Assalamu’alikum Wr. Wb
Pak Ustadz yang saya hormati,
Tadarrus Al-Qur’an (di negeri kita) yang menurut Pak Ustadz lebih tepatnya dinamakan "Tilawah Wal Istima’ biasanya dilakukan di bulan Ramadhan dengan semarak hampir di tiap-tiap masjid.
Pertanyaan saya adalah, apakah etis bila hal itu dilakukan dengan menggunakan pengeras suara dengan tujuan untuk syiar Islam sementara efek dari menggunakan pengera suara itu menyebabkan orang lain terganggu dan merasa tidak nyaman, karena hal ini dilakukan di saat kebanyakan orang sedang beristirahat (tidur)?
Saya sendiri sudah memberikan sedikit saran kepada mereka untuk tidak menggunakan pengeras suara, karena tidak menutup kemungkinan pada waktu itu banyak teman/tetangga yang sedang istirahat (tidur) akan terganggu dengan suara itu. Jadi bukannya pahala tadarus yang didapat, malah dosa karena mengganggu hak orang untuk bisa beristirahat dengan tenang, apakah saran yang saya sampaikan itu benar?, mohon pencerahannya.
Wassalam,
Sakho
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Urusan penggunaan pengeras suara di masjid untuk selain adzan, iqamat dan bacaan imam dalam shalat jahriyah memang sering menjadi kontroversi. Bahkan dalam beberapa kasus sering menjadi sebab perpecahan.
Sebagian kalangan ada yang menginginkan agar masjid punya syi’ar, tidak sepi dan terasa ada sesuatu yang berbeda. Biasanya yang mendukung hal ini adalah para pengurus masjid.
Selain itu ada yang bilang, kenapa kalau ada hajatan perkawinan, sound system dikeraskan, lagu-lagu diputar hingga terdengar ke seantero kampung, bahkan mungkin ada dangdutan, nanggap wayang, layar tancep dan seterusnya, para tetangga tidak ada yang komplein. Tapi giliran masjid mengadakan baca Quran dengan pengeras, tiba-tiba semua orang merasa terganggu.
Yang lain juga mendukung dengan mengatakan bahwa selama bulan Ramadhan, kalau ada baca Quran dengan pengeras, ya wajar saja. Biar suasana terasa sedang Ramadhan.
Itu salah satu komentar dari sebagian masyarakat yang mendukung masjid menggunakan pengeras suara untuk baca quran. Dan kalau situasinya memang demikian, rasanya ada benarnya juga.
Namun disisi lain, ada yang berpendapat bahwa syiar suatu masjid tidak harus dengan cara menggunakan sound system yang dikeraskan hingga terdengar seantero kampung. Apalagi bila sudah sampai mengganggu orang yang sedang istirahat, atau orang yang sakit dan sebagainya.
Dan pendapat ini pun ada benarnya. Sebab yang namanya syiar seharusnya tidak sampai merugikan. Toh, masih banyak cara lain agar semarak menjalani bulan Ramadhan tetap bergema, tanpa harus ada unsur yang merugikan orang.
Sebenarnya kunci dari semua ini adalah pada komunikasi. Tidak ada salahnya bagi para pengurus masjid untuk meminta izin kepada masyarakat yang tinggal di sekitar masjid untuk mengeraskan bacaan tilawah Quran, setidaknya untuk bulan Ramadhan. Asalkan meminta izin baik-baik, rasanya masyarakat tidak berkebaratan. Apalagi bila waktunya tidak terlalu lama dan suaranya tidak terlalu keras. Sekedar ada suara orang sedang membaca Al-Quran.
Dan dalam kunjungan silaturrahim itu, para pengurus juga tidak bersalah bila mereka meminta masukan, usulan, saran serta ide-ide segar dari para tetangga masjid. Siapa tahu para tetangga masjid itu punya masukan yang positif dan bersifat win-win solution.
Sayangnya, yang lebih sering kita saksikan justru sebaliknya. Pengurus masjid merasa berhak melakukan apa saja yang dipandang oleh diri mereka sendiri sebagai sebuah kebaikan, apalagi dengan alasan meneruskan tradisi. Sebaliknya, masyarakat sekitar pun seringkali terlalu antipati serta cenderung mudah bersu’udzan kepada pengurus masjid. Komplain tetapi di dalam hati sambil menyebarkan rasa tidak sukanya kepada tetangga yang lain.
Walhasil, komunikasi macet, hubungan persaudaraan retak, prasangka buruk merajalela, benang-benang silaturrahim terurai, dan syetan pun menari-nari kegirangan.
Masing-masing pihak merasa kebenaran hanya milik mereka sendiri. Orang lain harus selalu salah dan harus mau dipersalahkan. Kalau sudah begini, maka hubungan akan semakin runyam.
Tetapi kasus seperti ini nampaknya sudah jarang terjadi. Umumnya para pengurus masjid sekarang sudah profesional dan tahu bagaimana menempatkan diri secara bijak di tenngah masyarakat. Kasus seperti ini mungkin masih terjadi di pelosok kampung yang jauh dari perkembangan agama, di mana berIslam hanya sekedar urusan keturunan. Namun di sebagian besartempat, kesadaran masyarakat sudah semakin meningkat, seiring dengan semakin dewasanya mereka dan semakin paham dengan ajaran agama.
Semoga keadaan yang lebih baik akan terus bisa ditularkan ke tempat-tempat yang lain. Amien.
Ahmad Sarwat, Lc