Assalaamu’alaikum Warochmatulloh,
Ustadz Yang dimulyakan Allah SWT, saya ingin bertanya tentang kejadian akhir-akhir ini. Yaitu adanya orang yang disebut ‘Ulama`, tetapi justru orang tersebut menghina Al-Qur’an, sebut saja Abdurrahman Wahid dan tokoh JIL.
Pertanyaan Saya:
1. Murtadkah mereka (Abdurrahman Wahid dan JIL), dengan menghina Al-Qur`an dan menghalalkan yang haram?
2. Apa saja yang bisa menyebabkan seseorang murtad selain menyekutukan Allah SWT?
3. Dosakah Kita membicarakan/meng-ghibah-kan mereka, bukan karena benci dengan orangnya, tapi benci dengan ajarannya yang sesat dan menyesatkan? (Walaupun pada kenyataannya terkadang kita subyektif).
Terima kasih Ustadz, kami harapkan Jawaban dari ustadz beserta dasar hukumnya.
Wassalaamu’alaikum wr. wb.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Abdurrahman Wahid dan tokoh JIL lainnya sebaiknya jangan disebut ulama. Salah besar kalau kita mengatakan demikian. Yang benar, mereka adalah tokoh yang sering bicara tentang Islam, lepas dari benar atau salah.
Adapun kriteria ulama, sungguh sangat-sangat jauh dari sosok mereka. Abdurrahman Wahid tidak pernah duduk di bangku kuliah syariah, dia hanya duduk di bangku kuliah sastra di Iraq, setelah sebelumnya gagal studi di Mesir. Iraq saat itu sedang dilanda demam sosialis, di mana para mahasiswanya pun tidak sedikit yang terkena dampaknya.
Pernyataan ini bukan pernyataan provokatif, melainkan pengakuan Abdurrahman Wahid sendiri. Dia pernah bercerita tentang bagaimana kehidupan masa lalunya belajar di negeri orang serta kecenderungannya dalam masalah ilmu yang dipelajari.
Oleh sebab itu, sebagai orang yang tidak berada dalam kapasitas sebagai ulama syariah, pernyataannya tidak perlu dijadikan rujukan masalah syariah. Kita tidak perlu pusing-pusing bila ada orang yang seperti itu.
Yang perlu kita pahamkan kepada masyarakat adalah menjelaskan perbedaan antara ulama dengan bukan ulama. Pendapat para ulama yang hakiki tentunya perlu disimak dan didengarkan. Misalnya saja ulama kaliber international seperti almarhum Syeikh Bin Baz, Syeikh Al-Utsaimin, Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Dr. Yusuf Al-Qaradawi, Dr. Muhammad Al-Ghazali, Dr. Musthafa Al-A’dhzami, Dr. Said Ramadhan Al-Buhti, Dr. Musthafa As-Siba’i dan lainnya.
Kepada mereka ini kita merujuk semua masalah agama. Adapun Gus Dur dan JIL, jangan dijadikan rujukan, sebab kapasitas mereka bukan masalah syariah, juga bukan masalah agama. Kapasitas Gus Dur mungkin pada masalah kritik sastra, ilmu ‘arudh, ilmu bayan dan syi’ir jahiliy dan sejenisnya. Kalau kita ingin memperdalam pengetahuan kita di bidang ini, Gus Dur orangnya. Tapi jangan tanya kepadanya masalah syariah, tauhid dan agama.
Dalam hal ini berlaku sabda nabi SAW: Apabila suatu pekerjaan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.
Maka kalau seorang Gus Dur bicara tentang Islam dan salah, kita maklum saja. Sebagai orang ‘awam’, dia perlu kita bimbing ke arah jalan yang benar. Masalahnya barangkali, di Indonesia ini justru kita tidak punya ulama. Yang karismanya seperti para ulama yang kami sebutkan di atas. Dahulu kita punya Prof. Dr. Buya Hamka, seorang ulama karismatik dan tegar meski dipaksa-paksa menghalalkan yang haram oleh rejim orde baru.
Tapi sekarang, kita telah mengalami krisis ulama lebih dari 40 tahun lamanya. Sehingga dengan tidak adanya sosok ulama yang hakiki di negeri ini, muncullah orang seperti Gus Dur dan teman-temannya. Dan masyarakat yang awam ini memang punya kebiasaan’menuduh’ orang yang bukan ulama sebagai ulama.
1. Vonis Murtad
Adapun pertanyaan anda, apakah Gus Dur dan JIL murtad atau tidak, dalam mekanisme hukum Islam harus ditetapkan oleh lembaga formal yang berwenang. Yaitu sebuah mahkamah syar’iyah yang sah dan diakui resmi oleh negara.
Lembaga itu tidak ada dalam negara kita. Sehingga kita tidak bisa langsung menunjuk hidung yang bersangkutan dan menuliskan di dahinya tulisan: MURTAD. Tidak boleh hal itu dilakukan.
Dan ketiadaan lembaga seperti ini adalah dosa majemuk umat Islam Indonesia. Lantaran mereka telah meninggalkan hukum Islam semenjak penjajah datang ke negeri ini. Maka kewajibkan kita saat ini adalah mensosialisasikan kembali syariat Islam kepada khalayak bangsa Indonesia, di semua elemennya, hingga suatu hari nanti bangsa ini kembali ke jalan yang benar dan bertaubat, lalu menegakkan syariat Islam.
2. Sebab Murtad
Ada banyak hal yang bisa mengakibatkan seseorang dianggap murtad dari agama Islam. Bahkan mengingkari satu ayat dari Al-Quran saja sudah bisa membuat seseorang murtad dari Islam. Mengingkari satu hadits shahih yang berasal dari Rasulullah SAW juga sudah cukup untuk membuat seseorang murtad. Bahkan mengingkari satu rukun dari rukun Islam dan rukun iman, juga sudah murtad.
Namun seperti sudah kami sebutkan di atas, tetap harus ada lembaga formal yang menjatuhkan vonis murtad dan sanksinya. Tidak semua orang berhak main tuding orang lain sebagai pelaku kemurtadan.
Di masa Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. menjalankan pemerintahan, beliau mengeluarkan vonis murtad bagi para pembangkang kewajiban zakat. Bahkan beliau memaklumatkan perang kepada mereka. Artinya, harta dan nyawa mereka halal dalam hukum Islam. Tapi apakah di masa sekarang ini kita akan memvonis begitu saja bahwa semua umat Islam yang tidak bayar zakat adalah rombongan para murtaddin? Tentu masalahnya tidak sesederhana itu, bukan?
Sebab main tuduh seseorang murtad itu sama saja dengan menuduhkan kafir. Dan resikonya sangat berat. Dan akibat yang akan ditimbulkannya lebih berbahaya lagi. Di antaranya ialah:
- Bagi isterinya, dilarang berdiam bersama suaminya yang kafir, dan mereka harus dipisahkan. Seorang wanita Muslimat tidak sah menjadi isteri orang kafir.
- Bagi anak-anaknya, dilarang berdiam di bawah kekuasaannya, karena dikhawatirkan akan mempengaruhi mereka. Anak-anak tersebut adalah amanat dan tanggungjawab orangtua. Jika orangtuanya kafir, maka menjadi tanggungjawab ummat Islam.
- Dia kehilangan haknya dari kewajiban-kewajiban masyarakat atau orang lain yang harus diterimanya, misalnya ditolong, dilindungi, diberi salam, bahkan dia harus dijauhi sebagai pelajaran.
- Dia harus dihadapkan ke muka hakim, agar djatuhkan hukuman baginya, karena telah murtad.
- Jika dia meninggal, tidak perlu diurusi, dimandikan, disalati, dikubur di pemakaman Islam, diwarisi dan tidak pula dapat mewarisi.
- Jika dia meninggal dalam keadaan kufur, maka dia mendapat laknat dan akan jauh dari rahmat Allah. Dengan demikian dia akan kekal dalam neraka.
Demikianlah hukuman yang harus dijatuhkan bagi orang yang menamakan atau menganggap golongan tertentu atau seseorang sebagai orang kafir; itulah akibat yang harus ditanggungnya. Maka, sekali lagi amat berat dan berbahaya mengafirkan orang yang bukan (belum jelas) kekafirannya.
Mereka yang Berhak Dikafirkan
- Golongan Komunis atau Atheis, yang percaya pada suatu falsafah dan undang-undang, yang bertentangan dengan syariat dan hukum-hukum Islam. Mereka itu musuh agama, terutama agama Islam. Mereka beranggapan bahwa agama adalah candu bagi masyarakat.
- Orang-orang atau golongan dari paham yang menamakan dirinya sekular, yang menolak secara terang-terangan pada agama Allah dan memerangi siapa saja yang berdakwah dan mengajak masyarakat untuk kembali pada syariat dan hukum Allah.
- Orang-orang dari aliran kebatinan, misalnya golongan Duruz, Nasyiriah, Ismailiah dan lain-lainnya. Kebanyakan dari mereka itu berada di Suriah dan sekitarnya.
Al-Imam Ghazali pernah berkata, "Pada lahirnya mereka itu bersifat menolak dan batinnya kufur." Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga berkata, "Mereka lebih kafir daripada orang-orang Yahudi dan Nasrani. Karena sebagian besar mereka ingkar pada landasan Islam." Seperti halnya mereka yang baru muncul di masa itu, yaitu yang bernama Bahaiah, agama baru yang berdiri sendiri. Begitu juga golongan yang mendekatinya, yaitu Al-Qadiyaniah, yang beranggapan bahwa pemimpinnya adalah Nabi setelah Nabi Muhammad saw.
Dosakah Membicarakan Mereka
Membicarakan keburukan orang lain tentu saja dosa. Maka yang perlu kita lakukan bukan membicarakan keburukannya, melainkan menjelaskan duduk persoalannya. Kalau seseorang itu bukan ulama, janganlah sekali-kali ‘dituduh’ sebagai ulama. Adalah kewajiban kita untuk menjelaskan kedudukan masalah seperti ini. Dan tentu hal ini bukan ghibah.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.