah? Bahkan kalau kita mau lebih ekstrem lagi, hari ini sesungguhnya tidak ada negeri yang menerapkan hukum Allah.
Tauhid Mulkiyah tidak disusun dalam konsep untuk mengkafirkan orang yang kebetulan menjadi penduduk di negeri yang tidak menjalankan hukum Allah. Karena mereka bukanlah penguasa yang punya tanggung-jawab untuk menerapkan hukum Allah sebagai undang-undang positif yang berlaku.
Tauhid mulikyah menuntut umat Islam dengan segala kemampunan dan wewenangnya untuk mengakui Allah sebagai Al-Hakim (pembuat hukum dan sumber). Paling tidak ini harus menjadi i‘tiqad yang menghujam di dalam hati. Dan secara lisan kita harus mengakui bahwa hanya hukum Allah-lah yang benar dan harus diikuti sebagai seorang muslim.
Seseorang menjadi tidak benar i‘tiqadnya secara mulkiyah, bila secara terang-terangan tidak mengakui kebenaran hukum Islam, menolaknya atau membencinya. Seorang menjadi rusak aqidahnya secara mulkiyah, bila memerangi hukum yang Allah turunkan, apalagi sampai menghina dan mengatakan bahwa hukum Allah itu hanya untuk orang arab padang pasir saja.
Namun untuk menggolongkan mereka secara langsung sebagai musyrikin, tentu tidak sederhana itu. Karena, sebuah tuduhan harus di dasarkan pada kekuatan hukum dan bukti-bukti yang kuat. Tidak bisa dengan mudah menuduh seseorang atau menjatuhkan vonis sebagai musyrik kepada sembarang orang.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc