“Boleh kamu atur semua perabot rumah kita, asalkan jangan terlalu banyak barang, dan juga beli lah yang perlu-perlu saja, jangan menumpuk”. Demikian omelan suamiku, ketika aku menelponnya pagi tadi saat meminta izinnya untuk mengatur kembali ruang tamu rumah kami yang terlihat semakin sempit, sejak lemari buku suamiku diletakkan tepat didepan pintu penghubung ke arah ruang keluarga.
“Sebetulnya rumahnya yang kekecilan atau barangnya yang kebanyakan”, gumamku sendiri sambil bertolak pinggang. Aku melihat ke sekeliling ruangan dan akhirnya aku mengambil kesimpulan bahwa terlalu banyak pernak-pernik yang rasanya ingin dibuang saja, namun sayang rasanya. Ingin disimpan namun tidak tahu mau harus ditaruh dimana, jika dipajang pun terlihat berantakan, mungkin dikasih saja pada orang lain. “Akh, namun orang miskin tak perlu pernak-pernik”, sangkalku dalam hati, mereka lebih suka dikasih uang.
Pemikiran demi pemikiran semakin membenarkan sikapku yang akhirnya rumah kami semakin sesak yang disebabkan banyaknya barang lama yang tidak dibuang atau di kasih ke orang lain dikarenakan aku masih merasa sayang, sementara barang baru datang lagi.
Dengan wajah mengeras, akhirnya suamiku hanya diam dan tidak mampu lagi menasehatiku, karena semua nasehatnya mengenai pengelolaan barang-barang yang semakin bertambah dari hari ke hari membuat aku menjadi merasa malu. Namun herannya, mengapa aku tetap belum mampu menahan diri untuk hanya membeli yang perlu saja dan tidak menyimpan barang terlalu lama sampai jamuran alias bulukan serta hanya membeli barang yang dibutuhkan saja, bukan yang diinginkan.
Hari ini aku menelpon suamiku, meminta izin padanya untuk membenahi dapur kami yang mungil serta mengganti beberapa perkakas dapur. dan lagi-lagi suamiku dengan tidak bosannya menasehatiku dengan kalimat yang sudah ku hafal di luar kepala “jangan membeli terlalu banyak, belilah yang perlu-perlu saja”. Semua nasehat suamiku bagaikan burung yang ditiup awan terbang melayang bebas. Sementara pikiranku masih sibuk membayangkan, pisau dapur yang bergagang hijau, talenan daging yang berwana putih berbentuk oval, sendok garpu kecil untuk makan pisang goreng, teko cantik bunga-bunga kuning dan lainnya, yang semuanya terekam sempurna membuatku ingin segera berlari ke toko terdekat dan menyibukkan diri dengan belanja dan belanja, memilih ini dan mengambil itu yang tidak pernah bosan kulakukan.
Begitulah wanita, belum habis barang yang satu, sudah ingin barang yang lain, dan Al Qur’an telah membahas kegemaran wanita yang satu ini, yang bila tidak dapat dkontrol semua hawa nafsunya terhadap harta benda, maka semua yang dimilikinya akan menjadi penghalang untuk masuk surga kelak. Tidakkah kita takut akan pertanyaan di hari akhir nanti, karena semua yang kita miliki akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak, terhadap semua barang yang kita beli, baik yang masih tersimpan di lemari maupun teronggok di kursi. Sungguh ingatan itu membuat aku kembali bergegas. Namun kali ini bukan lagi bergegas ke toko, tapi bergegas pulang dan mengumpulkan semua barang untuk diberikan kepada orang-orang tersayang, daripada ditanya di akhirat dan tak tahu bagaimana menjawabnya, pikirku seram.
Perlahan tapi pasti, satu persatu tas-tas kecilku, sepatu-sepatu mungilku, dan pernak-pernik indahku terbungkus rapi dan siap dialihkan kepada tuan berikutnya. Kulepas amanah yang ku tidak sanggup mempertanggungjawabkannya kelak.
Quiz : Mengapa wanita lebih suka mengabiskan uangnya untuk berbelanja yang tidak sesuai dengan kebutuhan sehari-hari? Dan bagaimana cara mengontrolnya?